Pajak Seret, Pemerintah ”Putar Otak” Cari Cara Menambal Defisit APBN 2025
Untuk membiayai belanja di tahun pertama pemerintahan Prabowo, tambahan penerimaan dicari lewat sumber-sumber nonpajak.
Oleh
AGNES THEODORA
·4 menit baca
Pemerintahan Joko Widodo mencari cara untuk mendanai berbagai program dan janji kampanye presiden terpilih Prabowo Subianto. Di saat penerimaan perpajakan akhir-akhir ini seret bahkan terkontraksi, pemasukan nonpajak pun diandalkan untuk menambal defisit di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.
Di tahun pertamanya menjabat, pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka membutuhkan anggaran berisar 14,59-15,18 persen dari produk domestik bruto (PDB) untuk membiayai belanja pemerintah. Itu sudah mencakup sejumlah program lama milik pemerintahan Joko Widodo yang mesti dilanjutkan serta program-program baru Prabowo-Gibran.
Dengan menggunakan asumsi target PDB tahun 2025 yang sebesar Rp 24.316 triliun, maka total belanja pemerintah pada tahun 2025 diperkirakan Rp 3.547,7 triliun sampai Rp 3.691,2 triliun. Naik 6,6 persen hingga 11 persen dibandingkan belanja pemerintah pada APBN 2024.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, target penerimaan negara pun perlu disesuaikan. Pemerintah awalnya mengusulkan target penerimaan negara di kisaran 12,14-12,36 persen dari PDB dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025. Sekitar Rp 2.951,9 triliun sampai Rp 3.005,4 triliun.
Selisih penerimaan dan kebutuhan belanja yang cukup jauh itu memunculkan defisit anggaran yang lebar, yakni 2,45-2,82 persen dari PDB. Dengan kata lain, mepet dengan batas aman defisit fiskal Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang Keuangan Negara sebesar 3 persen dari PDB. Pelebaran fiskal ini memunculkan kekhawatiran tentang masa depan fiskal Indonesia.
Akhirnya, dalam rapat Panitia Kerja (Panja) Asumsi Makro, Kebijakan Fiskal, Pendapatan, Defisit, dan Pembiayaan RAPBN 2025 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (20/6/2024), pemerintah dan Badan Anggaran (Banggar) DPR pun sepakat menaikkan target penerimaan negara sebesar 0,16 persen, menjadi 12,30-12,36 persen dari PDB (sekitar Rp 2.990 triliun-Rp 3.005,4 triliun).
Langkah tersebut otomatis ikut menurunkan target defisit fiskal dari 2,45-2,82 persen dari PDB menjadi 2,29-2,82 persen dari PDB. Ini tentu hal yang bagus. Dengan defisit yang semakin rendah, pemerintah tidak perlu terlalu banyak menarik utang baru. Namun, pertanyaannya, bagaimana cara menaikkan penerimaan negara sesuai target yang baru itu?
Sumber nonpajak
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengakui, hal itu tidak mudah. Kinerja penerimaan perpajakan (dari pajak, kepabeanan, dan cukai) sedang lesu-lesunya. Bahkan, selama empat bulan pertama tahun ini, setoran perpajakan terus menurun dan mengalami kontraksi.
Kemenkeu mencatat, realisasi penerimaan perpajakan sepanjang Januari-April 2024 terkontraksi di kisaran 3,9-8,8 persen secara tahunan. Setoran pajak yang menurun itu disebabkan oleh turunnya harga komoditas serta melambatnya kinerja perusahaan-perusahaan di Indonesia.
”Hasil evaluasi sampai April ini, memang (pajak) masih terkontraksi. Tantangan dari sisi perpajakan ini sepertinya masih akan terus kita hadapi bahkan sampai masuk tahun 2025 pun,” kata Febrio, Kamis.
Oleh karena itu, pemerintah pun mencari sumber-sumber penerimaan lain untuk mengerek target penerimaan dari awalnya 12,14 persen dari PDB menjadi 12,30 persen dari PDB. Salah satunya melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Selama ini, PNBP menyumbangkan pemasukan paling kecil dibandingan setoran perpajakan, seperti pajak, serta kepabeanan dan cukai yang diunggulkan. Namun, Febrio mengatakan, pemasukan nonpajak itu masih bisa dioptimalkan lagi. Dibandingkan perpajakan, setoran PNBP masih bisa tumbuh positif selama empat bulan pertama 2024.
”Kami (DPR dan pemerintah) sama-sama sepakat bahwa ada peluang yang bisa kita manfaatkan dari sisi kebijakan PNBP. Jadi, peningkatan target pendapatan kita menjadi 12,30 persen itu akan lebih banyak didukung oleh PNBP,” kata Febrio.
Namun, pemerintah sampai sekarang belum tahu bentuk kebijakan yang dapat didorong untuk menaikkan penerimaan PNBP. ”Ini yang baru akan kami bahas bersama. Apa saja kebijakan yang perlu dimunculkan. Yang pasti, peluangnya itu ada, bisa ada policy mix juga (antara pajak dan nonpajak),” ujarnya.
Masa-masa sulit
Peneliti Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fairy Akbar menilai, ini memang masa-masa yang sulit bagi pemerintah lama ataupun baru. Sebenarnya, ada banyak cara untuk meningkatkan penerimaan pajak dalam cara singkat dengan jumlah besar. Namun, opsi kebijakan yang dapat diambil lebih terbatas karena kondisi sosial, ekonomi, dan politik saat ini lagi serba sensitif.
Hal itu terlihat dari beberapa kebijakan pemerintah yang akhirnya batal atau ditunda karena membebani masyarakat, seperti kepesertaan wajib Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), kenaikan uang kuliah tunggal (UKT), dan menggantungnya nasib kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada tahun 2025.
”Risiko (sosial politik) pascapemilu ini meningkat. Kondisi pemerintah serba salah. Mau tidak mau, optimalisasi penerimaan di sisa akhir tahun ini akan mengedepankan intensifikasi pajak,” katanya, Jumat (21/6/2024).
Kinerja pos-pos penerimaan lain di luar pajak juga tidak terlalu baik. Cukai masih sangat bergantung pada penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) yang pertumbuhannya pun lesu dalam beberapa waktu terakhir. Adapun ekstensifikasi cukai, seperti wacana cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) dan cukai plastik berpotensi ditunda lagi.
Optimalisasi PNBP sebagai sumber pemasukan alternatif bisa saja dilakukan. Namun, hal itu akan sangat bergantung pada pergerakan harga komoditas unggulan, seperti minyak dan batubara, untuk mengerek setoran PNBP yang selama ini paling banyak berasal dari penerimaan nonmigas.
Selain itu, kinerja PNBP akan sangat bergantung pula pada hasil kekayaan negara yang dipisahkan atau setoran dividen dari badan usaha milik negara (BUMN).
”Sampai sekarang, penerimaan PNBP kita masih terpukul akibat anjloknya harga komoditas. Secara tahunan, masih tumbuh minus 6,69 persen. Sementara, untuk BUMN, mereka harus didorong lebih profit-oriented agar setoran ke negara meningkat,” kata Fajry.