Triwulan III-2024, Rupiah Diperkirakan Bergerak Stagnan Rp 16.000-Rp 16.500 Per Dollar AS
Penguatan mata uang dollar AS diperkirakan cenderung mulai mereda selama semester II-2024.
JAKARTA, KOMPAS — Nilai tukar rupiah pada triwulan III-2024 diperkirakan akan berfluktuasi dalam rentang Rp 16.000-Rp 16.500 per dollar AS. Pergerakan rupiah tersebut terutama dipengaruhi oleh pemangkasan suku bunga bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve atau The Fed.
Mengutip Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), nilai tukar rupiah pada perdagangan Rabu (3/7/2024) ditutup di level Rp 16.387 per dollar AS. Dalam tiga pekan terakhir, pergerakan rupiah berada pada kisaran Rp 16.300-16.400 per dollar AS dengan titik tertingginya mencapai Rp 16.458 per dollar AS pada 21 Juni 2024.
Baca juga: BI Dinilai Keteteran Stabilkan Rupiah hingga Tembus Rp 16.420 Per Dollar AS
Berdasarkan data transaksi 24-27 Juni 2024, investasi portofolio asing mencatatkan beli neto sebesar Rp 19,69 triliun. Ini terdiri dari beli neto Rp 8,30 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), beli neto Rp 2,23 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp 9,16 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
FX Strategist, Global Financial Markets DBS Bank Terence Wu mengatakan, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada triwulan III-2024 masih akan stagnan (sideways) atau bahkan bisa melemah. Di sisi lain, penguatan dollar AS diperkirakan cenderung mulai mereda selama semester II-2024.
”(Rupiah) Baru akan menguat nanti pada triwulan IV-2024 dengan asumsi The Fed mulai memangkas suku bunga. Jadi, kurs dollar AS akan mencapai titik puncaknya, lalu rupiah akan menguat ketika The Fed menurunkan suku bunga,” katanya dalam acara ”Navigating the Currency Volatility: Exploring Economic Projections and FX Investments with Bank DBS Indonesia” di Jakarta, Rabu (3/7/2024).
Berdasarkan proyeksi Bank DBS, nilai tukar rupiah pada triwulan III-2024 akan berada pada kisaran Rp 16.000-Rp 16.500 per dollar AS. Kemudian, rupiah akan menguat hingga akhir tahun dalam rentang Rp 15.800-Rp 16.000 per dollar AS.
Menurut Terence, pelemahan kurs dollar AS pada semester II-2024 didorong oleh mulai memudarnya ketahanan ekonomi AS terutama terhadap kawasan Eropa dan Inggris yang mulai pulih dari resesi. Pemangkasan suku bunga di kedua kawasan tersebut secara bertahap membuat pergerakan dollar AS cenderung melemah.
Pemerintah tentu tidak akan diam saja. Di tengah pelemahan rupiah ini, mereka tentu tidak akan mengambil kebijakan secara ekstrem yang justru akan menjatuhkan rupiah.
Equities Specialist DBS Group Research Maynard Arif menambahkan, pelemahan nilai tukar rupiah tersebut terutama disebabkan oleh sentimen eksternal, yakni penguatan dollar AS. Faktor eksternal tersebut lebih berdampak signifikan ketimbang sentimen negatif mengenai kebijakan fiskal pemerintahan yang akan datang.
”Pemerintah tentu tidak akan diam saja. Di tengah pelemahan rupiah ini, mereka tentu tidak akan mengambil kebijakan secara ekstrem yang justru akan menjatuhkan rupiah. Tentu pemerintahan baru, saya rasa akan realistis menjaga stabilitas dan tidak akan berani terlalu agresif,” ujarnya.
Baca juga: Pelemahan Nilai Tukar Rupiah Jadi Peluang Tarik Wisatawan Asing
Maynard menilai, BI saat ini masih berupaya untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Hal ini tampak dari keputusan BI yang memilih untuk menaikkan suku bunga acuannya menjadi 6,25 persen pada April 2024.
Selain itu, stabilitas nilai tukar rupiah turut ditopang oleh cadangan devisa yang masih memadai. Pada Mei 2024, cadangan devisa tercatat sebesar 139 miliar dollar AS atau meningkat dari 136,2 miliar dollar AS pada April 2024.
”Cadangan devisa kita masih cukup untuk ekspor dan untuk perekonomian, supaya berputar. Namun, kalau untuk mempertahankan rupiah, bukan dilihat dari berapa banyaknya cadangan devisa karena dari sisi investor lebih melihat perbedaan suku bunga,” tuturnya.
Head of Investment Product & Advisory PT Bank DBS Indonesia Djoko Soelistyo menambahkan, para investor dapat memanfaatkan momentum penguatan perekonomian AS. Salah satunya dengan menyasar obligasi Pemerintah AS ataupun berinvestasi ke mata uang yang tengah terdepresiasi, seperti yen Jepang.
Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede memperkirakan, nilai tukar rupiah akan berada di kisaran Rp 15.900-Rp 16.300 per dollar AS pada akhir 2024 dengan imbal hasil obligasi rupiah bertenor 10 tahun berkisar 6,9-7,2 persen. Kondisi tersebut turut didukung oleh upaya BI yang akan tetap menempuh intervensi guna menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sehingga akan berpengaruh terhadap cadangan devisa dalam jangka pendek (Kompas.id, 17/6/2024).
Baca juga: Sinyal The Fed dan Kekhawatiran Investor Bawa Rupiah Tembus Rp 16.400 Per Dollar AS
Adapun ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed pada akhir 2024 turut memberikan ruang bagi penurunan suku bunga BI yang diperkirakan akan bergeser ke awal 2025 atau setelah The Fed memangkas suku bunga acuannya terlebih dahulu. Hal ini mengingat BI tengah berupaya menjaga spread positif dari instrumen keuangan domestik Indonesia.
Pada akhir lebaran, rupiah waktu itu sudah Rp 16.500-Rp 16.600 dan kembali menguat ke Rp 15.900, lalu stabil di sekitar Rp 16.000.
Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan, terdapat tiga cara yang ditempuh oleh BI dalam menstabilkan nilai tukar rupiah. Ketiga cara tersebut yakni melalui intervensi pasar keuangan, pendalaman pasar keuangan, serta kebijakan suku bunga (BI Rate).
”Kami mengumpulkan cadangan devisa saat terjadi inflow (aliran modal masuk) sehingga cadangan devisa naik. Saat outflow (aliran modal keluar), cadangan devisa digunakan untuk intervensi,” katanya dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR, Senin (24/6/2024).
Terkait dengan pendalaman pasar keuangan, BI telah menerbitkan tiga instrumen, yakni SRBI, Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI), serta Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI). Saat aliran modal asing keluar, suku bunga ketiga instrumen tersebut akan ditingkatkan untuk menarik modal asing masuk.
Sementara itu, BI juga memiliki kebijakan suku bunga untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan inflasi sesuai sasaran. Pada April 2024, BI menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin menjadi 6,25 persen.
”Hasilnya kelihatan, pada April 2024, SRBI outflow Rp 3,65 triliun, sedangkan pada Mei 2024 menjadi inflow Rp 80,29 triliun sehingga itu mendukung nilai tukar rupiah. Pada akhir lebaran, rupiah waktu itu sudah Rp 16.500-Rp 16.600 dan kembali menguat ke Rp 15.900, lalu stabil di sekitar Rp 16.000,” ujar Perry.
Menurut dia, pelemahan nilai tukar rupiah tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor global, yakni ketidakpastian pemangkasan suku bunga The Fed, pemangkasan suku bunga bank sentral Eropa, risiko geopolitik, serta tingginya tingkat suku bunga obligasi pemerintah AS. Selain itu, terdapat pula faktor internal, seperti meningkatnya permintaan dollar AS oleh korporasi pada triwulan II-2024 dan munculnya persepsi mengenai kesinambungan fiskal ke depan.
Baca juga: Pengamat: BI Butuh Rogoh Cadangan Devisa 3 Miliar Dollar AS untuk Kendalikan Rupiah