Strategi Pemerintah Hadapi Perubahan Iklim Dinilai Belum Optimal
Di antara 20 negara anggota G20, Indonesia tercatat sebagai negara dengan stimulus hijau paling rendah.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Stimulus kebijakan yang digelontorkan pemerintah masih kerap kontraproduktif dengan komitmen menekan emisi karbon demi memitigasi dampak negatif perubahan iklim.
Kondisi tersebut menjadi pembahasan dalam semiloka untuk jurnalis bertema ”Strategi Menulis Isu-isu Ekonomi di Tengah Dunia” yang diadakan Kedutaan Besar Australia untuk Indonesia bersama Kompas Institute, di Jakarta, Rabu (26/6/2024).
Hadir sebagai pembicara Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (Core) Indonesia Mohamad Faisal; Duta Bisnis Australia untuk Indonesia Jennifer Westacott; Co-CEO dan pendiri aplikasi Titipku, Henri Suhardja; dan Sekretaris Redaksi Harian Kompas Dewi Indriastuti.
Beberapa tahun terakhir komitmen pembiayaan iklim serta stimulus hijau dari pemerintah masih sangat terbatas.
Mohammad Faisal mengungkapkan dalam beberapa tahun terakhir komitmen pembiayaan iklim serta stimulus hijau dari pemerintah masih sangat terbatas. Di antara 20 negara anggota G20, Indonesia tercatat sebagai negara dengan stimulus hijau paling rendah.
Hasil penelitian Vivid Economics menunjukkan hanya 0,3 persen dari anggaran pemulihan ekonomi Indonesia yang mengarah pada stimulus hijau dan perbaikan lingkungan di tahun 2021. Sementara di periode yang sama, stimulus pemerintah untuk aktivitas ekonomi yang dianggap memberikan dampak buruk bagi lingkungan mencapai 60 persen.
Sejalan dengan hal tersebut, persentase alokasi anggaran pembangunan rendah karbon terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terus menurun dalam lima tahun terakhir, dari 1,6 persen pada 2018 menjadi 0,7 persen pada 2022.
”Masalah perubahan iklim masih dipandang sebagai isu jangka panjang dan tidak punya urgensi sehingga pemerintah lebih memprioritaskan pada intervensi yang memiliki dampak langsung dan segera terhadap ekonomi,” ujarnya.
Sebagai contoh, pemerintah memilih menggelontorkan stimulus Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) untuk mendorong konsumsi dan menggenjot kinerja sektor industri otomotif pasca-pandemi Covid-19. Imbasnya, penjualan mobil bulanan merangkak naik setelah ada di titik terendah pada Mei 2020 yang hanya 4.000 unit menjadi 85.000 unit pada Maret 2021.
Stimulus yang berlaku hingga akhir 2022 tersebut, menurut Faisal, kontradiktif terhadap komitmen pemerintah dalam upaya menekan emisi karbon. Adanya kebijakan PPnBM di sektor otomotif membuat gelontoran stimulus dari pemerintah setahun berselang untuk mendorong pembelian kendaraan listrik menjadi tidak berdampak signifikan.
”Ini menunjukkan bahwa sinergi antar dan intrakementerian dalam mendorong inisiatif pembangunan hijau masih lemah. Kementerian/lembaga terlalu fokus pada tupoksi masing-masing, kurang terdorong untuk berpikir komprehensif dan lintas sektoral,” ujar Faisal.
Geopolitik dan UKM
Selain isu perubahan iklim, kondisi meningkatnya tensi geopolitik dunia juga menjadi ancaman perekonomian global yang bisa memberikan dampak buruk terhadap perekonomian nasional. Duta Bisnis Australia untuk Indonesia Jennifer Westacott mengatakan, penguatan kerja sama dan kemitraan regional dapat menjadi bantalan untuk mengantisipasi hal tersebut.
Dalam upaya memperkuat kemitraan dengan negara-negara di regional Asia Tenggara, Pemerintah Australia telah meluncurkan peta jalan Invested: Australia’s Southeast Asia Economic Strategy to 2040. Peta jalan tersebut merupakan strategi yang bertujuan untuk meningkatkan perdagangan dan investasi dua arah secara signifikan.
”Ini juga menjadi bentuk pengakuan bahwa kemakmuran dan keamanan Australia berkaitan dengan negara-negara di kawasan ini, termasuk Indonesia,” kata Westacott.
Ia mengatakan, Indonesia dan Australia punya kesamaan, di mana usaha kecil dan menengah (UKM) menjadi tulang punggung perekonomian kedua negara. Dengan terjalinnya sinergitas UKM di antara kedua negara, sektor ini bisa menjadi bumper ekonomi Indonesia dan Australia serta dampak negatif ekonomi global.
”Sebanyak 30 juta warga Australia bekerja di sektor UKM. Membantu membangun ekosistem dan kapasitas UKM di Indonesia untuk menjadi bagian dari rantai pasok perdagangan dua arah antara Indonesia-Australia juga menjadi bagian dari strategi kemitraan kami,” ujarnya.
Terkait upaya meningkatkan kapasitas usaha berskala mikro dan kecil, PT Terang Bagi Bangsa, pengelola aplikasi Titipku (perusahaan rintisan bidang teknologi yang menyediakan online groceries, telah menjembatani 10.000 pedagang pasar tradisional untuk memasok dagangan mereka ke 30.000 rumah tangga serta 2.000 restoran dan hotel.
Co-CEO dan pendiri aplikasi Titipku, Henri Suhardja, mengatakan, sejak awal berdiri, Titipku berorientasi dan berkomitmen mendukung kemajuan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang bermain di skala lokal. ”Banyak UMKM yang bergabung dengan Titipku, antara lain pelaku industri rumahan dan pedagang pasar. Kami juga mencatat ada peningkatan transaksi. Itulah pentingnya digitalisasi UMKM,” ujarnya.
Titipku memverifikasi dan hanya menerima UMKM lokal Indonesia. Beberapa dukungan itu berupa bantuan desain gratis, mempromosikan video ulasan di internet, dan melayani permintaan kemasan dalam partai kecil. ”Ada beberapa UMKM yang kini usahanya berkembang. Pasar menjadi lebih luas dan omzet otomatis meningkat,” kata Henri.