Segudang Problem di Balik Penambahan Alokasi Pupuk Subsidi
Realisasi penyaluran pupuk subsidi masih sangat rendah. Di sisi lain, industri pupuk khawatir program HGBT tidak lanjut.
Pada tahun ini, pemerintah telah menambah alokasi pupuk subsidi dari 4,73 juta ton menjadi 9,55 juta ton. Pemerintah melalui Kementerian Pertanian juga telah membenahi tata kelola pupuk subsidi.
Namun, di balik itu, muncul segudang problem yang perlu dituntaskan. Aneka problem itu mulai dari realisasi penyaluran yang sangat rendah, permintaan penambahan jenis dan penerima, hingga kegelisahan keberlanjutan program gas harga terjangkau.
Hal itu mengemuka dalam rapat dengar pendapat Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat bersama pejabat Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), serta PT Pupuk Indonesia (Persero). Rapat dengan agenda membahas persoalan pupuk subsidi itu digelar secara hibrida di Senayan, Jakarta, Rabu (19/6/2024).
Sekretaris Kementan Prihasto Setyanto mengatakan, penurunan produksi beras pada tahun lalu, yakni 0,44 juta ton, juga disebabkan persoalan ketersediaan dan aksesibilitas terhadap pupuk subsidi. Sejak 2018, alokasi pupuk subsidi terus dikurangi dari 9,55 juta ton pada 2018 menjadi 4,73 juta ton pada 2024.
Di samping itu, 17-20 persen petani yang terdaftar dalam Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) Pupuk subsidi tidak dapat menggunakan kartu tani untuk menebus pupuk. Mereka juga hanya mendapatkan pupuk subsidi untuk sekali tanam.
Selain itu, sekitar 30 juta petani yang tergabung dalam lembaga masyarakat desa hutan (LMDH) tidak boleh menerima pupuk. Oleh karena itu, Kementan berupaya menyelesaikan sejumlah persoalan ketersediaan dan aksesibilitas pupuk subsidi tersebut.
Kementan, lanjut Prihasto, telah menambah alokasi pupuk subsidi dari 4,73 juta ton menjadi 9,55 juta ton pada tahun ini. Jenis pupuk subsidi juga ditambah pupuk organik dari semula hanya urea, NPK, dan NPK formula khusus.
Selain kartu tani, petani juga dapat menggunakan kartu tanda penduduk (KTP) untuk menebus pupuk,” ujarnya.
Prihasto menambahkan, evaluasi pendataan petani penerima melalui e-RDKK juga diubah dari setahun sekali menjadi empat bulan sekali. Di samping itu, kini petani LMDH bisa mendapatkan pupuk subsidi asal terdaftar dalam e-RDKK.
Baca juga: Terantuk Problem Pupuk
Di tengah penambahan alokasi dan upaya pembenahan tata kelola pupuk subsidi, realisasi penyaluran pupuk tersebut justru masih sangat rendah. PT Pupuk Indonesia menyebutkan, sejak awal Januari 2024 hingga 15 Juni 2024, realisasi penyaluran pupuk subsidi baru 2,8 juta ton atau 29 persen dari total alokasi 9,55 juta ton.
Direktur PT Pupuk Indonesia Rahmad Pribadi menjelaskan beberapa faktor penyebabnya. Pertama, sampai dengan Mei 2024, sebanyak 8,2 juta petani atau sekitar 58 persen petani yang terdaftar di e-RDKK belum menebus pupuk subsidi. Mereka merasa alokasi pupuk yang diberikan terlalu kecil sehingga tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk mengambil ke kios.
”Kami berupaya mengatasinya dengan program Akselerasi Serapan Pupuk Subsidi, yakni Tebus Bersama. Melalui program itu, petani penerima bisa menebus pupuk secara bersama,” katanya.
Sejak awal Januari 2024 hingga 15 Juni 2024, realisasi penyaluran pupuk subsidi baru 2,8 juta ton atau 29 persen dari total alokasi 9,55 juta ton.
Kedua, lanjut Rahmad, kios pupuk subsidi terlalu berhati-hati menyalurkan pupuk tersebut untuk menghindari potensi koreksi salur dari tim verifikasi dan validasi yang menjadi beban kios. Pada Januari-Maret 2024, terdapat tagihan klaim dari distributor atas koreksi nilai subsidi yang tidak dapat ditagihkan kepada pemerintah sebesar Rp 15,6 miliar. Sebelumnya, pada 2020-2023, totalnya mencapai Rp 132,57 miliar.
Ketiga, perubahan musim yang menyebabkan perubahan pola tanam sehingga penyaluran pupuk subsidi harus disesuaikan. Keempat, hambatan di daerah, misalnya belum keluarnya surat keputusan kepala daerah tentang persetujuan alokasi pupuk subsidi.
”Kalaupun sudah keluar, masih ada daerah yang membatasi petani menebus pupuk subsidi dengan mewajibkan punya bukti kepemilikan atau sewa lahan,” katanya.
Baca juga: Pupuk Indonesia Hadapi Sejumlah Isu Strategis
Terkait dengan SK alokasi pupuk, Kementan mencatat, per 19 Juni 2024, sebanyak 406 kabupaten/kota telah mengeluarkan SK tersebut, sedangkan 69 kabupaten dan tiga provinsi belum menerbitkan SK. Kementan telah berupaya menghubungi kepala dinas terkait dan membuat nota kesepahaman dengan Kementerian Dalam Negeri untuk mengakselerasi penerbitan SK alokasi pupuk subsidi.
Selain itu, Rahmad juga menambahkan, alokasi pupuk organik bersubsidi tahun ini juga baru dapat disalurkan pada Agustus 2024. Hal itu terjadi lantaran e-RDKK pupuk tersebut baru selesai pada 18 Juni 2024. Jika penyalurannya mulai pada Agustus 2024, kemungkinan realisasi penyalurannya tidak akan sampai 50 persen dari total alokasi 500.000 ton.
Baca juga: Stok Melimpah, Petani Malah Kekurangan Pupuk Bersubsidi
Usulan baru
Dalam rapat tersebut juga muncul sejumlah usulan baru terkait jenis dan penerima pupuk subsidi. Sejumlah anggota Komisi IV meminta pemerintah mempertimbangkan memasukkan kembali pupuk ZA dan TSP sebagai pupuk subsidi.
Adapun KKP meminta agar kelompok budidaya perikanan tradisional juga mendapatkan pupuk subsidi. Pupuk juga berguna untuk mendorong perkembangan plankton yang digunakan sebagai pakan alami.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP Haeru Rahayu mengemukakan, selama ini pembudidaya ikan tradisional menggunakan pupuk nonsubsidi yang harganya lebih mahal ketimbang pupuk subsidi. KKP berupaya membantu mereka dengan menyediakan pupuk urea nonsubsidi.
Pada 2023, KKP mengalokasikan 500 ton pupuk urea nonsubsidi bagi 1.000 kelompok pembudidaya ikan di sejumlah daerah di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Kemudian, pada 2024, alokasinya berkurang menjadi 250 ton pupuk urea nonsubsidi bagi 500 kelompok.
Untuk itu, lanjut Haeru, KKP tengah mengusulkan agar pembudidaya ikan juga mendapatkan pupuk subsidi. Ada 33.841 pembudidaya ikan perorangan yang membutuhkan pupuk subsidi dengan total kebutuhan 33.841 ton.
”Selama berproses untuk mendapatkan pupuk subsidi, kami juga mengusulkan bantuan pupuk nonsubsidi sebanyak 1.250 ton bagi 12.500 pembudidaya ikan ke dalam usulan anggaran tambahan 2025. Dana yang dibutuhkan senilai Rp 20 miliar,” katanya.
Keberlanjutan HGBT
Tak hanya itu, persoalan lain juga muncul dari sisi keberlanjutan pasokan gas harga terjangkau bagi industri pupuk. Hal itu terkait dengan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 91.K/MG.01/MEM.M/2023 tentang Pengguna Gas Bumi Tertentu dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri yang menyebutkan penyesuaian harga gas bumi tertentu (HGBT) berlaku sampai akhir 2024.
Rahmad khawatir jika program HGBT 6 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU) tidak berlanjut lagi ke depan. Padahal, produksi pupuk urea dan NPK sangat bergantung pada gas.
Biaya produksi pupuk kedua pupuk itu juga bergantung pada harga gas. Komponen biaya gas dalam biaya produksi pupuk urea sebesar 71 persen dan NPK 5 persen.
”Oleh karena itu, setiap kenaikan harga gas sebesar 1 dollar AS per MMBTU akan berdampak pada peningkatan beban biaya subsidi pupuk urea sebesar 1,97 triliun dan NPK 0,26 triliun,” katanya.
Apabila kenaikan harga gas itu ditanggung petani, konsumsi pupuk akan turun. Setiap kenaikan harga pupuk sebesar Rp 1.000 per kilogram akan menurunkan konsumsi pupuk urea 13 persen dan NPK 14 persen.
Menurut Rahmad, apabila kenaikan harga gas itu ditanggung petani, konsumsi pupuk akan turun. Setiap kenaikan harga pupuk sebesar Rp 1.000 per kilogram akan menurunkan konsumsi pupuk urea 13 persen dan NPK 14 persen.
”Jika penurunan konsumsi pupuk ini terjadi, maka produksi pangan, terutama beras, akan merosot. Untuk itu, kami berharap agar program gas harga terjangkau tersebut bisa terus berlanjut,” katanya.
PT Pupuk Indonesia juga menyimulasikan, setiap kenaikan harga pupuk sebesar Rp 1.000 per kilogram bisa menurunkan produksi beras hingga 7 persen. Jika produksi beras nasional per tahun sekitar 33 juta ton, maka kenaikan harga gas ini bisa menurunkan produksi beras hingga 2 juta ton.
Baca juga: Kenaikan Harga Gas Bisa Turunkan Produksi Beras Nasional hingga 2 Juta Ton