Pengembangan Kakao dan Kelapa Diserahkan ke BPDPKS, Pungutan Dijanjikan Tetap
Pengembangan kakao dan kelapa diserahkan ke BPDPKS. Pemerintah menjanjikan pungutan ekspor tidak naik.
Oleh
NINA SUSILO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengembangan budidaya dan industri kakao dan kelapa kini ditambahkan menjadi tugas Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Namun, hal ini dijanjikan tidak akan menambahkan pungutan yang dikenakan pada ekspor kakao dan kelapa.
Presiden Joko Widodo memimpin rapat tertutup terkait badan pengelola kakao dan kelapa di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (10/7/2024). Hadir dalam rapat yang berlangsung mulai pukul 13.30, antara lain, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar.
Seusai rapat, Airlangga menjelaskan, pengembangan kakao dan kelapa dinilai penting. Produksi kakao Indonesia sekitar 180.000 ton, sedangkan kelapa sekitar 2,8 juta ton. Adapun nilai ekspor kakao 1,3 miliar dollar AS dan kelapa 1,2 miliar dollar AS.
Luas lahan kakao Indonesia 1,3 juta hektar, sedangkan kelapa 3,3 juta hektar.
”Kalau kita lihat ternyata dari segi industrinya, jumlah lahan kakao berkurang. Oleh karena itu kebutuhan pengembangan industri kita butuh sekitar hampir double,” tutur Airlangga.
Kalau kita lihat ternyata dari segi industrinya, jumlah lahan kakao berkurang. Oleh karena itu, kebutuhan pengembangan industri kita butuh sekitar hampir ’double’.
11 perusahaan pengelola kakao
Saat ini Indonesia sudah memiliki 11 perusahaan yang mengelola kakao. Industri coklat juga sudah naik menjadi 31 perusahaan sehingga kebutuhan kakao dari kapasitas dari perusahaan itu 1.240 ton.
Karena itu, penting untuk ’replanting’ kakao dan agar luasan (kebun) kakao meningkat dan produksinya bisa dikembalikan ke, mungkin, ’double’ ke 400.000 ton.
Dengan kebutuhan kakao sekarang, kakao lokal hanya memenuhi 45 persen dan sisa kebutuhan diisi kakao impor 55 persen. ”Karena itu, penting untuk replanting kakao dan agar luasan (kebun) kakao meningkat dan produksinya bisa dikembalikan ke, mungkin, double ke 400.000 ton,” tambah Airlangga.
Untuk itu, Presiden Jokowi mengarahkan supaya peremajaan (replanting) dan pengembangan industri berbasis kakao dan kelapa diserahkan sebagai tugas tambahan kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
BPDPKS akan bertugas menyediakan benih bekerja sama dengan perguruan tinggi atau balai penelitian. ”Jadi, penugasan BPDPKS tidak hanya untuk kelapa sawit, tetapi untuk revitalisasi daripada kakao dan kelapa,” kata Airlangga.
Jadi, penugasan BPDPKS tidak hanya untuk kelapa sawit, tetapi untuk revitalisasi daripada kakao dan kelapa.
Selain peremajaan kakao, Airlangga menambahkan bahwa akan ada fasilitasi perluasan perkebunan kakao rakyat. Demikian pula dengan riset untuk pengembangan kelapa dan kakao.
Pungutan tetap
Kendati pengelolaan kakao dan kelapa dititipkan pada BPDPKS, pemerintah menjanjikan pungutan untuk ekspor kakao dan kelapa tidak bertambah.
Saat ini, untuk ekspor kakao terdapat bea keluar senilai 0-15 persen tergantung dari harga. Bea keluar ini, kata Airlangga, akan dikonversi menjadi pajak ekspor. Dengan demikian, pajak ekspor ini bisa dikelola BPDPKS.
Yang kelapa sementara ini belum. Kita belum bicara pajak ekspor. Kita lihat lagi.
Untuk kelapa, lanjut Airlangga, sementara ini belum dibahas. ”Yang kelapa sementara ini belum. Kita belum bicara pajak ekspor. Kita lihat lagi,” ujarnya.
Zulkifli menambahkan, pengelolaan kakao dan kelapa ini dititipkan sebagai satu divisi di BPDPKS. Ini sekaligus mengurangi kemungkinan pungutan tambahan.
”Jadi, kalau (membentuk) badan sendiri, dipungutin lagi, kan enggak mungkin. Berat kan. Kalau di BPDPKS kan dananya Rp 50 triliun lebih, tuh. Jadi, subsidi silang untuk pembibitan, riset, dan segala macam mengenai kelapa dan kakao ini, nanti digabungkan ke BPDPKS,” tuturnya.