Pelemahan Rupiah Ganggu Aktivitas Produksi dan Operasionalisasi Industri
Tekanan dari depresiasi rupiah juga akan dirasakan oleh sektor yang menggantungkan kebutuhan bahan bakunya dari impor.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menimbulkan ancaman terhadap rantai pasok produksi yang pada akhirnya berimbas pada peningkatan beban biaya operasional perusahaan. Namun, di balik itu semua, pelaku usaha optimistis rupiah mampu kembali menguat ditopang stabilitas kondisi ekonomi makro serta intervensi pemangku kebijakan.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasjid mengungkapkan dampak berlanjut dari pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS kepada industri manufaktur nasional.
Apabila depresiasi rupiah berlanjut, hal tersebut bisa menyebabkan lonjakan biaya operasional perusahaan, seperti bahan baku, logistik, dan transportasi. Di samping itu, kondisi pelemahan nilai tukar rupiah dapat meningkatkan beban utang khususnya dalam dollar AS.
Untuk mengantisipasi hal buruk menimpa industri manufaktur nasional, intervensi dapat dilakukan pemerintah tak hanya dari sisi penguatan kurs rupiah.
”Kadin Indonesia mendorong seluruh pihak untuk bekerja sama menjaga stabilitas ekonomi dan mendukung langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah dalam menghadapi tantangan ini,” ujarnya saat ditemui di Menara Kadin, Jakarta, Selasa (25/6/2024) sore.
Untuk mengantisipasi hal buruk menimpa industri manufaktur nasional, intervensi bisa dilakukan pemerintah tak hanya dari sisi penguatan kurs rupiah. Apabila ada industri yang berorientasi ekspor dan membutuhkan bahan baku impor, alternatif menekan ongkos produksi manufaktur dapat berupa insentif pada bea masuk ataupun perizinan impor.
Saat ini, lanjut Arsjad, masih banyak industri lokal yang bergantung pada bahan baku impor. Hal tersebut membuat instrumen berupa insentif penopang diperlukan di tengah kondisi pelemahan nilai tukar rupiah yang masih terus berlanjut.
”Misalnya, kalau untuk impor, untuk ekspor, mungkin biayanya harus dikatakan bisa nol. Ini, kan, akan membantu. Jadi, makanya tadi instrumen untuk membantu penguatan untuk dari sisi manufaktur, bukan hanya dari sisi kurs, tapi memang kita harus berhati-hati,” kata Arsjad.
Fundamental kuat
Di sisi lain, ia tetap optimistis dalam beberapa waktu ke depan kurs rupiah akan kembali menguat ditopang oleh terjaganya fundamental ekonomi nasional. Hal tersebut terlihat dari sejumlah indikator, di antaranya inflasi yang tetap terjaga di bawah 3 persen, serta posisi cadangan devisa yang pada akhir Maret 2024 berada di level 140,4 miliar dollar AS.
Arsjad pun mengungkapkan, pihaknya bersama Bank Indonesia (BI) turut membahas soal devisa hasil ekspor (DHE) sumber daya alam (SDA) sebagai upaya pemulangan devisa ke Tanah Air. Baik Kadin maupun BI juga mendorong pengusaha untuk menggunakan mata uang lokal dalam bertransaksi, khususnya dengan negara-negara yang telah menjalin kerja sama transaksi mata uang lokal (local currency transaction/LCT) dengan BI.
Sementara itu, dalam kajian tengah tahun Institute for Development of Economics and Finance (Indef) bertema ”Presiden Baru, Persoalan Lama”, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani mengungkapkan, industri yang paling terdampak adalah sektor manufaktur padat karya berorientasi ekspor. Khususnya tekstil dan garmen.
”Industri tekstil dan garmen sudah lemah karena penurunan market share pasar domestik dan penurunan daya saing ekspor besar. Depresiasi rupiah semakin menekan sektor ini,” katanya.
Dia mengatakan, tekanan dari depresiasi rupiah juga akan dirasakan oleh sektor yang menggantungkan kebutuhan bahan bakunya dari impor. Dia menyebut sektor-sektor yang akan paling terdampak adalah industri otomotif, elektronik, farmasi, dan alat kesehatan, serta logistik.
”Struktur impor Indonesia itu, kan, impor bahan baku penolong lebih dari 70 persen, hampir 74 persen. Di sini, kita musti melihat apa pun yang diproduksi di Indonesia itu masih bergantung bahan baku dari luar sehingga ini memang betul kalau pelemahan mata uang pasti kena juga ke situ,” kata Shinta.
Bila depresiasi rupiah dan inflasi kebutuhan pokok berlanjut, industri manufaktur nasional berorientasi domestik akan menghadapi penurunan produktivitas dan kesulitan mempertahankan tenaga kerja.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Direktur Indef, Eko Listiyanto, menuturkan, tren pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS akan terus berlanjut hingga akhir tahun atau triwulan IV-2024.
Menurut dia, sentimen penguatan rupiah hingga akhir 2024 hanya terdorong oleh adanya momentum pemilihan kepala daerah (pilkada) dan masa libur akhir tahun. Dari dua sentimen tersebut, rupiah akan menguat seiring perputaran ekonomi yang terjadi.
”Sampai akhir tahun, dugaan saya akan ada booster di triwulan IV-2024 karena ada pilkada dan libur akhir tahun, tapi memang secara umum rupiah ini akan cenderung tidak stabil,” ujar Eko.
Berdasarkan data perdagangan hari Selasa, nilai tukar rupiah di pasar spot berhasil mempertahankan penguatan hingga akhir perdagangan ditutup di level Rp 16.375 per dollar AS. Ini membuat nilai tukar rupiah di pasar spot menguat 0,12 persen dibanding penutupan hari sebelumnya di Rp 16.394 per dollar AS. Sebelumnya, pada penutupan pasar spot Jumat akhir pekan lalu, kurs rupiah sempat berada di level Rp 16.450 per dollar AS atau menjadi yang terburuk sejak Maret 2020.