Dampak serangan siber terhadap Pusat Data Nasional Sementara atau PDNS hingga kini tak kunjung sepenuhnya tuntas. Serangan yang terjadi sejak Kamis (20/6/2024) itu menyisakan sejumlah pertanyaan besar. Seberapa cakap negara mengelola dan melindungi data penting warganya?
Masalahnya, kasus ini bukan yang pertama kali terjadi di Indonesia. Sebelumnya, serangan siber yang mencuri data pribadi warga Indonesia juga pernah terjadi. Mulai dari sektor perbankan, lokapasar, layanan kesehatan, hingga layanan telekomunikasi menjadi mangsa empuk pelaku kejahatan siber. Data penting diperjualbelikan di pasar gelap.
Ada yang marah, gemas, hingga heran bercampur takjub melihat respons pemerintah menangani gangguan pusat data tersebut. Lantas, bagaimana respons warga? Berikut sebagian petikannya.
”Pembobolan Pusat Data Nasional dan fenomena pembobolan data pribadi yang diretas membuat saya khawatir. Namun, saya tidak heran juga. Pemerintah seakan membiasakan dan anggap enteng adanya pembobolan itu,” ujar Patricia Yashinta Desy Abigail (27), karyawan swasta yang tinggal di Jakarta.
Menurut dia, pelindungan data pribadi merupakan salah satu hak asasi manusia yang dijamin oleh negara. Hal ini sudah tertulis dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi. Dari rentetan kasus pembobolan data itu membuatnya tidak percaya sama sekali atas keamanan data pribadi oleh negara. Padahal, ia mengaku sudah sangat menjaga keamanan data pribadi.
”Namun, jika pemerintah saja gagal, sebaik apa pun saya menjaga data pribadi jadi sia-sia. Sebab, seluruh data masyarakat berpusat pada sistem di negara ini. Mungkin saya harus pindah negara,” tuturnya.
Respons senada disampaikan Bambang Dwi Atmoko. Menurut pekerja media dan kreatif di Jakarta itu, kebocoran data pada PDNS adalah peristiwa yang sangat miris dan memalukan. Pemerintah seperti tidak pernah belajar dari banyaknya kejadian kebocoran data dan serangan siber sebelumnya.
”Apalagi ini menyangkut data kritikal yang menyangkut hajat hidup orang banyak, terhubung ke banyak instansi, tetapi sama sekali tidak punya sistem keamanan dan backup yang mumpuni,” ujarnya.
Bambang menyampaikan, untuk urusan data yang dikelola pemerintah, hal itu sudah diatur lewat perangkat regulasi sehingga rakyat tidak punya banyak pilihan dan wajib mengikuti aturan itu. Berbeda dengan swasta di mana rakyat atau pelanggan masih memiliki pilihan untuk menyerahkan data pribadi atau tidak.
”Kita memang harus menerapkan pengamanan yang baik pada akun dan perangkat, tetapi yang berpengaruh krusial adalah sistem keamanan data pada Pusat Data Nasional (yang dikelola pemerintah),” tuturnya.
Sementara itu, Hussein Abri Dongoran (33), karyawan swasta asal Jakarta, menilai mitigasi pemerintah atas kasus kebocoran data pada PDN terkesan komedi. Sebab, antarinstansi tampak saling menyalahkan. Kasus ini mengesankan bahwa negara tak sanggup melindungi data penting, termasuk data rakyatnya.
”Sulit menaruh harapan pada negara yang kerap mengecewakan rakyatnya,” ujarnya seolah pasrah.
Seharusnya, menurut dia, pemerintah benar-benar serius menanggapi kasus kebocoran data pada PDNS tersebut. Tingkat ketidakpercayaannya pada pemerintah dalam melindungi data rakyatnya semakin besar. Masalah ini jelas akibat kelalaian pemerintah.
”Kalau setelah kasus PDNS, mungkin nanti data kelahiran kita, keluarga, hingga rekam medis bisa jadi bukan rahasia lagi,” katanya.
Kekhawatiran serupa juga diucapkan Maria Clarissa Krisanti (26), pekerja di Yogyakarta. Ia mengatakan, apabila data pribadi sampai bocor, bisa berisiko pada kerugian finansial. Lalu, data pribadi juga bisa tersebar di media sosial atau platform komunikasi lainnya.
”Peretasan Pusat Data Nasional ini sangat disayangkan. Apalagi, saat ini seluruh data pribadi telah terintegrasi dalam kartu tanda penduduk (KTP). Harapannya, pemerintah bisa lebih serius dalam menangani keamanan data pribadi masyarakat,” ujarnya.