Janji Surga Rp 353 Triliun Pendanaan Transisi Energi
Selain teknologi, pendanaan juga krusial dalam rencana jangka panjang dekarbonisasi bagi Indonesia.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali pada November 2022 menyisakan harapan tinggi bagi program transisi energi di Indonesia seiring diumumkannya komitmen pendanaan 20 miliar dollar AS dalam program Just Energy Transition Partnership atau JETP. Namun, 1,5 tahun berlalu, belum juga tampak tanda-tanda realisasi pembiayaan. Padahal, selain teknologi, pendanaan juga krusial dalam rencana jangka panjang dekarbonisasi bagi Indonesia.
JETP ialah komitmen pendanaan senilai 21,5 miliar dollar AS (telah bertambah) atau Rp 353,5 triliun (kurs Rp 16.438 per dollar AS). Sebanyak 11,5 miliar dollar AS berasal dari dana publik negara-negara maju (International Partners Group/IPG), yang dipimpin Amerika Serikat dan Jepang. Sementara 10 miliar dollar AS dari sejumlah bank ternama di dunia yang tergabung dalam Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ).
Pada 21 November 2023, Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) JETP, yang memuat rencana proyek investasi yang dapat didanai JETP, diluncurkan. Ada lima fokus area pendanaan JETP, yakni pembangunan transmisi, pengakhiran dini operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara, akselerasi energi terbarukan yang dapat dikontrol dan konstan (dispatchable), akselerasi energi terbarukan variabel (bergantung cuaca), serta peningkatan rantai pasok energi terbarukan.
Keraguan akan mulusnya aliran pendanaan melalui JETP sebenarnya muncul sejak awal hingga diluncurkannya CIPP. Sebab, porsi hibah hanya sekitar 300 juta dollar AS atau 1,4 persen dari total komitmen pendanaan JETP. Sementara concessional loan sekitar 6,9 miliar dollar AS. Artinya, Indonesia sejatinya akan lebih banyak ditawari utang. Tinggi atau rendahnya bunga bakal menjadi pertimbangan utama dalam menerimanya.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif saat ditanya mengenai titik terang realisasi pendanaan JETP, di Jakarta, Kamis (20/6/2024), tak menjawab secara pasti. Namun, ia mengisyaratkan Indonesia masih menanti realisasi komitmen tersebut.
Adapun salah satu proyek prioritas dalam JETP adalah pengakhiran dini operasi PLTU Cirebon-1, Jawa Barat, dengan kapasitas 660 megawatt (MW). Sinergi dilakukan antara PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), Cirebon Electric Power (CEP), Bank Pembangunan Asia (ADB), dan Indonesia Investment Authority (INA). Jika terlaksana, operasi PLTU akan berakhir pada 2035 atau tujuh tahun lebih cepat dari seharusnya.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi, dalam Green Economic Forum 2024 yang digelar CNBC Indonesia Research, di Jakarta, Rabu (29/5/2024), menuturkan, pembahasan pendanaan JETP untuk pensiun dini PLTU Cirebon-1 terus dilakukan, termasuk dengan ADB. Di sisi lain, pemerintah juga tengah mengupayakan bagaimana energi terbarukan bisa lebih banyak tersedia.
”Misal PLTU Cirebon-1 terminated (operasi diakhiri) 2035, Jawa akan membutuhkan listrik dari Sumatera. Jadi, dari Sumatera, grid (jaringan) harus tersambung sebelum 2035 sehingga PLN pun harus ada investasi transmisi. Di Jawa sendiri, sebagai pengganti PLTU Cirebon-1, harus ada panas bumi dan solar PV (surya). Namun, (kendalanya) kecil-kecil dan separated (terpisah-pisah). Pembangunannya pun butuh waktu,” ujarnya.
Ia menambahkan, sejumlah upaya lain dalam dekarbonisasi dilakukan, seperti mengoptimalkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung sebagaimana yang telah dilakukan PLN pada PLTS Terapung Cirata, Jawa Barat. Pengembangan PLTS di atas permukaan air bendungan akan diakselerasi.
Upaya lain Kementerian ESDM, di luar JETP, ialah dengan pengeboran untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). ”Saat ini tengah diakselerasi penerapan panas bumi, yang juga masuk dalam pendanaan melalui AZEC (The Asia Zero Emission Community) dari Jepang. Drilling akan dilakukan pemerintah. Selama ini dilakukan oleh swasta, yang berisiko tinggi sehingga bisa lebih mahal nanti harga listriknya,” ucap Eniya.
Belakangan, Kementerian ESDM cenderung mengutamakan pembangunan infrastruktur transmisi kelistrikan ketimbang pensiun dini PLTU agar interkoneksi antarpulau terbangun. ”(Sebelum pensiun dini PLTU) sepertinya kita harus membenahi dulu transmisi sehingga nanti infrastruktur kita bisa dioptimalkan. Kita akan bisa lihat keseimbangannya,” kata Arifin, Jumat (16/2/2024).
Kendati kepastian pendanaan yang dijanjikan dalam JETP belum jelas wujudnya, sejumlah organisasi masyarakat sipil dan lembaga yang terlibat dalam kelompok kerja JETPI, seperti Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam kelompok kerja teknis serta Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dalam pokja transisi berkeadilan, tetap mengapresiasi JETP. Sebab, setidaknya Indonesia sudah memiliki peta jalan.
Peneliti senior IESR, Raden Raditya Wiranegara, menuturkan, dari sisi pendanaan, pihaknya agak pesimistis. Salah satunya karena struktur pendanaan memang lebih banyak pinjaman, bukan hibah. Hal itu membuat sejumlah pihak berpikir, jika demikian, sejatinya tak ada perbedaan JETP dengan skema pendanaan yang memang sebelumnya diberikan, misalnya, oleh sejumlah bank pembangunan, termasuk ADB.
”Namun, di sisi lain, saya tetap mengapresiasi karena kita ’dipaksa’ untuk membuat peta jalan. Tidak hanya beberapa institusi yang terlibat dalam penyusunannya. Bukan cuma pemerintah, melainkan juga pihak swasta. Mungkin pendanaan nantinya tidak dari IPG, tetapi paling tidak kita sudah punya rencana yang cukup detail, proyek-proyek mana saja yang diprioritaskan untuk didanai,” kata Raditya.
Adapun IESR melakukan kajian bersama Center for Global Sustainability (CGS) Universitas Maryland, salah satunya mengenai bagaimana agar proyek-proyek dalam JETP dapat selaras dengan target ditahannya kenaikan rata-rata suhu bumi sebesar 1,5 derajat celsius (Persetujuan Paris). Selain itu, didorong juga agar PLTU yang tak terkoneksi dengan jaringan PLN (off-grid) masuk dalam CIPP JETP.
Laporan tersebut akan menjadi masukan dalam update CIPP yang direncanakan dimutakhirkan tahun ini. ”Tahun ini sedang dikerjakan analisis peta jalan dekarbonisasi untuk pembangkit captive (off-grid). Salah satu opsi intervensi akan itu ialah bagaimana mengoneksikan PLTU captive tersebut dengan jaringan PLN,” kata Raditya.
Direktur Eksekutif ICEL Raynaldo G Sembiring mengatakan, pihaknya berharap CIPP dapat diperbarui serta pengembangan energi terbarukan fokus pada surya dan angin saja. Adapun pokja transisi berkeadilan sedang bekerja agar hal-hal yang tertuang dalam CIPP dapat dioperasikan dengan spesifik. Misalnya, dengan mengintegrasikan dengan kebijakan-kebijakan yang sudah ada.
”Kami juga sedang memastikan standar-standar atau safeguard yang ada bisa diimplementasikan oleh setiap kementerian atau lembaga sektoral serta terintregasi pada instrumen-instrumen yang sudah ada. Misalnya, dengan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), atau terkait kebijakan-kebijakan sektor ketenagakerjaan,” ucapnya.
Saat ini, semua memang tengah menunggu implementasi pendanaan JETP. ”Namun, dengan membuat rencana dalam CIPP saja sudah menjadi satu capaian. Memang ada pekerjaan rumah dalam mengoperasikannya ke dalam kebijakan kementerian dan sektoral, termasuk pemerintah daerah. CIPP JETP ini harus menjadi titik tolak untuk naik lebih tinggi (dalam transisi energi di Indonesia),” lanjut Raynaldo.
Tak dimungkiri, sebagai negara berkembang, Indonesia memerlukan dukungan teknologi dan pendanaan dalam memasifkan dekarbonisasi demi tercapainya tujuan emisi nol bersih (net zero emission/NZE) pada 2060. Pergantian tongkat pemerintahan pun bakal menentukan seberapa serius Indonesia akan menagih janji global dalam mendukung transisi energi. Jika tidak, angin segar Rp 300 triliun terus menjadi angan-angan.