Akhir Kisah BTN dan Bank Muamalat
Akhirnya, BTN memutuskan menutup lembaran lama dengan Bank Muamalat lantaran terdapat ketidakcocokan antarkeduanya.
Layaknya sebuah kisah romansa, pendekatan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk atau BTN kepada Bank Muamalat akhirnya menemui titik pangkalnya. Setelah menjalin kedekatan sejak akhir tahun lalu, komitmen kedua belah pihak untuk menjadi satu pun kandas.
Kedekatan antara kedua bank tersebut mencuat saat BTN berencana memisahkan (spin off) unit usaha syariahnya. Di sisi lain, pemerintah melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara disebut turut mendorong agar BTN dapat melakukan aksi penyelamatan Bank Muamalat dengan cara mengakuisisinya.
Sebagai pertimbangan, BTN memilih Bank Muamalat atas dasar tersedianya biaya dana (cost fund) yang rendah berupa dana wadiah dari dana wakaf yang porsinya mencapai 30 persen dari total dana pihak ketiga. Hal ini akan menguntungkan lantaran bank tidak perlu membayarkan margin atau imbal hasil kepada penyimpan.
Baca juga: Merger Bank Muamalat dan BTN Syariah Perkuat Struktur Perbankan Syariah Nasional
Di sisi lain, BTN memang memiliki urgensi untuk memisahkan unit usaha syariah (UUS) yang per akhir tahun 2023 telah menembus Rp 50 triliun. Sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 12 Tahun 2023 tentang Unit Usaha Syariah (UUS), bank umum konvensional dengan nilai aset UUS mencapai 50 persen dari total aset induknya atau minimal Rp 50 triliun wajib melakukan spin off.
Bersatunya dua insan perbankan tersebut pada gilirannya dinilai dapat menciptakan potensi bisnis yang besar terkait pembiayaan perumahan serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), sekaligus mengoptimalkan ekosistem haji dan umrah.
Dengan total aset yang dapat dihimpun sekitar Rp 115 triliun, entitas bank syariah baru tersebut diharapkan pula dapat mencairkan iklim persaingan perbankan syariah yang selama ini cenderung dikuasai oleh satu bank.
Meski sempat menuai pro dan kontra dari sejumlah pihak, proses akuisisi itu pun terus berlanjut. BTN melanjutkan aksi akuisisinya terhadap Bank Muamalat dengan menempuh proses uji tuntas (due diligence). Kala itu, proses uji tuntas ditargetkan dapat selesai pada April 2024.
Selama tiga bulan dari target yang disampaikan, kabar terkait kelanjutan dari proses akuisisi tersebut bak hilang di telan bumi. Berbagai pemberitaan menyebut, aksi akuisisi Bank Muamalat oleh BTN tersebut batal. Namun, pihak BTN dalam beberapa kesempatan konferensi pers enggan memberikan tanggapan terkait perkembangan aksi korporasi tersebut.
Barulah dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VI DPR RI dengan Direktur Utama PT BNI (Persero) Tbk dan PT BTN (Persero) Tbk, di Gedung DPR RI, Senin (8/7/2024), kabar mengenai aksi akuisisi Bank Muamalat tersebut kembali terungkap. Hal ini disampaikan oleh Direktur Utama BTN Nixon LP Napitupulu di hadapan para anggota Dewan.
Kami tidak akan meneruskan akuisisi Bank Muamalat dengan berbagai alasan yang bisa kami sampaikan kemudian pada rapat tertutup.
”Kami tidak akan meneruskan akuisisi Bank Muamalat dengan berbagai alasan yang bisa kami sampaikan kemudian pada rapat tertutup. Jadi, kami tidak akan meneruskan itu,” katanya.
Nixon tidak memerinci lebih lanjut terkait alasan pembatalan aksi akuisisi tersebut mengingat BTN merupakan perusahaan terbuka yang terikat oleh aturan bursa mengenai keterbukaan informasi serta perjanjian kerahasiaan (non-disclosure agreement) bank. Oleh sebab itu, BTN akan menyampaikan alasan-alasan atas batalnya aksi akuisisi tersebut dalam forum rapat tertutup.
Kendati demikian, BTN telah berkonsultasi kepada pemegang saham, dalam hal ini Kementerian BUMN, serta Otoritas Jasa Keuangan terkait keputusan tersebut. Di sisi lain, Nixon turut mengklarifikasi, pihaknya selama ini belum pernah menyampaikan hasil keputusan tersebut secara terbuka.
Terkait dengan batalnya aksi akuisisi Bank Muamalat oleh BTN, sejumlah anggota DPR menilai keputusan BTN sudahlah tepat. Sebab, upaya penyelamatan Bank Muamalat tidak serta-merta menjadi tanggung jawab BTN, tetapi juga pemerintah.
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Muhammad Sarmuji berpendapat, penyelamatan Bank Muamalat dan aksi akuisisi Bank Muamalat oleh BTN merupakan dua hal yang berbeda. Adapun dana haji yang dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) selaku pemegang saham Bank Muamalat harus dijamin oleh pemerintah, bukan BTN.
”BTN tentu saja sebagai entitas bisnis harus lebih berhati-hati untuk melakukan akuisisi yang berisiko. Kita semua akan mengawal dana haji itu, semua lembaga, tetapi khusus untuk akuisisi Bank Muamalat oleh BTN tentu saja harus didasarkan kepada suatu yang rasional,” tuturnya.
Kita semua akan mengawal dana haji itu, semua lembaga, tetapi khusus untuk akuisisi Bank Muamalat oleh BTN, tentu saja harus didasarkan kepada suatu yang rasional.
Dalam forum diskusi grup, anggota DPR sudah memberikan rambu-rambu kepada BTN dalam menjalankan aksi akuisisinya. Apabila tidak visible dan mengganggu kinerja ke depannya, BTN harus mengambil keputusan dan pemerintah pun tetap harus mencari solusi terhadap masalah dana haji.
Senada, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Mohamad Hekal pun sepakat dengan keputusan yang diambil oleh BTN. Semula upaya BTN tersebut memang diharapkan dapat membuat tata kelola Bank Muamalat menjadi lebih baik mengingat Bank Muamalat tersebut dikelola oleh pihak yang bukan berasal dari profesional perbankan.
”Harus jelas apa yang terjadi dengan Bank Muamalat. Kenapa ada lembaga kita (BPKH) yang jadi pemilik di situ, sampai ada BUMN yang profesional mengelola di bidang ini tidak berani ambil. Itu yang perlu kita cari kejelasannya,” tuturnya.
Namun, Hekal juga tidak ingin upaya penyelamatan tersebut justru menimbulkan permasalahan bagi BTN. Di sisi lain, ia berharap Bank Muamalat dapat diselamatkan mengingat pemegang sahamnya adalah BPKH.
”Dalam tim pengawas haji, saya dengar-dengar info dana untuk berangkat haji mungkin untuk 2027 sudah kurang. Nah, sedangkan, lho saya dengar kok mereka punya bank, tugasnya kan bukan punya bank, seharusnya profesional-profesional seperti bapak-bapak/ibu-ibu di depan inilah yang mengelola bank,” tutur Hekal.
Dalam tim pengawas haji, saya dengar-dengar info dana untuk berangkat haji mungkin untuk 2027 sudah kurang.
Di sisi lain, anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Anam, justru menolak aksi akuisisi BTN tersebut. Apalagi, BPKH selaku pemegang saham mayoritas diduga terindikasi fraud sehingga justru akan menimbulkan masalah bagi BTN.
Dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II-2023, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan permasalahan terkait peningkatan kualitas layanan haji oleh Kementerian Agama. Salah satunya terkait penetapan besaran biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) Reguler yang belum optimal dalam mendukung keberlanjutan keuangan haji dan berkeadilan bagi jemaah haji.
Selama periode 2010-2023, biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) terus meningkat setiap tahunnya hingga mencapai Rp 55,55 juta atau meningkat sebesar 161 persen. Pada 2010, BPIH ditetapkan sebesar Rp 34,50 juta, sedangkan BPIH pada 2023 ditetapkan sebesar Rp 90,05 juta.
Sementara itu, biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) pada 2010 ditetapkan sebesar Rp 30,05 juta. Penetapan Bipih tersebut bertambah 19,76 juta atau naik 65,78 persen pada 2023 menjadi Rp 49,81 juta. Dengan demikian, subsidi BPIH meningkat sebesar Rp 35,78 juta atau setara 803,41 persen dari sebesar Rp 4,45 juta pada 2010 menjadi sebesar Rp 40,24 juta pada 2023.
Baca juga: Perbankan Syariah Tumbuh Positif meski Perlu Ungkit Pangsa Pasar
Di sisi lain, kenaikan penerimaan nilai manfaat tidak sebanding dengan pengeluaran subsidi BPIH dan alokasinya ke akun virtual belum mempertimbangkan asas keadilan.
Penyelenggaraan ibadah haji dengan pengelolaan keuangan haji yang berlangsung selama ini memiliki potensi risiko terhadap sustainabilitas keuangan haji. Ini mengakibatkan distribusi nilai manfaat tidak mencerminkan asas keadilan bagi jemaah haji tunggu, serta risiko likuiditas dan keberlanjutan keuangan haji di masa yang akan datang.
Tidak berjodoh
Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah menggambarkan, batalnya aksi akuisisi Bank Muamalat oleh BTN merupakan hal yang lumrah terjadi. Salah satu faktor yang membuat aksi korporasi tersebut batal ialah tidak ditemukannya titik kesepakatan antara harga yang ditawarkan dan harga yang diminta.
Hal ini ibarat seperti sedang memilih celana. Saat memutuskan untuk membeli celana, seseorang akan melihat dahulu model celananya, warna celananya, ukurannya, serta akan melihat harganya sebagai pertimbangan.
”Proses due diligence itu seperti saat orang ingin membeli celana jin. Harganya cocok, barangnya enggak cocok, bisa terjadi atau barangnya cocok, modelnya cocok, warnanya cocok, tetapi harganya enggak cocok itu bisa juga. Sesederhana itu kalau menurut saya persoalan BTN batal mengakuisisi Muamalat,” tuturnya saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (9/7/2024).
Piter berpendapat, aksi akuisisi oleh perusahaan bukanlah perkara yang mudah. Sebab, ada banyak pertimbangan dalam mengambil keputusan akuisisi, terutama dari segi kesehatan perusahaan serta dari sisi kesepakatan harga.
Sebelumnya, ia sempat mendukung aksi akuisisi tersebut mengingat BPKH bukan lembaga yang tepat untuk menjadi pemegang kendali atas Bank Muamalat. Sebab, BPKH merupakan lembaga yang seharusnya tidak memegang risiko atau dalam hal ini sektor perbankan.
Apabila melihat ke belakang, BPKH resmi menjadi pemegang saham pengendali Bank Muamalat setelah menerima hibah saham dari Islamic Development Bank (IsDB) dan SEDCO Group pada 15 dan 16 November 2021 sebanyak 7.903.112.181 saham atau setara dengan 77,42 persen.
Baca juga: Meneropong Gagasan Ekonomi Syariah Para Capres
Dengan demikian, total kepemilikan saham BPKH di Bank Muamalat naik menjadi 78,45 persen. Setelah Bank Muamalat melakukan rights issue dan BPKH menyuntikkan tambahan modal sebesar Rp 1 triliun, total kepemilikan saham BPKH di Bank Muamalat saat ini menjadi sebesar 82,7 persen.
”Yang namanya mencari jodoh, kan, enggak gampang. Kita sudah ganteng, kaya, belum tentu cewek-ceweknya mau sama kita atau enggak ketemu sama yang cocok sama kita, kira-kira begitulah. Namun, bukan berarti enggak ada lagi peluang berjodoh dengan yang lain. Menurut saya, BTN enggak perlu buru-buru,” tutur Piter.
Pada akhirnya, BTN memutuskan untuk menutup lembaran lama dengan Bank Muamalat. Barangkali, niat hati BTN berujung pada kasih bertepuk sebelah tangan karena ternyata ada ketidakcocokan dalam upaya menjalin komitmen bersama. Kendati demikian, BTN masih memiliki peluang besar untuk menggandeng bank lainnya yang mungkin sesuai dengan kriteria yang dicarinya.