Memperpanjang Usia Seni Tradisional, Kolaborasi Swasta dan Pemerintah Dinanti
Komitmen pemerintah untuk makin memperhatikan seni tradisional dinanti sebab memperpanjang napasnya perlu usaha nyata.
JAKARTA, KOMPAS — Seni pertunjukan tradisional yang terpinggirkan dapat memperpanjang usianya karena tak lepas dari beragam bantuan tanggung jawab sosial perusahaan. Sejumlah perusahaan melakukan terobosan pada sektor kebudayaan, tetapi tugas terbesar memelihara tetap diemban negara. Kolaborasi swasta dan pemerintah dinantikan dalam visi kebudayaan.
PT Djarum, misalnya, menjadikan budaya sebagai salah satu fokus program andalannya dalam program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Program yang dinamai Bakti Budaya Djarum Foundation ini berupaya memperbaiki ekosistem kebudayaan di Indonesia dari hulu hingga hilir.
”Indonesia begitu beragam dengan kebudayaannya. Banyak seniman bertalenta, para maestro yang tak lagi menghitung-hitung keuntungan ketika menghidupi seninya,” ujar Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation Renitasari Adrian di Jakarta, Kamis (20/6/2024).
Baca juga: Pekerja Seni Pertunjukan Tradisional, Sendiri dan Ditinggalkan
Hal itu pula yang mendorong Djarum berfokus menggarap budaya, termasuk seni pertunjukan tradisional. Berkaca dari kebutuhan para seniman saat ini, Renita menilai, mereka butuh panggung yang tersedia kapan saja sebagai sarana mengekspresikan diri. Secara umum, panggung-panggung yang ada telah dikomersialkan sehingga sulit dijangkau para seniman.
Guna menjawab persoalan itu, Djarum membangun Galeri Indonesia Kaya (GIK) yang ikut mengarsipkan beragam kebudayaan Nusantara, mulai dari alat musik tradisional, pakaian adat, hingga kuliner. Tempat ini merupakan panggung bagi para seniman pula untuk mementaskan karya-karyanya.
”Publik jadi tahu karya-karya para seniman. Seniman punya panggung, sekaligus dapat bantuan dari kami,” kata Renita.
Tak hanya memberikan wadah, kegiatan sosial Djarum ini juga berupaya memberdayakan para seniman tradisional. Tata kelola menjadi salah satu program yang diberikan agar para seniman mampu menuangkan ide dan gagasannya secara lebih terstruktur sehingga memiliki nilai tambah untuk mudah dipahami banyak orang.
Ketika ditanya soal besaran bantuan tahunan yang diberikan, Renita mengatakan nominalnya berbeda tiap tahun. Pembagian proporsinya tak sama dari waktu ke waktu, bergantung kebutuhan.
Hal serupa dilakukan PT Bank Central Asia Tbk atau BCA. Perusahaan ini memberikan donasi pada sejumlah cabang, termasuk budaya.
Executive Vice President Corporate Communication and Social Responsibility BCA Hera F Haryn mengatakan, budaya menjadi identitas suatu bangsa. Alhasil, program-programnya menyasar pula pada pengenalan serta pembinaan budaya bagi anak-anak, walau tak menutup juga ada program serupa bagi seniman senior.
Filantropi guna mendukung budaya lokal juga didukung, antara lain pertunjukan ”Sudamala: Dari Epilog Calonarang” yang dihelat di Pura Mangkunegaran Solo, Jawa Tengah, pada tahun lalu.
”Ketika ada penghasilan, teman-teman dari sanggar yang kami support untuk melakukan aktivitas pergelaran, mereka akan mengantongi pendapatan. Ketika punya pendapatan, mereka bisa spending, apalagi 57 persen pertumbuhan ekonomi Indonesia disumbang rumah tangga,” kata Hera.
Baca juga: ”Akrobat” dan Siasat Bertahan Hidup Pekerja Seni Tradisional
BCA berupaya fokus pada budaya agar bisa berdampak bagi para pelaku budaya Nusantara. Harapannya, mereka memiliki akses pasar, berkemampuan finansial, serta berdaya saing.
Sepanjang 2023, bank swasta itu mengucurkan Rp 153,2 miliar untuk biaya CSR. Proporsi terbesar pada pendidikan, diikuti cabang budaya, lingkungan, kesehatan, dan pengembangan komunitas yang besarannya serupa.
Linier dengan perusahaan
Sejumlah perusahaan lain berupaya andil memberi ”panggung” bagi para seniman tradisional. Namun, fokusnya memang bukan menjadi program utama.
Perusahaan makanan dan minuman, Danone Indonesia, menyediakan dana bagi para seniman dalam skala yang lebih kecil. Biasanya kegiatan-kegiatan ini diakomodasi melalui CSR berdasarkan pabrik-pabrik di daerah.
”Support ke kesenian itu insidential sifatnya proposal, sponsorship, tetapi kerja sama CSR tiap perusahaan fokus pada kompetensi masing-masing. Karena Danone bergerak pada industri makan dan minum, maka fokus pada kebudayaan atau kebiasaan pada pola makan dalam konteks luas,” kata Direktur Komunikasi Danone Arif Mujahidin.
Baca juga: Terobosan Seniman Tradisional Melampaui Ruang dan Waktu
Kegiatan CSR Danone berfokus pada kesehatan, perubahan iklim, serta air. Kesenian menjadi alat atau medium untuk menyampaikan pesan yang ingin disampaikan dalam tiap program.
Arif mengatakan, perusahaannya akan memprioritaskan kegiatan-kegiatan yang ”senapas” dengan produk dan visi perusahaan. Filantropi bentuknya pun berbagai macam, terutama pada level daerah.
”Skala besar dan kesenian pasti beragam. Itu pasti akan sesuai konteks, waktu, dan selama tak kejauhan dari produk, akan selalu terbuka (kerja sama),” ujarnya.
Tindakan serupa dilakukan perusahaan operator telekomunikasi PT XL Axiata Tbk. Aspek budaya, termasuk seni tradisional, melebur dalam program besar CSR.
Group Head Corporate Communication and Sustainabililty XL Reza Mirza mengatakan, sponsorship hanya akan menjawab kebutuhan seniman tradisional dalam jangka pendek. Pengembangan industri perlu dilandasi edukasi pengembangan bisnis, seperti pelatihan merencanakan keuangan, pementasan profesional, produksi yang matang, pengembangan cerita, hingga cara meningkatkan target audiens dari penampilan.
Baca juga: Seni Tradisi, Riwayatmu Kini
Menurut dosen Penciptaan dan Pengkajian Seni Pascasarjana Institut Seni Indonesia Padang Panjang, Sumatera Barat, Susas Rita Loravianti, program CSR lebih banyak pada pembangunan fisik. Seni tradisional memang jarang mendapat perhatian khusus.
”Tak ada itu CSR untuk pelestarian seni tradisi karena menurut mereka itu wujudnya tak terlihat. Kalau seni pertunjukan itu terlihat, tapi sesaat, sesudah itu hilang,” kata Lora.
Perusahaan perlu memahami bahwa bantuan ada bentuk yang fisiknya tak terlihat, tetapi butuh pelestarian dan pembinaan. CSR juga bisa menjadi bagian dari pengarsipan atau pencatatan agar kebudayaan terekam, kemudian bisa dilanjutkan pada generasi selanjutnya.
Pemotongan pajak
Dalam konteks yang lebih luas, seni pertunjukan tradisional merupakan aktivitas yang dikonsumsi wisatawan. Jenis kesenian ini juga lebih tersegmentasi. Beragam bentuk bantuan perusahaan swasta berdampak signifikan bagi keberlanjutan para seniman untuk mengaktualisasikan diri.
”CSR mendorong kesejahteraan dan perputaran uang ekonomi kreatif. Kami ingin institusionalisasikan, ingin memanfaatkan bahwa adanya potongan pajak bagi sumbangan seni pertunjukan ini akan lebih banyak,” ujar Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno dalam konferensi pers mingguan, Rabu (19/6/2024).
Peran swasta memang diharapkan guna mempertahankan seni tradisional. Namun, kolaborasi antara pemerintah dan swasta tentu makin mengoptimalkan upaya memperpanjang napas budaya.
Potongan pajak ini diharapkan bisa mendorong perusahaan-perusahaan swasta berlomba-lomba menyalurkan program CSR bagi seni tradisional. Harapannya, alokasi bantuan akan makin menguntungkan seniman.
Baca juga: Sekelumit Siasat Perpanjang Napas Para Seniman Tradisi Kalbar
Peran swasta memang diharapkan guna mempertahankan seni tradisional. Namun, kolaborasi antara pemerintah dan swasta tentu makin mengoptimalkan upaya memperpanjang napas budaya.
Budayawan sekaligus seniman senior Butet Kartaredjasa berpendapat, swasta memang perlu hadir, tetapi peran terbesar pada kehadiran negara. Selama ini, mayoritas yang diberikan masih berupa pendanaan.
Padahal, aspek terpenting saat ini berupa pendampingan tata kelola seni. Para seniman dilatih untuk mendokumentasikan, melakukan presentasi yang apik dan profesional, tidak apa adanya.
”Supaya kawan-kawan seniman tradisional bisa mengukur dan punya bargaining position (posisi tawar) yang setara, terhormat. Mereka harus dibiasakan supaya terlatih dan punya martabat, harga diri,” ujar Butet.
Tugas utama menjaga dan memelihara kebudayaan ada pada negara, bukan CSR. Dalam persentase, 70 persen tugas negara, sisanya baru disokong swasta.
Selama ini, Butet menambahkan, para seniman dalam posisi terendah karena pada aspek tata kelola dan profesionalisme kurang tergarap. Sebab, tak ada yang mendampingi. Ketika seniman memiliki tata kelola yang baik, mereka bisa memetakan diri posisinya ada di mana secara sosial, ekonomi, dan politik. Alhasil, mereka tak lagi menjadi korban dari ”permainan-permainan” itu.
”Kecenderungannya, sampai hari ini, kawan-kawan yang bergerak di seni tradisional itu minder, rendah diri,” kata aktor kawakan ini.
Program pemerintah itu tida hanya memberikan dana, tetapi juga perlu mengirim utusan-utusan untuk mendampingi. Banyak anak-anak muda dari fakultas tata kelola seni yang bisa membagikan ilmunya bagi para seniman.
Kembali pada rakyat
Campur tangan pemerintah bisa berdampak besar bagi keberlangsungan seni tradisional. Usaha ini perlu dilakukan bersama, tak hanya satu pihak.
Menurut Butet, Kementerian Keuangan perlu memberikan kompensasi pada aspek perpajakan bahwa perusahaan yang membantu kebudayaan bisa mendapatkan restitusi, pengurangan pajak dalam jumlah signifikan. Dengan begitu, dunia usaha akan berlomba untuk membantu kesenian-kesenian yang terpinggirkan.
Hampir semua negara maju menerapkan pengurangan pajak. Eropa, salah satunya, urusan kesenian dan kebudayaan sangat berkembang karena industri gemar membantu dalam pendidikan kesenian hingga memberi panggung seniman.
Tugas utama menjaga dan memelihara kebudayaan ada pada negara, bukan CSR. Dalam persentase, 70 persen tugas negara, sisanya baru disokong swasta.
Baca juga: Sape' Luwes Merespons Zaman