Saat ini, terjadi pelemahan rupiah dan tren kenaikan harga minyak. Beban APBN bisa kian berat menanggung subsidi.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengamat menilai situasi makroekonomi yang tidak stabil dan nilai tukar rupiah yang melemah berpotensi meningkatkan biaya pengadaan energi sehingga akhirnya menambah beban APBN. Celakanya, tren harga minyak mentah juga tengah naik.
Pengamat ekonomi energi sekaligus dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, Bandung, Yayan Satyakti, dihubungi Sabtu (29/6/2024), mengatakan, instabilitas makroekonomi dan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS memberatkan APBN. Ia menaksir harga BBM bisa naik hingga 50 persen jika mengacu harga keekonomian.
Ia memperkirakan harga BBM bisa naik hingga 50 persen jika mengacu harga keekonomian.
Dengan kondisi APBN dalam tekanan ditambah nilai tukar rupiah di atas Rp 16.000 per dollar AS, Yayan melanjutkan, harga bahan bakar minyak (BBM) memang semestinya naik. ”Kalau tidak naik, saya tidak tahu pasti (jalan keluarnya). Mungkin pemerintah akan menerbitkan surat utang negara atau instrumen lainnya untuk menjaga defisit APBN,” ujarnya.
Yayan menuturkan, subsidi sebaiknya diarahkan pada kebutuhan di bidang lain demi mengurangi beban infektivitas subsidi. Pemerintah juga perlu menyampaikan kepada publik bahwa kondisi keuangan negara sedang tidak baik-baik saja.
”Walaupun wajar jika pemerintah mengatakan aman-aman saja karena ingin menjaga kepercayaan investor. Namun, angka juga kan berbicara. Apalagi ada utang jatuh tempo (pada 2025),” kata Yayan.
Kurs dan harga minyak
Dalam beberapa pekan terakhir, terjadi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Mengacu Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), nilai tukar rupiah pada 28 Juni 2024 ditetapkan Rp 16.394 per dollar AS. Terakhir kali kurs di bawah Rp 16.000 per dollar AS adalah pada 5 April 2024 sebesar Rp 15.873 per dollar AS.
Sementara itu, catatan Trading Economics, tren kenaikan harga minyak mentah terjadi mulai awal Juni 2024. Minyak jenis Brent, misalnya, naik dari 77,5 dollar AS per barel pada 4 Juni 2024 menjadi 85,1 dollar AS per barel pada 27 Juni 2024. Kendati demikian, harga minyak itu masih di bawah awal April 2024 yang sempat menyentuh 91 dollar AS per barel.
Selama ini, penyesuaian harga BBM mengacu antara lain pada harga minyak mentah dan kurs rupiah terhadap dollar AS. Rata-rata Means of Platts Singapore (MOPS) atau harga rata-rata yang terbentuk dari serangkaian harga produk minyak berbasis di Singapura juga ikut memengaruhi. Variabel ini berpengaruh karena Indonesia merupakan negara pengimpor bersih (net importer) minyak.
ReforMiner Institute mencatat pelemahan nilai tukar rupiah dan peningkatan harga minyak Indonesia (ICP) berpotensi memberi dampak negatif terhadap kondisi fiskal Indonesia. Setiap peningkatan harga minyak 1 dollar AS berpotensi meningkatkan pendapatan negara sekitar Rp 3,6 triliun. Di sisi lain, peningkatan itu berdampak pada membengkaknya belanja negara sekitar Rp 10 triliun.
Pelemahan rupiah dan/atau peningkatan ICP memberi dampak langsung terhadap meningkatnya biaya pengadaan energi di Indonesia, antara lain biaya pengadaan listrik, BBM, dan gas.
Setiap peningkatan harga minyak mentah 1 dollar AS per barel akan meningkatkan biaya pengadaan BBM senilai Rp 150 per liter. ”Sementara setiap pelemahan rupiah sebesar Rp 100 per dollar AS akan meningkatkan biaya pengadaan BBM sekitar Rp 100 per liter,” ujar Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro.
ReforMiner Institute juga mencatat, dampak pelemahan nilai tukar mata uang domestik terhadap harga energi, khususnya BBM, juga dialami hampir semua negara. Rata-rata harga BBM untuk jenis bensin dengan oktan (RON) 95 dalam rupiah selama Januari-Juni 2024 adalah Rp 33.450 per liter di Singapura, Rp 19.302 per liter di Filipina, Rp 16.850 per liter di Thailand, Rp 23.650 per liter di Laos, dan Rp 15.033 per liter di Vietnam.
Risiko ekonomi dan sosial
Apabila mempertimbangkan kondisi realisasi APBN hingga triwulan I-2024 serta memperhatikan aspek keberlanjutan ketersediaan BBM di dalam negeri, kata Komaidi, penyesuaian harga BBM kemungkinan menjadi opsi yang cukup logis. Ini dapat dilakukan di tengah relatif terbatasnya opsi kebijakan yang dapat diambil pemerintah.
”Kebijakan harga yang kurang proporsional dan terbatasnya anggaran subsidi berpotensi menimbulkan risiko ekonomi dan sosial yang besar akibat terganggunya keberlanjutan pasokan BBM di dalam negeri,” ujarnya.
Sebelumnya, pemerintah masih belum memutuskan apakah akan menaikkan harga BBM bersubsidi di tengah nilai tukar rupiah yang terus melemah serta harga minyak yang cenderung meningkat. Sejauh ini, sejumlah tekanan tersebut masih dapat dikelola dengan konsumsi BBM bersubsidi yang disebut relatif terkendali (Kompas.id, 27/6/2024).
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata mengakui, belakangan ini nilai tukar rupiah memang terus melemah hingga bertahan di atas Rp 16.400 per dollar AS. Pergerakan kurs rupiah tersebut sudah jauh di atas asumsi dasar ekonomi makro dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024, yaitu Rp 15.000 per dollar AS.
Meski demikian, Isa mengatakan, situasi masih terkendali. Pelemahan rupiah belakangan ini tidak serta-merta membuat anggaran subsidi energi di APBN membengkak hingga harga BBM bersubsidi perlu disesuaikan.