Muncul Rencana Pembatasan BBM Subsidi, Pertamina Pastikan Digitalisasi
Regulasi penyaluran BBM bersubsidi belum kunjung terbit. Rencana pembatasan masih sebatas wacana.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA, NINA SUSILO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memunculkan kembali rencana pembatasan bahan bakar minyak bersubsdi sehingga menjadi lebih tepat sasaran kepada warga yang membutuhkan. Menanggapi hal itu, PT Pertamina (Persero) memastikan bahwa upaya-upaya digitalisasi dalam program Subsidi Tepat telah dijalankan dalam beberapa tahun terakhir untuk mewujudkan subsidi tepat sasaran.
Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso, Kamis (11/7/2024), mengatakan, pada prinsipnya, Pertamina mengikuti arahan pemerintah. Yang pasti, BUMN energi tersebut telah mengupayakan agar penyaluran subsidi bahan bakar minyak (BBM) lebih tepat sasaran melalui program Subsidi Tepat, salah satunya dengan penggunaan teknologi informasi.
Penerapannya, antara lain pada transaksi BBM bersubsidi di SPBU-SPBU secara real time untuk memastikan konsumen yang membeli adalah masyarakat yang berhak. Selain itu, melalui program penguatan sarana dan fasilitas digitalisasi stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU). Tercatat, sudah ada lebih dari 8.000 SPBU, termasuk yang berada di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
”Hasilnya, hingga saat ini 82 persen SPBU telah terkoneksi secara nasional. Semakin banyak SPBU yang terkoneksi dengan sistem digitalisasi Pertamina, (maka) akan semakin memudahkan monitoring dan pengawasan atas penyaluran BBM bersubsidi,” kata Fadjar.
Di samping itu, imbuh Fadjar, Pertamina meningkatkan kerja sama dengan aparat penegak hukum (APH). Upaya itu dalam rangka meningkatkan pengawasan dan penindakan kegiatan penyalahgunaan BBM bersubsidi yang tidak sesuai dengan peruntukannya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, pemerintah tengah menekan berbagai inefesiensi yang terjadi di Indonesia. Salah satunya dari penyaluran BBM bersubsidi agar lebih tepat sasaran kepada warga yang membutuhkan. Apabila penggunaan BBM subsidi salah sasaran berkurang, pengurangan emisi juga bakal terjadi.
”Sekarang Pertamina sedang menyiapkan. Kita berharap 17 Agustus (2024) sudah bisa mulai orang yang tak berhak dapat subsidi itu dikurangi. Kalau itu terjadi, sulfur (dalam BBM tinggi emisi) kita kurangi. Itu juga akan mengurangi orang yang sakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan akan menghemat (biaya) kesehatan sampai Rp 38 triliun ekstra (dalam) pembayaran BPJS. Inefisiensi di negeri ini bertahap kita selesaikan,” kata Luhut dalam unggahan di akun Instagram pribadinya, @luhut.pandjaitan, Selasa (9/7/2024).
Pernyataan Luhut terkait upaya menekan inefisiensi itu tidak terlepas dari perkiraan penerimaan negara tahun ini tak mencapai target, sedangkan belanja negara melebihi rencana. Di samping perihal subsidi yang tak tepat sasaran, penurunan penerimaan disebabkan belum optimalnya setoran Pajak Penghasilan (PPh) badan dari perusahaan-perusahaan berbasis komoditas. Stabilitas keuangan negara perlu dijaga.
Masih dirapatkan
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (10/7/2024), mengatakan, pembatasan subsidi BBM per 17 Agustus 2024 belum akan terjadi. ”Kita akan rapatkan lagi. Belum, belum, belum,” ujarnya.
Revisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak juga akan dikoordinasikan. ”Tentu ada perhitungan daripada konsekuensi fiskal juga ada,” katanya.
Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif juga membantah apabila pembatasan BBM akan dimulai pada 17 Agustus mendatang. ”Enggak,” ujarnya singkat.
Ketika ditanyakan mengenai pernyataan Luhut, Arifin tetap membantahnya. ”Enggak, itu yang low sulfur, supaya udara bersih,” ujarnya.
Secara terpisah, Rabu petang di Kompleks Istana Kepresidenan, Menteri BUMN Erick Thohir juga mengatakan masih menunggu kebijakan pembatasan subsidi BBM tersebut. ”Kementerian BUMN bukan kementerian yang buat policy, tapi kami korporasi. Tentu seluruh penugasan pemerintah kita jaga sebaik-baiknya,” tuturnya.
Namun, Erick menambahkan, pihaknya ingin penyaluran BBM bersubsidi tepat sasaran dan digunakan masyarakat yang membutuhkan, bukan masyarakat yang sudah mampu. Soal kapan, di mana, dan bagaimana kebijakan pembatasan subsidi BBM ini, Erick mengatakan masih menunggu keputusan.
”Kita menunggu saja, ya, dan saya rasa konsolidasi dan diskusi antarkementerian masih berjalan,” ujarnya.
Kendati masih menanti revisi Perpres No 191/2014, Erick memastikan Pertamina tetap sudah menghitung fiskal yang berkaitan dengan subsidi BBM, ”Iya pasti ada. Subsidi, kompensasi, tentu kita harus prediksi,” tambahnya.
Rencana pengaturan BBM bersubsidi/kompensasi, khususnya pertalite, sebenarnya telah digaungkan sejak 2022, saat terjadi lonjakan harga minyak mentah hingga mendekati 120 dollar AS per barel. Muncul rencana penerbitan revisi Perpres No 191/2014. Namun, hingga saat ini, revisi perpres itu tak kunjung terbit.
Sejak 2022, Pertamina juga telah mendata konsumen pertalite dengan mekanisme pemindaian kode respons cepat (QR) pada kendaraan roda empat atau lebih di SPBU. Program subsidi tepat itu sejatinya salah satu perangkat upaya agar sistem sudah siap saat regulasi disahkan kelak.
Saat ini, di tengah peningkatan kebutuhan energi, harga minyak mentah relatif terjaga pada kisaran 80-90 dollar AS per barel sejak awal 2024. Namun, rupiah dalam kondisi melemah. Mengacu Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), nilai tukar rupiah pada 11 Juli 2024 ditetapkan Rp 16.200 per dollar AS. Terakhir kali kurs di bawah Rp 16.000 per dollar AS ialah pada 5 April 2024 yang sebesar Rp 15.873 per dollar AS.
Pengamat ekonomi energi sekaligus dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, Bandung, Yayan Satyakti, menuturkan, instabilitas makroekonomi saat ini dan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS memberatkan APBN. Dengan kondisi itu, dari perhitungannya, anggaran untuk subsidi dan kompensasi energi berpotensi naik hingga 50 persen.
Menurut dia, dengan kondisi APBN dalam tekanan, ditambah nilai tukar rupiah yang mencapai lebih dari Rp 16.000 per dollar AS, harga BBM sudah seharusnya ada penyesuaian. Hingga kini, BBM bersubsidi/kompensasi belum mengalami perubahan harga.