Dongkrak Pendapatan, Pelita Air dan Garuda Indonesia Bakal Tambah Pesawat
Pesawat bekas pun jadi rebutan. Namun, peminatnya terbilang tinggi dan waktunya bersamaan.
TANGERANG SELATAN, KOMPAS — Guna memenuhi permintaan yang meningkat, PT Pelita Air Service dan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk berencana menambah armada pesawat pada tahun ini. Namun, tingginya permintaan sewa dalam skala global menambah tantangan perusahaan menerima armadanya tepat waktu.
PT Pelita Air Service, anak usaha PT Pertamina (Persero), berencana menambah tiga pesawat pada tahun ini. Semuanya akan bertipe Airbus A320, sama seperti armada-armada yang telah beroperasi selama ini. Apabila berjalan sesuai dengan rencana, Pelita Air Service bakal mengoperasikan total 14 pesawat pada 2024.
Baca juga: Pelemahan Rupiah Memukul Industri Penerbangan Domestik
Direktur Niaga Pelita Air Service Asa Perkasa mengemukakan, tambahan armada akan mengakomodasi rencana menambah rute-rute baru. Dua di antaranya adalah rute ke Lombok, Nusa Tenggara Barat, serta Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur.
”Tentunya dengan kondisi sekarang, apakah datangnya on time atau tidak, itu yang agak challenging. Sebab, kebutuhan untuk pesawat hampir dibutuhkan semua maskapai, jadi agak rebutan,” ujar Asa di Bandara Pondok Cabe, Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, Senin (8/7/2024).
Airbus A320 yang selama ini digunakan Pelita Air tengah naik daun. Banyak maskapai penerbangan yang berminat memanfaatkannya.
Tiga pesawat tambahan, Asa melanjutkan, akan memperluas cakupan Pelita Air. Selama ini, badan usaha milik negara (BUMN) ini telah menerbangkan rute dari Aceh hingga Papua. Namun, sejumlah kota besar, seperti Medan (Sumatera Utara) serta Makassar (Sulawesi Selatan) justru belum tersedia.
Seluruh status pesawat yang dikelola Pelita Air ini berupa sewaan. Kepemilikan pesawat sebagian besar pada armada-armada yang disewakan.
”Saat ini lebih banyak (pemasukan) pada penerbangan reguler. Artinya, putaran lebih besar karena jumlah yang diangkut. Kapasitas tiap pesawat sekitar 180 penumpang, juga dengan frekuensi terbang cukup tinggi, tentu menghasilkan uang lebih tinggi,” kata Asa.
Baca juga: Penerbangan Indonesia: Pasar Terbesar, Konektivitas Minim
Sebaliknya, Pelita Air saat ini banyak fokus melayani sektor minyak dan gas. Pesawat umumnya dimanfaatkan untuk berjaga, serta siap siaga untuk kondisi darurat untuk evakuasi medis atau medevac. Pesawat sewaan juga dimanfaatkan untuk mengantarkan kru Pertamina dari kota terdekat ke lokasi kerja di lapangan.
Rencana penambahan pesawat juga dilakukan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Saat ini, perusahaan pelat merah ini memiliki 71 unit yang terdiri atas 41 pesawat berbadan sempit (narrow body)serta 30 unit berbadan lebar (wide body).
”Jumlah pesawat kami masih terbatas. Tahun lalu ada tambahan empat unit. Tahun ini rencana ada 8+1, untuk satu ini yang kami baru dapatkan persetujuannya lima (unit) pada tahun lalu, tetapi belum diadakan,” ujar Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VI DPR RI, Rabu (3/7/2024).
Secara rinci, Garuda Indonesia memiliki 41 unit Boeing 737-800 NG. Posisi itu disusul 22 armada bertipe Airbus 330 serta delapan armada berjenis Boeing 777-300 ER.
“Seperti juga arahan panitia kerja (panja), tipe pesawat kami kurangi drastis. Kami cuma punya tiga tipe pesawat. Ada dua yang kami tidak gunakan, yaitu CRG dan ATR,” katanya.
Baca juga: Evaluasi di Balik Karut-marut Penerbangan Haji 2024
Pengamat penerbangan, Alvin Lie, berpendapat, kondisi saat ini memang agak dilematis bagi produsen pesawat, baik Boeing maupun Airbus. Keduanya mengalami kesenjangan antara kebutuhan dan pasokan atau backlog.
”Banyak pesanan yang terlambat pengirimannya sehingga pasar untuk pesawat-pesawat lama itu sekarang juga berebut karena pesanan-pesanan baru terlambat. Tidak hanya itu, hal itu terjadi juga pada pasokan komponen dan suku cadang,” ujarnya.
Upaya Pelita Air, misalnya, walau menyewa pesawat-pesawat bekas dan lama, unitnya diperebutkan. Sebab, banyak negara juga membutuhkan pesawat-pesawat itu dalam waktu bersamaan.
”Pasokan tersendat, persediaan terbatas, harga otomatis juga naik,” kata Alvin yang juga Ketua Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia (Apjapi).
Hingga kini tidak ada yang dapat memprediksi kapan kondisi akan kembali normal dengan pasokan yang aman dan tidak tersendat. Boeing dan Airbus dinilai kewalahan memenuhi pesanan dengan waktu pengiriman yang menunggak.
Kerja sama korporasi
Guna menambah pemasukan perusahaan, Pelita Air membuka kerja sama dengan perusahaan, baik swasta maupun BUMN. Ada kerja sama antarkorporasi sehingga para pekerja perusahaan terkait sebagai penumpang dapat bepergian dengan tarif tiket lebih rendah.
Selain swasta, PT Pengembangan Pariwisata Indonesia (Persero) atau ITDC baru saja menjalin kerja sama ini. Harapannya, pengadaan tiket akan lebih terjangkau sekaligus memperkuat kerja sama para BUMN ini.
”Kami basisnya hampir sama, pariwisata dan konektivitas. Tempat ada di mana-mana, kalau tidak ada penerbangan, tidak akan sampai,” kata Direktur Operasi ITDC Troy Rezza Warokka.
Dalam kesempatan yang sama, Asa mengatakan, pihaknya dapat memberikan diskon bagi perusahaan yang melakukan kerja sama korporasi (business to business). Pengeluaran perusahaan terkait untuk terbang dapat makin efisien.
”Saat ini sudah ada 1-2 perusahaan swasta yang jalin kerja sama dengan kami,” ujarnya.
Baca juga: Maskapai Jadi Kambing Hitam Besaran Tarif Tiket Pesawat
Mayoritas para penumpang Pelita Air adalah pebisnis, padahal pihak maskapai sempat memprediksi pemasukan bakal didominasi dari destinasi wisata pada akhir pekan. Sebaliknya, penerbangan lebih ramai pada hari kerja.
”Dengan ada beberapa kerja sama korporasi, pertumbuhan (pendapatan) pelan-pelan naik, cukup besar kontribusinya. Kami dorong business traffic,” kata Asa.
Rute favorit masih Jakarta-Bali yang berhasil membukukan keuntungan. Rute menguntungkan lainnya dari lini bisnis Pertamina, seperti Balikpapan (Kalimantan Timur) dan Pekanbaru (Riau).
Garuda Indonesia juga akan mengakomodasi para konsumennya dengan membuka rute-rute penerbangan dari Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta. Sebab, banyak penumpangnya tidak membutuhkan bandara mewah, tetapi jarak yang dekat dari rumah atau tempat usahanya.
Dalam riset Apjapi, mayoritas penumpang pesawat beperjalanan untuk dinas atau rapat kerja (29,7 persen). Tepat di bawahnya ada alasan keperluan pribadi (18,6 persen), pulang dari kegiatan (12,9 persen), menjenguk keluarga/resepsi pernikahan (12,3 persen), serta liburan/wisata (12,1 persen).
Asosiasi melakukan penelitian pada Januari 2024 terhadap 7.414 responden pemegang boarding pass. Metode yang digunakan berupa stratified random sampling di lima bandara internasional.
Kelima bandara yang dimaksud meliputi Bandara Soekarno-Hatta (Banten), Juanda (Jawa Timur), I Gusti Ngurah Rai (Bali), (Sumatera Utara), serta Sultan Hasanuddin (Sulawesi Selatan).
Baca juga: Mekanisme Pasar, Opsi Tekan Tarif Pesawat