Kado untuk BI di Ulang Tahun Ke-71
Bank Indonesia memasuki usia 71 tahun pada hari ini, Jumat (5/7/2024). Apa kado yang relevan untuk otoritas moneter itu?
Hari ini, Jumat (5/7/2024), Bank Indonesia atau BI genap memasuki usia 71 tahun. Hari jadi BI tersebut dirayakan setiap 1 Juli atau empat hari sebelum hari peringatan BI. Selama lebih dari tujuh dekade, BI mengemban tugas sebagai bank sentral yang menjaga stabilitas rupiah, sistem pembayaran, serta sistem keuangan dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi.
Situasi perekonomian saat ini tidak mudah. Masih tingginya tingkat ketidakpastian global, potensi konflik geopolitik, serta kondisi perekonomian domestik menjadi tantangan tersendiri bagi BI dalam menjalankan perannya sebagai bank sentral.
Selama setahun terakhir, setidaknya BI telah memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuannya sebanyak dua kali, masing-masing sebesar 25 basis poin hingga menjadi 6,25 persen.
Selama setahun terakhir, setidaknya BI telah memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuannya sebanyak dua kali, masing-masing sebesar 25 basis poin hingga menjadi 6,25 persen. Keputusan ini diambil sebagai respons terhadap kondisi ekonomi global yang tidak menentu sehingga membuat rupiah tertekan dan berpotensi membawa dampak inflasi.
Dengan demikian, posisi kebijakan BI adalah mengedepankan stabilitas di atas pertumbuhan (stability over growth), caranya dengan menempuh kebijakan suku bunga tinggi.
Kendati demikian, BI tetap membuka ruang bagi pertumbuhan melalui kebijakan makroprudensial longgar dan sistem pembayaran. Inilah yang diklaim BI sebagai bauran kebijakan atau jamu manis dan jamu pahit.
Jamu pahit atau kebijakan yang mendukung stabilitas ditempuh BI agar nilai tukar rupiah dan inflasi tetap terjaga stabil. Alhasil, nilai tukar rupiah pada perdagangan Kamis (4/7/2024) ditutup di level Rp 16.341 per dollar AS atau melemah 5,84 persen secara tahun kalender, sedangkan tingkat inflasi pada Juni 2024 tercatat 2,51 persen secara tahunan atau berada dalam sasaran 1,5-3,5 persen.
Jamu pahit atau kebijakan yang mendukung stabilitas ditempuh BI agar nilai tukar rupiah dan inflasi tetap terjaga stabil.
Adapun jamu manis yang diberikan oleh BI diarahkan untuk memberi ruang bagi pertumbuhan ekonomi, salah satunya melalui kebijakan insentif likuiditas makroprudensial atau insentif penyaluran kredit sektor prioritas.
Per Mei 2024, penyaluran kredit oleh perbankan tumbuh 12,15 persen secara tahunan ditopang oleh kredit investasi yang tumbuh 14,8 persen, kredit modal kerja 11,59 persen, serta kredit konsumsi 10,47 persen.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdhani mengapresiasi kinerja BI dalam beberapa tahun terakhir, terutama saat terjadi tekanan eksternal dan berpotensi berdampak bagi pertumbuhan ekonomi. Dalam situasi tersebut, BI berupaya tetap menjalankan fungsinya menjaga stabilitas makroekonomi dan stimulasi pertumbuhan ekonomi.
”Kami sangat mendukung policy approach BI yang berbasis pada data pasar aktual dan transparan, serta mengetengahkan adanya balance antara kepentingan stabilitas dan stimulasi pertumbuhan. Kami menilai pendekatan ini sangat prudent dan mendukung penciptaan confidence pelaku usaha atau investor terhadap iklim usaha Indonesia,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (4/7/2024).
Baca juga: Rupiah Tembus Rp 16.240, Terbuka Dua Opsi Kebijakan Moneter
Selain itu, intervensi kebijakan BI dinilai tepat sasaran dan tepat waktu dalam menciptakan stabilitas serta memperkuat fundamental ekonomi nasional. Hal ini antara lain tampak dari terkendalinya inflasi setelah pandemi Covid-19 yang relatif lebih cepat dibandingkan negara-negara lain.
Di sisi lain, terdapat kebijakan BI yang dirasa kurang ideal bagi para pelaku usaha. Salah satunya adalah saat BI menaikkan suku bunga acuannya. Selama setahun terakhir, BI telah dua kali menaikkan suku bunganya pada Oktober 2023 dan April 2024.
Namun, para pelaku usaha memahami keterbatasan BI dan pemerintah dalam mengambil kebijakan sesuai dengan kebutuhan dunia usaha dalam hal dana dan penguatan nilai tukar rupiah.
Oleh sebab itu, BI diharapkan dapat mengoptimalkan intervensinya dengan memperkuat penerimaan devisa, mengendalikan rupiah, serta mengelola utang (sovereign debt management).
”Harus ada juga upaya pemerintah untuk meningkatkan produktivitas sektor riil, khususnya ekspor dan penerimaan investasi asing secara langsung (FDI). Kami sangat berharap kenaikan suku bunga ke depannya hanya dilakukan sebagai last resource apabila intervensi lain atas nilai tukar sudah dimaksimalkan,” tuturnya.
Eksternal-internal
Kepala Ekonom BCA David Sumual berpendapat, pelemahan nilai tukar rupiah terutama disebabkan oleh faktor eksternal. Hal ini merujuk kepada ekspektasi pasar terhadap pemangkasan suku bunga acuan bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed), dan masih kuatnya perekonomian AS.
Selain itu, faktor geopolitik juga berpengaruh terhadap pergerakan harga minyak yang pada gilirannya memengaruhi tingkat inflasi dan kemudian terefleksi dalam indeks dollar AS. Secara keseluruhan, faktor eksternal tersebut memberikan andil terhadap penurunan rupiah hingga 90 persen.
Pelemahan rupiah juga dipengaruhi oleh sentimen domestik, seperti data ekonomi dan arah kebijakan fiskal pemerintah selanjutnya.
Di sisi lain, pelemahan rupiah juga dipengaruhi oleh sentimen domestik, seperti data ekonomi dan arah kebijakan fiskal pemerintah selanjutnya. Oleh sebab itu, pemerintah selanjutnya diharapkan dapat memberikan kejelasan agar dapat meningkatkan kepercayaan para pelaku pasar dan investor.
”Sejauh ini, BI telah menjalankan perannya sebagai guardian dari sisi kebijakan moneter. Namun, memang persoalan yang dihadapi kebanyakan tidak dapat diselesaikan hanya dengan kebijakan moneter, tetapi juga dari sisi kebijakan pemerintah,” tutur David.
Lewat gerakan nasional
Selain dari sisi moneter, David melanjutkan, BI turut menjaga stabilitas inflasi melalui pengendalian inflasi lewat Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan. Sementara itu, kebijakan makroprudensial diarahkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, salah satunya dengan mendorong penyaluran kredit kepada sektor-sektor produktif.
Persoalan perekonomian domestik terkini, ia melanjutkan, tidak dapat diselesaikan hanya dengan kebijakan moneter. Oleh sebab itu, dibutuhkan sinergi yang lebih erat antara kebijakan moneter dan fiskal.
”BI tetap harus independen dalam mengambil kebijakan mengingat berbagai perkembangan eksternal dan domestik. Independensi ini penting karena sekarang banyak kasus di berbagai negara yang bank sentralnya pada akhirnya tidak independen. Akhirnya, yang dikorbankan tingkat inflasinya yang melonjak, seperti Argentina,” tuturnya.
Baca juga: Triwulan III-2024, Rupiah Diperkirakan Bergerak Stagnan Rp 16.000-Rp 16.500 Per Dollar AS
Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menyerahkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Tahunan Bank Indonesia (LKTBI) tahun 2023 kepada Gubernur BI Perry Warjiyo, di kantor BI, Jakarta, Kamis (13/6/2024). BPK menemukan, pelaksanaan manajemen keberlangsungan tugas BI belum memadai.
Rekomendasi BPK
Hal ini mengakibatkan risiko operasional dan ancaman gangguan pusat data serta disasterrecovery center BI meningkat. Oleh sebab itu, BPK merekomendasikan BI untuk menyempurnakan rancangan disaster recovery plan (DRP) dan mengimplementasikannya dalam pelaksanaan manajemen tugas.
BPK juga menemukan masalah pengaturan penentuan harga acuan nilai wajar Surat Berharga Negara (SBN) dan belum memadainya penyelenggaraan operasional Bank Indonesia-Fast Payment (BI-FAST). Ini mengakibatkan potensi informasi yang bias atas nilai aset SBN dalam laporan keuangan BI serta risiko kegagalan dalam memberikan pelayanan BI-FAST yang terbaik kepada masyarakat.
BPK juga mengingatkan agar BI senantiasa dapat menjaga governance yang telah dibangun dan dipelihara dengan baik selama ini.
Meski demikian, masalah tersebut tidak berdampak material terhadap kewajaran LKTBI 2023. LKTBI telah disajikan secara wajar dengan berpedoman pada kesesuaian Standar Akuntansi Pemerintah (SAP), kecukupan pengungkapan, kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dan Sistem Pengendalian Intern (SPI). Dari situ, BPK memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas LKTBI 2023.
”Pada prinsipnya, dalam rangka penguatan dan penyempurnaan tata kelola di sektor moneter, sistem pembayaran dan makroprudensial, BPK mendukung berbagai kebijakan yang telah dilakukan BI. Namun, BPK juga mengingatkan agar BI senantiasa dapat menjaga governance yang telah dibangun dan dipelihara dengan baik selama ini,” tutur anggota II BPK/Pimpinan Pemeriksaan Keuangan Negara II, Daniel Lumban Tobing, dalam keterangan resminya.
Pertajam transformasi
Gubernur BI Perry Warjiyo menyebut, saat ini BI terus mengoptimalkan dan mempertajam transformasi. Transformasi kebijakan tersebut berfokus pada penguatan strategi operasi moneter, pengembangan pasar keuangan, serta perluasan local currency transaction.
Dari segi kebijakan moneter, BI memperdalam pasar keuangan dengan mengembangkan instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI), serta Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI). Ketiga instrumen ini diharapkan dapat turut menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Aliran modal asing yang masuk secara neto melalui SRBI pada triwulan I-2024 tercatat Rp 19,74 triliun.
Aliran modal asing yang masuk secara neto melalui SRBI pada triwulan I-2024 tercatat Rp 19,74 triliun. Jumlah tersebut kemudian meningkat pada triwulan II-2024 menjadi Rp 104,7 triliun.
”Kami harus memperkuat langkah-langkah moneter untuk menstabilkan nilai tukar rupiah. Itu harus kami lakukan,” katanya dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR RI dengan Gubernur BI, Senin (24/6/2024).
Tiga instrumen
Terdapat tiga instrumen moneter BI untuk menstabilkan nilai tukar rupiah, yakni intervensi pasar dengan mengandalkan cadangan devisa, pendalaman pasar keuangan, serta kebijakan suku bunga. Melalui ketiga instrumen tersebut, rupiah yang sebelumnya telah menembus Rp 16.500-Rp 16.600 per dollar AS berbalik menguat menjadi Rp 15.900-Rp 16.000 pada awal Juni 2024.
Perry memperkirakan, nilai tukar rupiah akan bergerak stabil terutama didukung oleh fundamental ekonomi Indonesia yang relatif lebih baik dibandingkan dengan negara lain. Hal ini akan mendukung aliran masuk modal asing dan menarik imbal hasil.
Baca juga: BI, ”Raja Baru” Obligasi Pemerintah
Berdasarkan data transaksi 24-27 Juni 2024, investasi portofolio asing mencatatkan beli neto sebesar Rp 19,69 triliun. Ini terdiri dari beli neto Rp 8,30 triliun di pasar SBN, beli neto Rp 2,23 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp 9,16 triliun di SRBI.
Pada akhirnya, faktor eksternal cenderung lebih berpengaruh terhadap pergerakan rupiah. Kali ini, BI masih berada dalam relnya untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan inflasi. Ke depan, langkah-langkah yang telah ditempuh oleh BI dapat ditingkatkan dengan tetap memegang prinsip sebagai bank sentral yang independen.