Bagaimana Prabowo Akan Genjot Penerimaan Tanpa Menaikkan Tarif Pajak...
Negara semakin ”besar pasak daripada tiang”. Apakah rezim baru bisa menggenjot penerimaan tanpa menaikkan tarif pajak?
Coba bayangkan skenario berikut ini. Tahun lalu, penghasilan Anda meroket karena menerima bonus besar dari kantor. Tahun ini, bonus serupa yang diharapkan tidak ada lagi sehingga saldo di rekening Anda merosot drastis dibandingkan dengan tahun lalu.
Apesnya, pengeluaran Anda semakin banyak. Ada kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi serta tagihan, cicilan kredit, dan utang yang harus dibayar. Di saat yang sama, Anda telanjur berencana pindah rumah dan berjanji menyantuni anak-anak yatim.
Anda pusing. Pilihan yang tersedia ada tiga. Mencari sumber pemasukan tambahan sembari berharap gaji naik dan bonus kembali cair, mengencangkan ikat pinggang alias berhemat, atau berutang lagi. Mana yang harus diambil?
Baca juga: Pajak Seret, Pemerintah ”Putar Otak” Cari Cara Menambal Defisit APBN
Contoh di atas adalah versi sederhana dari ”kepusingan” yang kini dihadapi pemerintah. Setelah penerimaan pajak sempat meroket akibat naiknya harga komoditas global pada 2022 dan 2023, kinerja pajak tahun 2024 menurun drastis seiring dengan melandainya harga komoditas tersebut.
Untuk lima bulan berturut-turut sepanjang awal 2024, setoran pajak merosot. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, penerimaan pajak pada Januari-Mei 2024 terkontraksi 8,4 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, yakni dari Rp 830,5 triliun menjadi Rp 760,4 triliun.
Turunnya kinerja pajak itu sudah terjadi sejak awal 2024. Per Januari 2024, setoran pajak minus 8,07 persen secara tahunan. Berturut-turut selanjutnya adalah minus 3,9 persen per Februari, minus 8,8 persen per Maret, dan minus 9,3 persen per April.
Sementara itu, pengeluaran pemerintah semakin besar. Selain belanja wajib dan rutin yang harus dialokasikan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pemerintah juga harus membayar cicilan bunga utang yang semakin besar.
Di tengah kondisi keuangan negara yang semakin ’cekak’, pemerintah punya proyek ambisius.
Tahun ini, pembayaran bunga utang sudah mencapai Rp 497,3 triliun. Tahun depan, nilainya diperkirakan membengkak menjadi Rp 561 triliun.
Di tengah kondisi keuangan negara yang semakin ”cekak”, pemerintah punya proyek ambisius. Ada pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang ”diwariskan” rezim Joko Widodo ke Prabowo Subianto. Ada pula program makan bergizi gratis, janji kampanye Prabowo, yang membutuhkan anggaran Rp 71 triliun pada 2025.
Menaikkan PPN atau tidak
Di antara opsi lain, seperti berutang, pilihan paling ideal tentunya menaikkan penerimaan pajak. Tinggal tantangannya adalah pada caranya. Cara paling mudah dan cepat adalah dengan menaikkan tarif pajak yang dipungut dari setiap wajib pajak.
Celahnya pun sebenarnya sudah ada. Berdasarkan amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Konsumsi semestinya dinaikkan dari 11 persen menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025.
Namun, keputusan menaikkan tarif pajak di tengah kondisi gejolak ekonomi, daya beli masyarakat yang sedang melemah, serta sektor riil yang tertekan adalah tidak mudah dan belum tentu tepat pula.
Baca juga: Pemerintah Dilematis Menaikkan Tarif PPN Mulai Tahun Depan
Dari segi politik, risiko menaikkan tarif PPN akan lebih besar. Publik akhir-akhir ini sangat resistan terhadap kebijakan pemerintah yang bisa menambah beban biaya hidup.
Pemerintah pun cenderung lebih berhati-hati menyikapi respons masyarakat. Alhasil, banyak kebijakan yang ujung-ujungnya dibatalkan setelah mendapat penolakan luas.
”Akan sulit menaikkan tarif PPN karena itu bukan hal yang populis meskipun dibutuhkan. Keputusannya bagaimana, kita tunggu pemerintahan selanjutnya. Namun, sepertinya akan sulit sehingga kita bakal lebih berharap pada intensifikasi (pajak),” kata peneliti dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar.
Sementara itu, dari hitung-hitungan ekonomi, kebijakan menaikkan tarif PPN juga dinilai tidak akan banyak membantu mendongkrak penerimaan pajak.
Mengutip kajian Bank Dunia dalam ”Indonesia Economic Prospect” edisi Juni 2024, dampak absolut dari kenaikan tarif PPN dari 10 persen ke 11 persen pada 2022 hanya sebesar 0,3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2022 dan 0,4 persen terhadap PDB pada 2023.
Bank Dunia menilai penerimaan pajak yang tinggi pada 2022 dan 2023 lebih banyak ditopang oleh kenaikan harga komoditas ketimbang kenaikan tarif PPN. Menaikkan tarif PPN tidak akan pernah efektif selama basis pajak dan kepatuhan pajak di Indonesia masih rendah.
Hingga hari ini, wacana kenaikan tarif PPN masih menggantung. Pemerintahan Jokowi melempar keputusan itu ke pemerintahan Prabowo, sementara perwakilan Prabowo sampai saat ini belum bisa memberi kepastian.
Thomas Djiwandono, anggota Bidang Keuangan Tim Gugus Tugas Sinkronisasi alias tim transisi Prabowo-Gibran, belum bisa memastikan jika tarif PPN akan dinaikkan ketika Prabowo menjabat atau tidak. ”Semua akan kita koordinasikan seperti yang sudah saya jelaskan. Tidak lebih, tidak kurang,” katanya.
Lantas, ada cara lain
Ada banyak upaya yang bisa dilakukan untuk menaikkan penerimaan pajak tanpa menaikkan tarif. Akan tetapi, dibutuhkan terobosan yang cukup radikal serta kesadaran bahwa kebijakan apa pun yang berkaitan dengan pajak tidak mungkin bisa memuaskan semua pihak.
Co-founder Botax Consulting Raden Agus Suparman, misalnya, menilai penggalian potensi pajak bisa diperluas dengan menggunakan rekening bank, sebagaimana Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melakukan analisis aliran transaksi uang mencurigakan.
Dengan menggunakan rekening bank, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bisa mendapat informasi lebih akurat tentang kekayaan seseorang sehingga penarikan pajak bisa ditingkatkan sesuai potensi sebenarnya.
”Sebagian besar pebisnis saat ini menyimpan uangnya di rekening bank, atau setidaknya hasil usahanya pernah lewat rekening bank sebelum ditransfer ke akun digital lain, seperti e-wallet. Sangat mungkin untuk menggali potensi pajak lewat rekening bank,” kata Raden.
Baca juga: Target Rasio Pajak di Tahun Pertama Prabowo Turun
Raden yang pernah bertugas di DJP selama 20 tahun mengatakan, petugas pajak selama ini menahan diri untuk tidak mengoptimalkan data rekening bank meskipun aturannya memungkinkan. Pemeriksaan rekening bank hanya digunakan sesekali ketika ada kebutuhan pemeriksaan.
”DJP belum berani memakai rekening bank karena takut membuat gaduh. Ditakutkanprominent people terdampak, merasa terganggu, membuat gaduh, dan akibatnya ada penolakan dari presiden atau menteri keuangan. Karena itu, supaya bisa memanfaatkan rekening bank, kuncinya adalah dorongan langsung dari presiden,” ujar Raden.
Opsi lainnya adalah menurunkan ambang batas pengusaha kena pajak (PKP) dan mengurangi fasilitas pengecualian PPN ketimbang menaikkan tarif PPN. Menurut ekonom senior Bank Dunia, Wael Mansour, dengan menurunkan ambang batas PKP itu, lebih banyak pengusaha yang akan membayar PPN.
Ia mengatakan, Indonesia saat ini memiliki ambang batas yang terlalu tinggi untuk PPN, bahkan tujuh kali lebih tinggi dari negara lain. ”Akibat ambang batas yang terlalu tinggi itu, akhirnya sangat sedikit pengusaha dan perusahaan yang membayar PPN di Indonesia,” katanya.
Mansour menyadari, ambang batas yang tinggi itu diterapkan untuk melindungi usaha berskala mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Namun, batasnya terlalu tinggi sehingga setoran PPN yang masuk ke kas negara jauh dari potensi sebenarnya. Banyak pula pengusaha yang menjadikan ambang batas itu sebagai tameng untuk bersembunyi dari kewajiban.
Pilihan lainnya adalah menghapus sejumlah fasilitas atau pengecualian PPN yang tidak terlalu mendesak di sejumlah sektor. Saat ini, pemerintah dinilai memberlakukan terlalu banyak fasilitas PPN sehingga potensi setoran pajak tergerus. ”Tentunya ini harus dilakukan secara selektif, misalnya, jangan hapus fasilitas PPN yang selama ini membantu orang miskin. Masih banyak sektor lain yang tidak terlalu mendesak,” kata Mansour.