Tren Perdagangan Global: ”Tiki-taka” Versus ”Tit-for-tat”
Fasilitasi perdagangan tumbuh baik di tengah tekanan proteksi dagang, fragmentasi ekonomi, dan adu jotos tarif impor.
Kedekatan dan ikatan erat beberapa negara di dunia semakin pudar. Gol perdagangan tak lagi banyak tercipta lewat umpan-umpan pendek yang akurat dan cepat. Bola perdagangan mulai kerap dikuasai sendiri.
Gesekan antarteman dagang makin sering terjadi. Yang sepaham dan satu pandangan semakin memperkuat kemitraan dagang. Adu jotos tarif dagang antarteman lama juga masih terjadi.
Itulah wajah tiki-taka perdagangan dunia yang masih dibayangi tit-for-tat atau retaliasi dagang. Realitasnya, fasilitasi dan proteksi perdagangan dunia sama-sama meningkat. Pilih-pilih sohib dagang sesuai kesamaan pandangan politik dan ekonomi juga semakin bercokol erat.
WTO menunjukkan negara anggota tetap memfasilitasi perdagangan meskipun ada tekanan proteksionisme.
Namun, tren perdagangan dunia pada 2024 diramal pulih kendati tak merata. Nilainya diperkirakan bisa mendekati nilai perdagangan dunia di era booming harga komoditas pada 2022.
Kondisi dan prospek perdagangan dunia itu diungkap Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan Badan Konferensi Perdagangan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCTAD). Keduanya menjabarkan kondisi dan prospek tersebut dalam laporan terpisah.
Dalam ”The Trade Monitoring Update” yang dirilis di Geneva, Swiss, Senin (8/7/2024), waktu setempat, WTO menunjukkan negara anggota tetap memfasilitasi perdagangan meskipun ada tekanan proteksionisme. Potret itu tergambar sepanjang medio Oktober 2023-medio Mei 2024.
Dalam periode itu, fasilitasi perdagangan, baik dari sisi impor maupun ekspor, diperkirakan mencapai 1,22 triliun dollar AS. Nilai tersebut naik dari 977,2 miliar dollar AS pada laporan sebelumnya.
Adapun tindakan pengamanan perdagangan yang tidak memfasilitasi atau menyelesaikan perselisihan dagang, termasuk proteksi dagang, diperkirakan senilai 433,6 miliar dollar AS. Nilai itu lebih tinggi dibandingkan dengan laporan tindakan perdagangan sebelumnya yang sebesar 337,1 miliar dollar AS.
Dalam periode itu pula terdapat 205 tindakan perbaikan perdagangan (172 inisiasi dan 33 penghentian) yang mencakup 43,3 persen dari total tindakan pengamanan perdagangan. Antidumping menjadi tindakan penyelesaian perdagangan yang paling sering dilakukan, mencakup 70,3 persen dari seluruh inisiasi dan 93,9 persen dari seluruh penghentian pengamanan perdagangan.
Langkah itu jauh lebih baik ketimbang tit-for-tat atau aksi balasan perdagangan (retaliasi) yang membuat perdagangan justru semakin buruk.
Direktur Jenderal WTO, Ngozi Okonjo-Iweala, mengatakan, laporan tersebut mengindikasikan ketahanan perdagangan dunia di tengah kondisi geopolitik yang penuh tantangan. Bahkan, di tengah meningkatnya tekanan proteksi dagang dan tanda-tanda fragmentasi ekonomi, masih banyak negara di dunia yang mengambil langkah-langkah penting untuk meliberalisasi dan memfasilitasi perdagangan.
”Hal ini membuktikan manfaat perdagangan bagi daya beli masyarakat, daya saing dunia usaha, dan stabilitas harga,” ujarnya melalui siaran pers.
Ia juga menilai positif upaya negara anggota menggunakan WTO atau lembaga-lembaga lain untuk mencari solusi atas sengketa dagang. Langkah itu jauh lebih baik ketimbang tit-for-tat atau aksi balasan perdagangan (retaliasi) yang membuat perdagangan justru semakin buruk.
Prospek perdagangan
Sementara itu, pada 2 Juli 2024, UNCTAD merilis Global Trade Update Edisi Juli 2024. Dalam laporan itu, UNCTAD memberikan prospek positif terhadap perdagangan global 2024 meskipun masih dibayangi ketidakpastian ekonomi global. Di sisi lain, ketergantungan perdagangan antarnegara dengan kesamaan pandangan politik dan ekonomi masih cukup besar.
UNCTAD memperkirakan, nilai perdagangan global pada 2024 bisa mencapai 32 triliun dollar AS. Nilai perdagangan itu lebih tinggi dibandingkan dengan 2023 yang sebesar 31 triliun dollar AS dan sedikit di bawah 2022 yang mencapai 32,1 triliun dollar AS.
Pada 2024, ekspor negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, diperkirakan tumbuh 5 persen secara tahunan, sedangkan impornya turun 3 persen. UNCTAD juga meramal pertumbuhan ekspor dan impor sejumlah negara, termasuk negara-negara pasar utama Indonesia, seperti China, India, dan Amerika Serikat.
Baca juga: India dan ASEAN Bakal Geser China sebagai Penggerak Pasar Pangan Dunia (1)
Ekspor China diperkirakan turun 11 persen dan impornya naik 17 persen secara tahunan. Ekspor dan impor India diproyeksikan tumbuh masing-masing 9 persen dan 1 persen. Adapun Amerika Serikat, ekspor dan impornya diramal tumbuh masing-masing 8 persen dan 3 persen.
Prospek positif perdagangan global tersebut dipengaruhi sejumlah faktor. Pertama, pertumbuhan ekonomi global pada 2024 yang diperkirakan sekitar 3 persen. Kendati diramal positif, pertumbuhan antara wilayah dan negara masih timpang akibat perbedaan pemulihan ekonomi setiap wilayah dan negara.
Kedua, meningkatnya produk energi ramah lingkungan, seperti kendaraan listrik, panel surya, dan baterai. Selain itu juga bakal ditopang dengan peningkatan permintaan komputer berbasis kecerdasan buatan (AI) dan semi-konduktor berteknologi tinggi.
Ketiga, peningkatan pengiriman barang melalui transportasi laut dan tren penurunan biaya pengiriman logistik maritim. Keempat, prospek penurunan suku bunga di Amerika Serikat yang akan merangsang peningkatan volume dan stabilitas harga barang.
Kendati begitu, UNCTAD juga memaparkan sejumlah faktor yang berpotensi menghambat pertumbuhan perdagangan global. Pertama, peningkatan tindakan subsidi dan pembatasan perdagangan. Tindakan tersebut terkait erat dengan perlindungan industri domestik, pemenuhan kebutuhan domestik, serta urgensi memenuhi komitmen mengatasi perubahan iklim.
Perubahan kebijakan perdagangan sejumlah negara, serta ketegangan geopolitik dan geoekonomi telah mengubah ketergantungan sejumlah negara.
Kedua, rantai pasokan sejumlah komoditas dunia berpotensi semakin panjang. Selama ini, perubahan kebijakan perdagangan sejumlah negara, serta ketegangan geopolitik dan geoekonomi telah mengubah ketergantungan sejumlah negara. Kondisi tersebut pelan-pelan berpengaruh pada perubahan rantai pasok dunia. Direktur Divisi Perdagangan dan Komoditas Internasional UNCTAD.
Direktur Divisi Perdagangan dan Komoditas Internasional UNCTAD Miho Shirotori mengemukakan, permasalahan geoekonomi terus memainkan peran penting dalam membentuk tren utama perdagangan bilateral. Faktor tersebut tidak hanya berdampak pada perdagangan antar negara-negara besar, tetapi juga memengaruhi dinamika dagang negara-negara itu dengan mitra dagang lain.
”Faktor itu juga berpengaruh terhadap pembentukan kembali rantai nilai dan pasok global yang saat ini tengah berlangsung,” katanya.
Ilustrasi: Mobil FAW V2 China dipamerkan di Moscow International Automobile Salon di Moskwa, Rusia, pada 31 Agustus 2012. Konflik Rusia-Ukraina memunculkan komitmen Rusia dan China di sektor perdagangan. Salah satunya, ekspor mobil China ke Rusia dan gas alam Rusia ke China bakal ditingkatkan.
Perubahan tingkat ketergantungan
UNCTAD memperkirakan, ketergantungan perdagangan Rusia dengan China akan semakin besar, yakni 5,8 persen secara tahunan. Adapun ketergantungan Rusia dengan Uni Eropa diproyeksikan turun 4 persen.
Ketergantungan perdagangan China dengan Amerika Serikat juga diperkirakan turun 0,6 persen secara tahunan. Bagitu juga dengan ketergantungan Amerika Serikat terhadap China yang diproyeksikan turun 1,1 persen.
Bagaimana dengan Indonesia? Tren kinerja perdagangan Indonesia tengah turun. Hal itu seiring tren penurunan harga komoditas dan perlambatan permintaan.
Indonesia bahkan tengah kerepotan menghadapi serbuan barang impor yang mengancam industri domestik.
Indonesia bahkan tengah kerepotan menghadapi serbuan barang impor yang mengancam industri domestik. Bahkan, pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor-sektor industri yang terimbas serbuan produk impor berpotensi bertambah.
Terbaru, pada 8 Juli 2024, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyebutkan, terdapat 11.000 pekerja di enam perusahaan tekstil. Gonta-ganti regulasi impor yang diakhiri denga terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomo 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor dinilai menjadi biang keladinya.
Regulasi itu memang masih memuat persyaratan pertimbangan teknis dari Kemenperin sebagai kontrol atas impor barang. Namun, tidak semua barang impor dikenai syarat tersebut.
Baca juga: Fenomena PHK Massal Industri Tekstil Nusantara
Tumpukan seragam separuh jadi di rumah konfeksi seragam sekolah di kawasan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Selasa (9/7/2024). Rumah produksi seragam sekolah tersebut mengakui kesulitan mendapatkan bahan baku kain karena banyak industri tekstil dalam negeri yang gulung tikar sebagai dampak dari serbuan produk tekstil impor khususnya dari China.
Dalam rapat kerja di Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Senin (8/7/2024), Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menyatakan tidak akan merevisi permendag lagi. Ia lebih memilih mengenakan bea masuk antidumping (BMAD) dan bea masuk tindakan pengamanan (BMTP).
BMAD dan BMTP itu akan dikenakan untuk tujuh komoditas impor. Ketujuh komoditas itu adalah tekstil dan produk tekstil, pakaian jadi, keramik, perangkat elektronik, produk kecantikan, barang tekstil sudah jadi, dan alas kaki.
Berapa besarannya nanti akan dihitung setelah ada penyelidikan barang impor. Biasa 10 persen, 20 persen, 50 persen, 100 persen, bahkan 200 persen. Bukan saya yang menentukan, melainkan KPPI dan KADI.
Besaran BMPT akan ditentukan Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI). Adapun besaran BMAD menjadi tugas Komite Anti-Dumping Indonesia (KADI).
”Berapa besarannya nanti akan dihitung setelah ada penyelidikan barang impor. Biasa 10 persen, 20 persen, 50 persen, 100 persen, bahkan 200 persen. Bukan saya yang menentukan, melainkan KPPI dan KADI,” kata Zulkifli.
Baca juga: Industri Tekstil Digempur Impor, Pemerintah Siapkan Dua Aturan Pelindung
Di sisi lain, RI berupaya meningkatkan ekspor melalui kerja sama dagang dengan sejumlah negara. Salah satunya dengan Iran yang tengah berkonflik dengan mitra dagang RI lain, yakni Amerika Serikat.
Dalam rapat kerja itu, Komisi VI DPR menyetujui ratifikasi Perjanjian Preferensial Perdagangan Indonesia-Iran (II-PTA). Melalui perjanjian itu, RI mendapat penghapusan dan penurunan tarif atas 239 pos tarif (PT) untuk produk-produk mineral, industri, pertanian, dan perikanan.
Presiden Joko Widodo berbincang dengan Presiden Iran Ebrahim Raisi (kiri) di beranda belakang Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat, Selasa (23/5/2023). Kunjungan ini bertujuan memperkuat kerja sama Indonesia dan Iran yang sudah terjalin sejak 1950.
Menurut Zulkifli, setelah perjanjian berlaku efektif pada saatnya nanti, ekspor Indonesia ke Iran diproyeksikan menjadi 494 juta dollar AS pada 2030. Neraca dagang Indonesia terhadap Iran juga diperkirakan surplus 468 juta dollar AS. ”Selain itu, Iran juga bisa menjadi hub perdagangan Indonesia ke kawasan Timur Tengah, Asia Tengah, Asia Selatan, dan Eropa,” katanya.
Sejumlah anggota Komisi VI DPR mengingatkan Kemendag agar mengantisipasi respons negara lain, terutama Amerika Serikat atas ratifikasi II-PTA. Beberapa anggota Komisi VI DPR juga meminta agar pemerintah mengantisipasi retaliasi negara yang porduk-produknya bakal dikenakan BMAD atau BMTP.
Baca juga: Peningkatan Kerja Sama Dagang RI-Iran Menguntungkan Sekaligus Berisiko
Evita Nursanty berpendapat, belakangan ini, Amerika Serikat dan Iran masih berseberangan terkait konflik di Laut Merah. Jangan sampai perjanjian itu justru berdampak negatif pada Indonesia, terutama menyangkut relasi RI dengan Amerika Serikat.
Adapun Harris Turino menyinggung terkait dengan rencana pengenaan BMTP dan BMAD. Dalam pengenaan tarif itu, Kemendag diminta untuk memetakan produk impor yang bakal dikenai tarif bersama pelaku industri karena banyak produk impor yang dibutuhkan untuk bahan baku.
”Kemendag juga perlu mengantisipasi reaksi balasan dari negara yang produksinya dikenakan tarif lebih tinggi. Bisa jadi negara tersebut melakukan tindakan yang sama bahkan lebih parah lagi,” kata Harris.