PBNU terang-terangan menerima tarawan pengelolaan tambang batubara, sedangkan PP Muhammadiyah belum ambil sikap tegas.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perwakilan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau PBNU menyadari risiko atas langkah menerima penawaran izin pengelolaan tambang batubara dari pemerintah. Namun, PBNU berkomitmen penuh untuk mengelolanya sesuai dengan regulasi yang ada. Sementara itu, Pimpinan Pusat Muhammadiyah belum menyatakan tegas menerima atau menolak jika ditawari langsung oleh pemerintah.
KH Ulil Abshar Abdalla, perwakilan PBNU, dalam diskusi terkait polemik izin tambang untuk organisasi masyarakat keagamaan yang digelar secara hibrida oleh Fraksi Partai Amanat Nasional, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (26/6/2024), mengatakan, kebijakan itu sebagai terobosan (breakthrough). Itu juga bagian dari kebijakan afirmatif, yang umumnya memunculkan kontroversi.
Ia menegaskan, posisi PBNU ialah sebagai penerima kebijakan yang digagas pemerintah. ”Kami tidak masuk dalam aspek legalitas. Itu urusannya Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral), pengamat, dan DPR. Kami menerima matangnya saja. Artinya, saya ingin menerima sesuatu yang halal. Halal dari aspek legalitas formalnya dan halal nanti dalam aspek pengelolaannya,” ujar Ulil.
Mengenai pengelolaan izin usaha pertambangan, Ulil memastikan bahwa PBNU berkomitmen penuh untuk melakukannya secara profesional. Artinya, PBNU akan mengikuti aturan-aturan yang berlaku di Indonesia.
Ia pun memahami, saat ini telah muncul resistensi dari sebagian kalangan publik terhadap NU. ”Kalau kita telaah, percakapan di media sosial sekarang, PBNU jadi bully-an (perundungan) luar biasa. Muhammadiyah enak sekarang karena dia belum terima (izin tambang), tetapi NU yang sudah terang-terangan menerima di-bully di mana-mana. Logonya diolah. Enggak apa-apa, itu bagian dari risiko,” kata Ulil.
Menurut Ulil, resistensi terhadap PBNU yang menerima tawaran mengelola tambang lebih pada aspek lingkungan. Mengutip buku Unsettled karya Steven Koonin (2021), menurut dia, isu perubahan iklim sejatinya belum selesai secara ilmiah sehingga tidak boleh menganggap jahat kelompok yang terjun di bidang energi fosil seperti batubara.
”Bagi saya, tambang itu adalah anugerah dari Allah SWT untuk bangsa ini. Harus dikelola, cuma pengelolaannya seperti apa mari kita bicarakan,” kata cendekiawan Muslim tersebut.
Pengamat kebijakan publik dari PP Muhammadiyah, Ihsan Tanjung, menuturkan, dari riwayatnya, sebenarnya Presiden Joko Widodo menjanjikan izin pengelolaan tambang dari beberapa tahun lalu. Adapun sejauh ini, pernyataan resmi dari PP Muhammadiyah, oleh Sekretaris Umum Abdul Mu’ti, yakni masih akan mengkaji lebih dulu jika ada tawaran dari pemerintah.
”Gus Yahya (Ketua Umum PBNU) bilang, ’Kami butuh, kami siap.’ Itu bedanya. Namun, kalau kita menyadari pernyataan (yang pernah disampaikan) Ketum (Muhammadiyah Haedar Nashir), ekonomi harus diurus. Sumber daya air, hutan, air, laut, tambang boleh dimanfaatkan, tetapi jangan dirusak. Jadi, Muhammadiyah meminta law enforcement (penegakan hukum) harus diterapkan,” ujar Ihsan.
Ia sendiri tidak bisa memastikan posisi resmi PP Muhammadiyah terkait pengelolaan izin pertambangan. ”Intinya, Muhammadiyah tidak selugas NU. Kalau ditawarkan ke Muhammadiyah, saya enggak tahu diterima atau ditolak. Nanti kami tanya sama ketum kami,” lanjutnya.
Sebelumnya, PBNU menyatakan badan usaha mereka akan mengelola tambang batubara eks wilayah kelola perusahaan pemegang perjanjian karya pengusaha pertambangan batubara (PKP2B). Kementerian Investasi, awal Juni, menyebut baru PBNU (di antara ormas-ormas keagamaan) yang mengajukan permohonan mendapatkan izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Lahan yang ditawarkan untuk PBNU sebelumnya dikelola PT Kaltim Prima Coal, bagian kelompok usaha Bakrie, di Kalimantan Timur.
Jangan sampai ditumpangi
Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi PAN Eddy Soeparno menilai, pemberian izin pengelolaan pertambangan oleh pemerintah kepada ormas keagamaan bukan hadiah seperti halnya tinggal memetik buah. Namun, kesempatan itu selayaknya diperlakukan seperti menanam pohon yang nantinya dapat bermanfaat untuk kemaslahatan umat atau masyarakat. Segala risikonya juga harus dianalisis.
Pada aspek operasional, misalnya, harus ada kompetensi dan dibutuhkan permodalan yang besar. ”Lalu, pengelolaan lingkungan karena pertambangan akan selalu terasosiasi dengan dampak lingkungan. Dalam aspek kemanfaatan, harus bagi seluruh masyarakat, tidak hanya oleh ormasnya. Juga jangan sampai (izin pengelolaan) ditumpangi pelaku-pelaku usaha besar yang ingin dapat keuntungan,” ucapnya.
Staf Ahli Bidang Ekonomi Sumber Daya Alam Kementerian ESDM Lana Saria mengatakan, pengelolaan tambang oleh badan usaha ormas keagamaan dipastikan harus profesional. Ormas keagamaan yang dimaksud juga yang telah memiliki dampak nyata serta memiliki organ yang kompeten, seperti badan-badan ekonomi, yang telah berjalan.
Di samping itu, pemberdayaan masyarakat harus dilakukan badan usaha pengelola pertambangan. ”Untuk menjalankan (tambang), perusahaan setiap tahun harus memiliki RKAB (rencana kerja dan anggaran biaya). Dalam RKAB, dia harus memasukkan anggaran untuk program pemberdayaan masyarakat. Kalau tidak, RKAB tidak disetujui,” ujar Lana.
Ketua Indonesian Mining & Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo menuturkan, perdebatan yang terjadi saat ini lebih pada aspek legal. Padahal, ada tantangan teknis dalam pengelolaan tambang batubara yang juga harus dipikirkan. Sebab, masih jadi pertanyaan, jika izin mulai diterima tahun ini, kapan batubara dapat diproduksi? Belum lagi potensi dampak dinamika harga dan kepastian pasar.
Apabila segalanya tidak disiapkan, bukan tidak mungkin saat badan usaha ormas keagamaan sudah berproduksi batubara tak optimal menjangkau pasar atau bahkan harga batubara justru sedang jatuh. ”Sebelumnya, pasar batubara memang bisa dipetakan. Demand (permintaan) bisa dibaca jelas. Sekarang, pasar batubara ini naik-turun tidak jelas. Jadi, aspek ini pun penting (dipikirkan),” katanya.