Dalam Studi Barometer Usaha Kecil, para pelaku usaha yang tak ambil kredit karena merasa tak membutuhkan pinjaman.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam laporan Studi Barometer Usaha Kecil yang dirilis Mastercard bersama 60 Decibels, sebanyak 67 persen usaha mikro dan kecil tak mengambil kredit selama 12 bulan terakhir. Alasan utamanya, mereka tak membutuhkan kredit (62 persen). Hasil ini dinilai konsisten dengan temuan Bank Dunia, pelaku usaha Indonesia lebih memilih membiayai usahanya sendiri melalui keuntungan yang dikantongi daripada mengakses kredit.
Sementara sebanyak 33 persen pelaku usaha memilih meminjam atau mengambil kredit. Mereka yang mencoba mengajukan kredit sebagian mengatakan tak menghadapi hambatan dalam prosesnya.
”Salah satu sumber ketenangan mereka itu tidak punya utang. Makanya, (hampir) 70 persen itu merasa tidak butuh pinjaman karena takut tidak bisa mengembalikan. Setelah didalami, mereka tight (ketat), kalau sampai punya utang, sumber ketenangan paling penting itu hilang,” ujar pendiri platform kewirausahaan dalam jaringan (daring), Tumbu, yakni Dewi Meisari, dalam peluncuran laporan Studi Barometer Usaha Kecil di Jakarta, Kamis (27/6/2024).
Acara itu dihadiri pula sejumlah tokoh lain. Beberapa di antaranya President Director PT Mastercard Indonesia Aileen Goh, Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan pada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Maliki, dan Director of Programs Mercy Corps Indonesia Andi Ikhwan.
Dalam laporam yang sama, masalah yang paling umum dikemukakan oleh pelaku usaha adalah tingginya bunga pinjaman menghalangi mereka untuk mengakses kredit. Hal ini diakui 31 persen responden. Alasan lain adalah kurangnya agunan kredit atau collateral (16 persen), tak memiliki cukup informasi (15 persen), serta tidak memahami syarat dan ketentuan (9 persen). Ada pula ukuran pinjaman terlalu kecil (6 persen) dan jarak pada institusi keuangan terdekat (4 persen).
Dari para pengusaha yang mengambil pinjaman pada setahun terakhir, sebagian besar mengakses dari bank atau lembaga keuangan lain. Namun, sisanya masih meminjam dari keluarga, institusi keuangan nonformal, serta platform pinjaman daring.
Adapun data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan, kualitas kredit perbankan pada April 2024 terjaga dengan rasio kredit macet atau non performing loan (NPL) bruto tercatat 2,33 persen serta kredit macet neto 0,81 persen. Sementara kredit macet bruto kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam periode yang sama sebesar 4,26 persen dan kredit macet neto 1,54 persen.
Kredit macet bruto UMKM meningkat ditengarai kenaikan kredit macet segmen kecil dan mikro menjadi 3,89 persen. Akan tetapi, perbankan mengantisipasi kenaikan ini dengan membentuk cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) atas kredit UMKM sebesar Rp 85,5 triliun atau 137,37 persen dibanding total NPL UMKM (Kompas.id, 26/4/2024).
Penelitian dalam laporan Studi Barometer Usaha Kecil ini menjaring 835 responden dari wilayah rural dan urban. Mayoritas atau 95 persen di antaranya berstatus usaha kecil dengan 5-19 karyawan, sedangkan sisanya usaha mikro yang mempunyai 1-4 karyawan.
Sektor usaha dalam penelitian ini diwakili makanan dan minuman (62 persen). Hal itu diikuti cabang usaha fesyen (27 persen), pariwisata (26 persen), serta kerajinan non-furnitur (13 persen).
Enggan menghadapi tantangan
Banyak para pelaku usaha yang enggan bergerak dari zona nyamannya. Padahal, perubahan dibutuhkan guna mengoptimalkan lebih banyak potensi yang dimiliki.
Tantangan lainnya, Dewi menambahkan, para pelaku usaha yang didominasi perempuan cenderung terlalu bertahan pada zona nyaman. Ketika penghasilan mereka meningkat, para pelaku usaha ini makin sulit untuk belajar sesuatu yang makin kompleks.
”Mencari yang mau dan memiliki endurance (daya tahan) sampai (pelaku) usaha menengah beromzet Rp 15 miliar itu susah,” kata Dewi.
Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Bappenas Maliki mengatakan, para pelaku usaha perlu memahami fungsi dan kegunaan pinjaman yang diajukan. Perencanaan ini yang perlu ditekankan.
Caranya bisa dengan meningkatkan kapasitas berpikir para pelaku usaha. Ada pula pelatihan yang dapat memperluas perspektif mereka bahwa potensi meningkatkan produksi bisa dilakukan dengan banyak metode.
”Kalau sudah mengerti obstacle pada pembiayaan, pembiayaan ini akan jauh lebih efektif buat mereka,” kata Maliki.
Stimulus dongkrak keuntungan
Guna mendorong para pelaku usaha, sejumlah strategi dapat dilakukan. Mereka tak dapat belajar sendiri, tetapi butuh pendampingan.
Directore of Programs Mercy Corps Indonesia Andi Ikhwan menambahkan, perlu strategi untuk mendorong dan meningkatkan keuntungan para pelaku usaha. Setidaknya ada tiga hal yang bisa dilakukan, yakni dukungan digital, modal, dan penguatan ekosistem.
Pembahasan soal digital bisa dari hal sederhana. Dua di antaranya adalah pelaku usaha memisahkan surat elektronik (surel/e-mail) pribadi dan bisnis serta pemanfaatan fitur Whatsapp Business.
Selama ini, para pelaku usaha memiliki telepon pintar hanya untuk mengirim pesan dan telepon. Akan tetapi, mereka tak mengoptimalkan fitur-fitur aplikasi dalam perangkat tersebut.
Mereka membutuhkan alat serta mentor. ”Butuh seseorang yang mendampingi bagaimana agar memenuhi persyaratan (pinjaman) perbankan,” kata Andi.
Cara kedua yaitu dukungan modal bisa dilakukan dengan kolaborasi antara bank dan institusi non-bank. Hal ini akan membuka peluang lebih besar untuk penyaluran kredit pada usaha kecil.
Terakhir adalah penguatan ekosistem dapat membangun jejaring pengajaran serta meneliti para pelaku usaha kecil. Para mentor ini bisa berbagi ide serta inisiatif untuk menjawab persoalan-persoalan yang selama ini dihadapi.