BASF-Eramet Pamit dari Proyek Rp 42 Triliun di Maluku Utara, Sejumlah Alasan Mencuat
Perubahan lanskap nikel global menjadi alasan mundurnya BSAF-Eramet dari Maluku Utara. Isu lingkungan juga mencuat.
Oleh
RAYNARD KRISTIAN BONANIO PARDEDE
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Perusahaan bahan kimia Jerman, Badische Anilin Soda Fabrik, dan perusahaan tambang Perancis, Eramet, kompak membatalkan investasi fasilitas pemurnian nikel senilai 2,6 milliar dollar AS atau setara Rp 42 triliun di Weda, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Keputusan diambil karena adanya perubahan lanskap pasar nikel global. Namun, masalah lingkungan diduga juga menjadi alasannya.
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan di Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi Septian Hario Seto menjelaskan, pemerintah menyayangkan keputusan Badische Anilin Soda Fabrik (BASF) dan Eramet mundur dari investasi bernama proyek Sonic Bay. Proyek ini mulai dibahas sejak 2020.
Menurut rencana, dua perusahaan tersebut membangun fasilitas pemurnian nikel dengan teknologi pelindian asam dalam ruangan tekanan tinggi atau high pressure acid leach (HPAL) di Weda.
”Kami, pemerintah, menyayangkan keputusan ini. Namun, secara bisnis memang alasannya cukup masuk akal. Jangan sampai perusahaan tidak bisa compete (bersaing) dengan yang sudah dan akan datang,” ucap Seto saat dihubungi dari Ambon, Maluku, Rabu (26/6/2024).
Menurut Seto, secara bisnis, alasan mundurnya dua perusahaan tersebut cukup logis. Pertama, konsorsium disebut telah mengamankan rantai pasokan nikel dan komponen baterai dari negara lain. Lalu, kehadiran fasilitas smelter HPAL di Weda Bay Nickel terus menjamur.
Bahkan, dalam waktu dekat, Teluk Weda akan kedatangan dua smelter HPAL baru. Smelter tersebut diperkirakan mampu menghasilkan 240.000 ton nikel sulfat per tahun. Kapasitas itu, lebih besar dari kapasitas smelter yang rencananya dibangun BASF-Eramet, yakni 64.000 ton nikel sulfat dan 7.500 ton kobalt sulfat per tahun.
Pelaksanaan Sonic Bay Project di Kawasan Industri Teluk Weda ini menjadi salah satu investasi strategis di Indonesia. Pada April 2023, Presiden Joko Widodo menggelar pertemuan dengan Chief Executive Officer BASF 2018-2024 Martin Brudermuller di Jerman untuk membahas rencana ini. Pertemuan juga dihadiri petinggi Eramet dan Volkswagen.
Jaringan baru
Anggota Dewan Eksekutif Direksi BASF, Anup Kothari, menjelaskan, mundurnya perusahaan didasarkan pada perubahan signifikan dari lanskap pasar nikel global. Sejak empat tahun lalu, BASF melihat adanya perubahan, khususnya ketersediaan bahan baku baterai listrik. Perusahaan menyebut, mereka telah mengamankan jaringan pasokan nikel lain sehingga investasi besar di Indonesia tidak lagi diperlukan.
“Setelah evaluasi mendalam, kami memutuskan tidak melanjutkan investasi pabrik pemurnian nikel dan kobalt di Teluk Weda. Terjadi perubahan pasar global yang signifikan. Seluruh pembicaraan negosiasi dan evaluasi proyek di Weda sudah dihentikan,” ujarnya.
Lini bisnis baterai milik BASF kini sedang berfokus pada perdagangan dan pembuatan prekursor baterai. Hal ini penting mengingat permintaan pasar untuk komponen krusial baterai listrik, seperti prekursor katoda, terus tumbuh. Indonesia dinilai masih memiliki peluang untuk menangkap kesempatan tersebut.
Group Chief Development Officer Eramet Geoff Streeton menjelaskan, pihaknya juga memutuskan mundur dari investasi bersama tersebut. Namun, Eramet akan tetap menggali potensi investasi rantai pasok baterai kendaraan listrik di Indonesia.
Sejak dua dekade lalu, perusahaan asal Perancis ini cukup aktif di Indonesia. Bersama perusahaan China, Tsingshan, dan Pemerintah Indonesia, Eramet juga mengelola konsesi tambang nikel lewat konsorsium PT Weda Bay Nickel.
“Kami kini fokus memanfaatkan potensi sumber daya tambang kami di Teluk Weda untuk memasok nikel ke produsen lokal. Sekaligus, Eramet tetap mencari peluang untuk ikut dalam pembangunan rantai pasok industri baterai di Indonesia,” ucapnya.
Penguasaan cadangan nikel terbesar dunia tidak serta-merta menjadikan Indonesia menarik dan bisa menjadi pemain kunci industri baterai dunia. Hilirisasi perlu melihat arah industri global.
Isu lingkungan
Namun, tidak hanya soal perubahan pasar, mundurnya dua perusahaan Eropa tersebut juga diduga akibat belum terpenuhinya standar lingkungan yang ketat dalam praktik pertambangan dan pengolahan nikel.
Direktur Eksekutif Energy Shift Institute Putra Adhiguna menjelaskan, isu lingkungan di Indonesia kini menjadi perhatian besar internasional. Terbaru, organisasi kemanusiaan asal Inggris, Survival International, menyoroti praktik pertambangan di wilayah Weda yang diduga membahayakan keberlangsungan masyarakat suku pedalaman O’Hongana Manyawa. Perusahaan dari Eropa dinilai sangat menaruh kekhawatiran besar mengenai ini.
Selain itu, pemberlakuan aturan Battery Regulations dari Uni Eropa pada Februari 2024 membuat perusahaan-perusahaan ”Benua Biru” harus mengedepankan aspek keberlanjutan dalam proses bisnisnya. Indonesia dinilai belum mempraktikkan standar ini dengan baik dan ketat.
Penerapan asas keberlanjutan penting agar produk baterai dapat diterima konsumen di Eropa ataupun Amerika Serikat, dua wilayah yang memiliki potensi pasar besar kendaraan listrik.
Alasan perubahan lanskap global juga masuk akal. Kebijakan hilirisasi yang melarang impor nikel mentah membuat perusahaan-perusahaan secara agresif mencari sumber-sumber nikel baru.
Teknologi baterai tanpa nikel bermunculan. Ketidaktaatan pemerintah menegakkan aturan lingkungan juga membuat perusahaan segera mencari bahan mineral baru, yang ditambang dengan cara yang lebih bersih.
Ia pun mengingatkan, penguasaan cadangan nikel terbesar di dunia tidak serta-merta membuat Indonesia menarik untuk investasi hingga menjadi pemain kunci dalam industri kendaraan listrik. Kebijakan hilirisasi perlu dibarengi dengan keselarasan arah pembangunan industri baterai global.
”Indonesia hanya memegang 0,4 persen dari kapasitas manufaktur baterai kendaraan listrik meski memiliki cadangan nikel terbesar. Hal ini karena saat hilirisasi diberlakukan, pemerintah kurang memperhatikan kondisi dan arah industri global. Ini perlu menjadi catatan. Cepat atau lambat standar lingkungan ini pasti harus dipenuhi agar diterima di pasar,” ujarnya.