Pembentukan Badan Logistik Nasional Dinilai Bisa Pacu Kinerja Logistik
Pengusaha menilai butuh badan khusus yang mengatur logistik secara nasional.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembentukan badan logistik nasional atau BLN dinilai bisa memacu kinerja industri logistik di Tanah Air. BLN yang independen dan langsung di bawah kendali presiden akan dapat mengatasi tumpang tindih dan ketidakpastian dalam pengelolaan logistik nasional.
Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (Alfi) Akbar Djohan meyakini, langkah presiden terpilih untuk membentuk BLN dapat memacu kinerja industri logistik sehingga akan berkontribusi signifikan untuk memenuhi target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang dicanangkan untuk beberapa tahun ke depan. Selama ini, pertumbuhan logistik selalu di atas pertumbuhan ekonomi nasional.
”Kalau ada tata kelola logistik dan ada badannya, tak mustahil itu (pertumbuhan ekonomi) 8 persen. Karena faktanya, pertumbuhan kita selalu di atas 5 persen,” ujarnya dalam diskusi ”Mewujudkan Efisiensi Logistik Nasional” di Jakarta, Selasa (2/7/2024).
Ia berharap BLN secara independen ini nantinya melaporkan langsung pada presiden. Selama ini, laporan terakhir hanya sampai asisten deputi Kementerian Perekonomian. Hal ini bisa dimulai melalui pembentukan undang-undang.
Tanpa BLN akan terjadi ketidakpastian serta tumpang tindih. Lebih dari 25.000 kontainer yang tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, serta Tanjung Perak, Surabaya, terjadi karena tak ada badan khusus yang mengurus hal ini.
Presiden terpilih Prabowo Subianto menargetkan Indonesia tumbuh 8 persen mulai tahun 2027. Angka itu bisa didapatnya dalam dua hingga tiga tahun sejak awal pemerintahannya. Pencapaian itu diraih melalui program-program yang telah direncanakan.
Pada acara itu hadir pula Ketua Federasi Internasional Asosiasi Freight Forwarders Regional Asia Pasifik Yukki Nugrahawan serta praktisi pengiriman atau shipping, Asmari Herry. Ada pula sejumlah tokoh lain, yakni Wakil Ketua Umum DPP Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia Tata Djuarsa dan Direktur Utama Subholding Pelindo Solusi Logistik Joko Noerhudha.
Yukki Nugrahawan mengatakan, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi nasional 8 persen, pertumbuhan logistik setidaknya harus dua kali dari pertumbuhan nasional. Pada saat bersamaan, digitalisasi perlu terus digencarkan.
Tiap industri yang dibangun akan membentuk berbagai aspek positif. Aspek itu adalah kota baru, serta pergerakan penduduk baru dan diharapkan tiap investasi bermanfaat bagi daerah sekitar.
Data Kementerian Investasi menunjukkan, realisasi investasi di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa pada triwulan I hampir berimbang. Pulau Jawa menyumbang Rp 200,5 triliun atau 49,9 persen, sedangkan luar Pulau Jawa berkontribusi Rp 201 triliun setara 50,1 persen.
”Kita dorong (investasi) di luar Jawa bisa 70 persen, baru Indonesia akan lebih baik lagi,” kata Yukki.
Bank Dunia mengukur Indeks Kinerja Logistik (LPI) Indonesia pada peringkat 3,0 pada 2023. Negara-negara tetangga lebih tinggi dari Indonesia. Singapura duduk peringkat pertama (4,3) disusul Malaysia (3,6), dan Thailand (3,5).
Yukki mengatakan, penilaian Bank Dunia tak perlu dipusingkan karena aspek terpenting, pertumbuhan ekonomi naik, daya beli masyarakat terjaga, serta investasi berdatangan. Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah penduduk yang besar pula. Kondisinya tak bisa dibandingkan dengan negara-negara tetangga.
Hal senada diutarakan Joko Noerhudha. Ada upaya yang dilakukan untuk memperbaiki LPI Indonesia.
”Masih ada ruang improvement, bukan jelek tak selesai-selesai, kita sudah lebih baik,” katanya.
Harmonisasi regulasi
Kondisi global saat ini, antara lain isu geopolitik serta peperangan yang meningkatkan ketidakpastian dalam dunia usaha, berada di luar kendali Indonesia. Namun, peristiwa-peristiwa ini akan bergeser pada penguatan bisnis di regional, artinya Asia Tenggara akan menjadi kunci.
”Rasanya pembangunan infrastruktur kepelabuhanan, baik laut, udara, bahkan jalan sudah sangat masif investasinya. Menurut saya, justru yang harus didorong harmonisasi regulasi dan harmonisasi hukum,” tutur Akbar
Akbar menambahkan, apabila tak ada ”panglima” yang mengurus logistik nasional, Akbar melanjutkan, tiap pergantian rezim akan berubah pula fokus pemerintah.
Berkaca dari hari libur serta cuti bersama, sektor pariwisata memang diuntungkan. Namun, inventarisasi perkapalan juga meningkat. Operasional truk dibatasi sehingga dinamika di pelabuhan turut terdampak.
Guna mengatur tata kelola ini, perlu koordinator yang dapat menengahi serta mengomunikasikannya dengan pihak kepolisian serta kementerian terkait. Tak hanya itu, komunikasi dengan pihak industri serta pelaku usaha lain juga dibutuhkan.
”Bukan kami mengharapkan anggaran, no! Kami pengusaha logistik ini sangat independen, sudah biasa. Kami ingin ada satu lembaga independen dengan tugas yang jelas, indeks penilaian (KPI) yang jelas, perjanjian tingkat layanan (SLA) yang jelas. Bagaimana konektivitas semua stakeholder bisa satu suara,” ujarnya.
Secara terpisah, Direktur The National Maritime Institute Siswanto Rusdi mengatakan, Indonesia memang membutuhkan BLN, tetapi tetap dikelola pemerintah. Dalam proses transisi pemerintahan baru ini, pemerintah berencana melakukan reorganisasi lembaga sehingga kementerian khusus bidang pelayaran logistik perlu dipertimbangkan.
”Ranah pengusaha itu bukan pada regulasi karena badan logistik itu ada fungsi regulasi, itu fungsi negara. Pemerintah bisa ambil idenya kemudian disesuaikan,” ujarnya.