Ramalan Harga Pangan Dunia Satu Dekade Mendatang (3)
Harga komoditas pangan dunia diperkirakan cenderung sedikit turun dalam satu dekade ke depan, 2024-2033.
Saat ini, harga komoditas pangan dunia cenderung turun setelah melonjak tinggi pada 2022. Indonesia sebagai negara eksportir-importir pangan diuntungkan sekaligus dirugikan. Bagaimana harga pangan dunia dan pengaruhnya ke Indonesia pada satu dekade ke depan?
Salah satu jawabannya tertuang dalam OECD-FAO Agricultural Outlook 2024-2033. Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) merilis laporan itu di Paris dan Roma, Selasa (2/7/2024), waktu setempat.
Indonesia merupakan negara eksportir minyak sawit terbesar dunia. Indonesia juga menjadi negara pengimpor pangan, seperti gandum, kedelai, beras, dan gula.
Dalam satu dekade ke depan, RI dan Malaysia diramal masih mendominasi perdagangan minyak nabati dari kelapa sawit. Kedua negara tersebut bakal menguasai sekitar 80 persen pasar minyak sawit mentah (CPO) dunia.
OECD-FAO memperkirakan produksi CPO RI naik dari 54,16 juta ton pada 2021-2023 menjadi 59,88 juta ton pada 2023. Begitu juga Malaysia, produksi CPO negara tersebut akan meningkat dari 20,77 juta ton menjadi 22,33 juta ton.
Baca juga: India dan ASEAN Bakal Geser China sebagai Penggerak Pasar Pangan Dunia (1)
Dalam periode perbandingan yang sama, ekspor CPO Indonesia justru diproyeksikan naik tipis dari 30,11 juta ton menjadi 30,54 juta ton. Produksi CPO Malaysia juga meningkat tipis dari 17 juta ton menjadi 18 juta ton.
OECD-FAO menyebutkan, integrasi pertimbangan kelestarian lingkungan ke dalam peraturan perdagangan dapat memengaruhi perdagangan minyak nabati pada 2024-2033. Salah satunya adalah Undang-Undang Produk Bebas Deforestasi Uni Eropa (EUDR).
OECD-FAO memperkirakan harga minyak sayur (dari kelapa sawit dan biji-bijian selain kedelai) pada 2033 turun menjadi 936,5 dollar AS per ton. Harga tersebut jauh di bawah rerata harga pada 2021-2023 yang mencapai 1.303 dollar AS per ton.
Di negara-negara produsen, beberapa langkah untuk mengatasi persoalan deforestasi, termasuk sertifikasi produksi bebas deforestasi, telah diterapkan. Peningkatan produksi minyak sawit di RI dan Malaysia akan semakin bergantung pada peremajaan dan peningkatan produktivitas sawit ketimbang perluasan lahan baru.
Terkait dengan harga, OECD-FAO memperkirakan harga minyak sayur (dari kelapa sawit dan biji-bijian selain kedelai) pada 2033 turun menjadi 936,5 dollar AS per ton. Harga tersebut jauh di bawah rerata harga pada 2021-2023 yang mencapai 1.303 dollar AS per ton.
Baca juga: Industri Sawit Didera Tiga Tantangan Besar
Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto, Jumat (5/7/2024), optimistis prospek sawit RI ke depan masih tetap bagus. Isu deforestasi pelan-pelan akan bisa teratasi lantaran sudah semakin banyak petani sawit swadaya memiliki sertifikat sawit berkelanjutan, yakni ISPO dan RSPO.
SPKS bersama sejumlah lembaga swadaya masyarakat juga mulai menerapkan praktik-praktik pertanian berkelanjutan. Salah satunya dengan menggunakan Panduan Pengelolaan Perkebunan Bebas-Deforestasi untuk Petani Kecil Indonesia.
”Untuk mencegah deforestasi ke depan, peningkatan produksi sawit memang harus mengarah ke peremajaan sawit dan peningkatan produktivitas, bukan lagi perluasan lahan di kawasan hutan,” katanya.
Baca juga: Jalan Transformasi Sawit PTPN III dan Rakyat
Harga pangan impor
Selain harga minyak sayur dunia, OECD-FAO juga meramalkan harga komoditas pertanian yang lain turun tipis pada satu dekade ke depan. Beberapa di antaranya adalah komoditas pangan yang kerap diimpor RI, seperti gandum, kedelai, gula, dan beras.
Harga rerata gandum dunia pada 2021-2023 sebesar 383,7 dollar AS per ton. Pada 2033, harganya diperkirakan turun menjadi 233,5 dollar AS per ton. Begitu juga dengan harga beras, turun dari 459,5 dollar AS per ton menjadi 379,4 dollar AS per ton.
Dalam periode perbandingan yang sama, harga kedelai dunia diproyeksikan turun dari 622,5 dollar AS per ton menjadi 439,4 dollar AS per ton. Adapun gula mentah, harganya diramalkan turun dari 498,3 dollar AS menjadi 321,3 dollar AS per ton.
Indonesia boleh dibilang beruntung karena harga komoditas-komoditas itu turun. Apalagi ada dua komoditas yang volume impornya diramal turun, yakni beras dan kedelai. Impor beras RI diperkirakan turun dari rerata 1,46 juta ton pada 2021-2023 menjadi 487.000 ton pada 2033. Impor kedelai juga diproyeksikan turun dari 3,6 juta ton menjadi 3,15 juta ton.
Harga kedelai dunia diproyeksikan turun dari 622,5 dollar AS per ton menjadi 439,4 dollar AS per ton. Adapun gula mentah, harganya diramalkan turun dari 498,3 dollar AS menjadi 321,3 dollar AS per ton.
Di sisi lain, Indonesia juga kurang beruntung karena ada komoditas yang volume impornya diramal naik meski harganya turun, yakni gula dan gandum. Dalam sepuluh tahun ke depan, impor gula RI bakal melonjak dari 7,71 juta ton menjadi 9,59 juta ton. Adapun impor gandum naik dari 10,37 juta ton menjadi 11,5 juta ton.
Baca juga: Swasembada Pangan RI dan Ramalan OECD-FAO (2)
Terkait dengan ramalan harga komoditas dunia, OECD-FAO mengarisbawahi, perkiraan itu bisa berubah tergantung dari kondisi ekonomi global dan setiap negara produsen pangan. Konflik geopolitik, pandemi, perubahan iklim ekstrem, hambatan logistik, dan gejolak nilai tukar bisa memengaruhi perubahan harga komoditas.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman meminta agar stabilitas nilai tukar rupiah dapat terus dijaga secara berkelanjutan. Upaya itu penting mengingat RI masih banyak bergantung pada impor pangan dan bahan baku industri.
Ia mencontohkan, total nilai impor gula, gandum, kedelai, dan susu sekitar 9 miliar dollar AS. Jika rupiah melemah Rp 500 per dollar AS, bakal ada tambahan sekitar Rp 4,5 triliun untuk mendatangkan keempat komoditas itu.
”Hal itu masih belum termasuk biaya logistik. Akibat pelemahan rupiah belakangan ini, biaya logistik yang ditanggung bertambah 3-4 persen,” katanya.