Daya Beli Melemah, Penjualan Mobil Stagnan di Angka 1 Juta Unit Per Tahun
Melebarnya selisih harga jual mobil dibandingkan kemampuan pendapatan rumah tangga menyebabkan stagnasi penjualan.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penjualan mobil di pasar Indonesia stagnan di kisaran 1 juta unit dalam kurun 10 tahun terakhir. Tingginya kenaikan harga mobil yang tidak diiringi dengan kenaikan pendapatan rumah tangga menjadi salah satu penyebabnya. Pelaku industri kendaraan bermotor berharap ada insentif fiskal tambahan untuk memicu penjualan mobil nasional.
”Sudah satu dekade terakhir, penjualan mobil hanya berkutat di one million club dan belum pernah tembus lebih besar lagi,” ujar Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara dalam diskusi ”Solusi Mengatasi Stagnasi Pasar Mobil” di kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta, Rabu (10/7/2024).
Mengutip data Gaikindo, penjualan mobil nasional pertama kali menembus 1 juta unit pada 2012, yakni sebanyak 1,16 juta unit, meningkat dibandingkan 2011 yang 894.000 unit. Selanjutnya, angkanya meningkat menjadi 1,22 juta unit pada 2013 dan sempat stabil pada 2014 dengan penjualan sebanyak 1,20 juta unit. Setelah itu, pada periode 2015-2023, penjualan mobil tidak pernah lagi meningkat menembus 1,2 juta unit.
Padahal, menurut Kukuh, potensi pasar penjualan mobil di Indonesia masih punya ruang pertumbuhan yang luas. Mengutip data lembaga riset CEIC seperti yang diolah Gaikindo, rasio kepemilikan mobil mencapai 99 unit mobil per 1.000 penduduk di Indonesia.
Angka rasio kepemilikan mobil ini jauh lebih rendah dibandingkan sesama negara Asia Tenggara, seperti Malaysia pada angka 490 unit mobil per 1.000 penduduk, Thailand 275 unit mobil per 1.000 penduduk, dan Singapura 211 unit mobil per 1.000 penduduk. Padahal, tiga negara itu punya jumlah penduduk lebih sedikit ketimbang penduduk Indonesia.
Kukuh menjelaskan, salah satu penyebab stagnasi penjualan mobil disebabkan melebarnya selisih harga jual mobil dibandingkan kemampuan pendapatan rumah tangga. Besaran kenaikan harga jual mobil tidak mampu diimbangi kenaikan pendapatan rumah tangga.
Mengutip riset Gaikindo bersama Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), pada 2010, rata-rata harga mobil per unit setara rata-rata pendapatan rumah tangga per tahun, yakni Rp 148 juta. Setelah itu, rata-rata harga mobil naik lebih cepat dari kenaikan rata-rata pendapatan rumah tangga per tahun.
Pada 2023 selisihnya melebar. Tahun lalu, rata-rata harga mobil per unit mencapai Rp 255 juta per unit, sedangkan rata-rata pendapatan rumah tangga per tahun mencapai Rp 225 juta.
”Tren kenaikan harga mobil ini dipicu oleh kenaikan biaya produksi. Material bahan baku produksi masih banyak yang impor. Di saat yang sama, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dalam tren melemah. Belum lagi, berbagai ketegangan geopolitik global mengganggu rantai pasok bahan baku yang menyebabkan terjadi lonjakan biaya logistik,” kata Kukuh.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian Putu Juli menambahkan, walaupun penjualan domestik stagnan, tetapi kinerja ekspor mobil terus meningkat. Pada 2023, ekspor mobil mencapai 505.000 unit dalam tren meningkat dari 2013 yang sebanyak 170.000 unit.
Ekspor tertinggi untuk tujuan Filipina yang sebanyak 159.121 unit. Disusul kemudian tujuan ekspor ke Meksiko yang sebanyak 56.483 unit. ”Indonesia masih jadi salah satu basis ekspor mobil merek-merek dunia,” kata Putu.
Banyak pungutan pajak
Terkait stagnasi penjualan mobil di pasar dalam negeri tersebut, peneliti LPEM UI Riyanto mengatakan, hal itu mengindikasikan ada sesuatu yang keliru. Sebab, pasar otomotif Indonesia itu masih sangat potensial dan punya ruang pertumbuhan yang luas.
”Penyebab utama stagnasi penjualan karena selisih kenaikan harga jual mobil yang lebih tinggi ketimbang pertumbuhan pendapatan rumah tangga,” ujarnya.
Riyanto, selain karena faktor kenaikan ongkos produksi, salah satu penyebab lain kenaikan harga mobil adalah banyaknya pajak yang mesti dibayarkan konsumen yang besarannya hingga 40,25 persen. Adapun pajak yang perlu dibayarkan adalah Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) 1,75 persen, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNK) 12,5 persen, Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) 15 persen, dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11 persen.
Begitu banyaknya pungutan pajak tersebut menyebabkan harga jual mobil ke konsumen meningkat drastis. Ia mencontohkan, harga sebuah unit mobil Rp 200 juta dari pabrik (off the road), lantaran dikenakan pajak, harganya bertambah 40,25 persen menjadi Rp 280,5 juta.
Maka dari itu, lanjut Riyanto, salah satu cara cepat memacu penjualan mobil adalah dengan memberikan insentif keringanan PPnBM. Keringanan pajak itu bisa langsung merangsang dan meningkatkan penjualan mobil. ”Insentif itu sangat elastis, langsung bisa meningkatkan penjualan mobil. Tak hanya itu, bahkan punya dampak lebih luas bagi perekonomian,” ucapnya.
Dalam perhitungannya, bila PPnBM dikurangi dari 15 persen jadi 10 persen, terjadi kenaikan penjualan mobil sampai 5,35 persen. Karena penjualan meningkat, produksi pun meningkat sehingga terjadi tambahan serapan tenaga kerja sebanyak 15.790 orang. Hal ini juga berdampak secara langsung dan tak langsung ke produk domestik bruto (PDB) sebesar 0,72 persen.
Apabila PPnBM dihapuskan menjadi nol persen, akan ada kenaikan penjualan sampai 16,04 persen. Selain itu, terjadi tambahan serapan tenaga kerja sebanyak 47.371 orang. Dampak langsung dan tak langsung terhadap PDB akan mencapai 0,79 persen.
”Yang tak kalah penting adalah memacu pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Dengan pertumbuhan ekonomi 6 persen, diharapkan bisa meningkatkan pendapatan per kapita dan daya beli masyarakat. Dengan demikian, penjualan mobil bisa secara alami akan ikut meningkat,” ungkapnya.