BI Dinilai Keteteran Stabilkan Rupiah hingga Tembus Rp 16.420 Per Dollar AS
Rupiah kembali melemah akibat naiknya permintaan valas korporasi, termasuk repatriasi dividen, serta persepsi fiskal.
JAKARTA, KOMPAS — Kendati suku bunga acuan dipertahankan sebesar 6,25 persen, nilai tukar rupiah kini telah menembus Rp 16.400 per dollar AS. Bank Indonesia optimistis nilai tukar rupiah akan berada dalam tren menguat didukung oleh fundamental ekonomi dan intervensi pasar melalui operasi moneter.
Setelah menggelar Rapat Dewan Gubernur, Bank Indonesia (BI) pada Kamis (20/6/2024) memutuskan tetap mempertahankan suku bunga acuannya sebesar 6,25 persen. Di sisi lain, nilai tukar rupiah dalam perdagangan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) justru ditutup pada level Rp 16.420 per dollar AS atau terdepresiasi 6,35 persen dibandingkan penutupan akhir 2023.
Berdasarkan data transaksi 10–13 Juni 2024, investasi portofolio asing mencatatkan beli neto sebesar Rp 8,91 triliun. Ini terdiri dari beli neto Rp 0,76 triliun di saham dan beli neto Rp 8,90 triliun di pasar Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), sedangkan di pasar Surat Berharga Negara (SBN) tercatat jual neto Rp 0,75 triliun.
Baca juga: BI Putuskan Suku Bunga Acuan Tetap 6,25 Persen
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai BI tampak keteteran dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Sekalipun telah menempuh berbagai upaya, termasuk dengan kebijakan menaikkan suku bunga, rupiah masih tetap terdepresiasi hingga 9 persen secara tahunan.
”Pelajaran dari tiga bulan terakhir, efektivitas menaikkan suku bunga ternyata tidak terlalu kuat menahan nilai tukar kita menjadi lebih baik. Padahal, ada potensi rupiah berada di bawah Rp 16.000 per dollar AS, tetapi ternyata tidak berhasil,” katanya saat dihubungi dari Jakarta.
Menurut Tauhid, intervensi di pasar keuangan oleh BI pun tidak bisa dilakukan secara terus-menerus mengingat cadangan devisa yang dimiliki relatif terbatas. Adapun ambang batas cadangan devisa tersebut minimal 130 miliar dollar AS atau setara pembiayaan untuk enam bulan impor.
Di sisi lain, BI memiliki beberapa pertimbangan untuk tetap mempertahankan suku bunga acuannya. Meskipun nilai tukar rupiah terdepresiasi, BI optimistis pergerakan rupiah masih berada dalam tren penguatan, terutama didukung oleh faktor fundamental.
Faktor fundamental akan memengaruhi tren (rupiah) sehingga kami masih meyakini tren nilai tukar rupiah ke depan akan menguat.
Faktor fundamental tersebut tecermin dari terjaganya tingkat inflasi sebesar 2,8 persen atau berada dalam sasaran 1,5-3,5 persen. Selain itu, pertumbuhan ekonomi tercatat berada di atas 5 persen dan defisit transaksi berjalan yang diperkirakan 0,1-0,9 persen dari produk domestik bruto pada 2024.
”Faktor fundamental akan memengaruhi tren (rupiah) sehingga kami masih meyakini tren nilai tukar rupiah ke depan akan menguat. Tren akan menguat dengan kemungkinan dimulainya pemangkasan suku bunga acuan AS pada akhir tahun, tingkat inflasi yang rendah, pertumbuhan ekonomi relatif baik, transaksi berjalan yang bagus, serta imbal hasil yang menarik,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo.
Sempat menghadapi tekanan geopolitik, kebijakan menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin pada April 2024 terbukti berhasil memperkuat rupiah hingga ke level Rp 15.900 per dollar AS pada medio Mei 2024. Namun, rupiah kembali melemah akibat meningkatnya permintaan valas oleh korporasi, termasuk untuk repatriasi dividen, serta munculnya persepsi terhadap kesinambungan fiskal ke depan.
Kendati demikian, permintaan valas oleh korporasi tersebut akan memuncak pada triwulan II-2024 dan mulai mereda pada Juli 2024 sehingga BI optimistis rupiah akan kembali menguat. Penguatan tersebut turut didukung oleh kombinasi intervensi pasar dengan memperkuat operasi moneter yang pro-market melalui instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Hingga 14 Juni 2024, penerbitan SRBI telah menarik aliran masuk asing ke dalam negeri yang tecermin dari kepemilikan nonresiden mencapai Rp 179,86 triliun atau 26,98 persen dari total outstanding. Adapun suku bunga SRBI untuk tenor 6, 9, dan 12 bulan tergolong menarik, masing-masing pada level 7,16 persen, 7,28 persen, dan 7,35 persen.
”Dalam jangka pendek (rupiah) naik-turun, kita akan melakukan intervensi dan mengoptimalkan SRBI untuk menarik inflow. Turunnya permintaan valas oleh korporasi pada Juli dan seterusnya akan mendukung rupiah sehingga relatif akan stabil dalam jangka pendek. Jadi, trennya menguat dan dalam jangka pendek stabil,” tutur Perry.
Ke depan, BI tidak menutup ruang bagi pemangkasan suku bunga acuan selama tidak ada masalah terkait ekonomi global dan ketegangan politik serta tidak ada persepsi terkait kesinambungan fiskal. Di sisi lain, stabilitas nilai tukar rupiah akan terjaga seiring dengan memadainya cadangan devisa, yakni sebesar 139 miliar dollar AS pada Mei 2024, meningkat dari 136,2 miliar dollar AS pada April 2024.
Berdasarkan simulasi Senior Economist PT Samuel Sekuritas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi, dibutuhkan 500 juta dollar AS dari cadangan devisa untuk membawa rupiah dari Rp 16.200 per dollar AS ke level Rp 16.000 per dollar AS. Ini akan lebih kuat lagi hingga Rp 15.900 per dollar AS apabila menggunakan 1 miliar dollar AS selama tiga bulan (Kompas.id, 17/4/2024).
Baca juga: Rupiah Tembus Rp 16.240, Terbuka Dua Opsi Kebijakan Moneter
Terpisah, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, saat dollar AS menguat terhadap semua mata uang global, langkah-langkah stabilisasi yang dilakukan BI lebih mengarah pada smoothing volatility dan bukan mendorong penguatan rupiah. Dari level cadangan devisa saat ini, langkah stabilisasi rupiah diperkirakan masih memadai.
”Beberapa langkah BI, seperti triple intervention, lalu operasi moneter termasuk SRBI, SVBI, dan SUVBI, diperkirakan akan mendorong penempatan investor asing pada instrumen BI yang diharapkan dapat membatasi keluarnya dana asing dari pasar saham dan pasar obligasi,” katanya.
Sentimen global
Pelemahan nilai tukar rupiah belakangan turut dipengaruhi oleh pemberitaan terkait kenaikan rasio utang pemerintah baru yang akan datang. Menurut Josua, investor asing masih menduga-duga dan berasumsi terkait rencana belanja pemerintah ke depan, terutama dalam pemerintahan presiden terpilih.
Adapun penjelasan dari pemerintah yang mengacu pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 dan Rencana APBN 2025 menyatakan, belum ada indikasi pelebaran defisit fiskal sebagai konsekuensi dari belanja negara yang agresif. Oleh sebab itu, tim ekonomi presiden terpilih atau presiden terpilih perlu mengklarifikasi dan mengonfirmasi bagaimana arah defisit fiskal ke depannya.
”Pemerintah berikutnya perlu realistis mengenai ruang fiskal Indonesia yang memang cukup terbatas sehingga perlu melakukan kajian lebih lanjut lagi terkait dampak dari peningkatan belanja negara terhadap pelebaran defisit fiskal yang berikutnya akan berdampak juga pada peringkat utang Pemerintah Indonesia,” tutur Josua.
Apabila lembaga pemeringkat utang mengulas peringkat utang Pemerintah Indonesia saat ini, Josua melanjutkan, akan berdampak pada kesinambungan utang ke depannya. Artinya, pertumbuhan ekonomi pun akan terpengaruh dalam jangka menengah-panjang.
Baca juga: Masa Depan Fiskal RI Diragukan, Pemerintah Turunkan Target Batas Bawah Defisit
Penguatan cadangan devisa
Josua menambahkan, solusi jangka pendek dari depresiasi rupiah adalah dengan BI terus mengintervensi pasar valas. Dalam jangka menengah, BI perlu menggalakkan lagi kebijakan devisa hasil ekspor (DHE) dan terus melakukan pendalaman pasar keuangan Indonesia.
Sementara itu, dalam jangka panjang, sebaiknya dilakukan diversifikasi ekspor kepada komoditas yang harganya stabil dan cenderung berfluktuasi. Selain itu, diversifikasi juga dilakukan dengan tujuan ekspor yang tidak terlalu bergantung pada pasar beberapa negara.
”Diversifikasi impor juga perlu dilakukan agar kebutuhan input impor menurun, lalu meningkatkan peran industri pariwisata sebagai sumber penerimaan valas, dan terus meningkatkan penanaman modal asing (FDI), sehingga ketergantungan pada hot money atau investasi portofolio asing menurun,” ujar Josua.
Baca juga: Risiko Fiskal dan Kondisi Dollar AS Turunkan Peringkat Pasar Saham Indonesia
Deputi Gubernur Senior BI Destri Damayanti menyebut, Term Deposit (TD) Valas DHE Sumber Daya Alam (SDA) BI relatif sedikit turun, dari sebelumnya 1,8 miliar dollar AS menjadi sekitar 1,73 miliar dollar AS. Kendati demikian, TD Valas DHE SDA tersebut hanya salah satu bentuk dari instrumen penempatan devisa hasil ekspor.
”Banyak korporasi yang menempatkan rekening khusus di bank-bank. Itu terindikasi dari DPK (dana pihak ketiga) valas naik sekalipun sudah disesuaikan oleh kurs rupiah dalam pelemahan, yakni 11 persen lebih. Artinya, dana-dana itu ada di Indonesia, tapi memang tidak semua ditempatkan dalam TD Valas DHE,” tutur Destry.