Penurunan Nilai Ekspor Batubara dan CPO Diganjal Komoditas Lain
Pada Mei 2024, nilai ekspor alas kaki, kendaraan, serta nikel, tumbuh lebih tinggi dibandingkan batubara dan CPO.
JAKARTA, KOMPAS — Neraca perdagangan Indonesia masih surplus di tengah perlambatan ekonomi negara mitra dagang utama dan gejolak nilai tukar rupiah. Penurunan permintaan serta harga komoditas batubara dan minyak sawit juga mampu disubstitusi dengan sejumlah komoditas lain.
Badan Pusat Statistik (BPS), Rabu (19/6/2024), merilis, neraca perdagangan migas dan nonmigas Indonesia pada Mei 2024 surplus 2,93 miliar dollar AS. Capaian itu membuat Indonesia mencatatkan surplus dagang selama 49 bulan berturut-turut sejak Mei 2020.
Hal itu tidak terlepas dari kinerja ekspor migas dan nonmigas yang tumbuh 13,82 persen secara bulanan dan 2,86 persen secara tahunan menjadi 22,33 miliar dollar AS. Adapun impornya senilai 19,4 miliar dollar AS atau naik 14,82 persen secara bulanan dan turun 8,83 persen secara tahunan.
Pertumbuhan nilai ekspor tertinggi justru terjadi pada komoditas selain batubara dan CPO.
Peningkatan nilai ekspor pada Mei 2024 tersebut terutama didorong peningkatan ekspor nonmigas. Secara umum, kinerja ekspor itu masih didominasi tiga komoditas utama, yakni bahan bakar mineral, termasuk batubara; lemak dan minyak hewani/nabati, termasuk minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunan; serta besi dan baja.
Namun, pertumbuhan nilai ekspor tertinggi justru terjadi pada komoditas selain tiga komoditas ekspor utama itu. Sejumlah komoditas itu adalah alas kaki yang tumbuh 33,82 persen secara bulanan; kendaraan dan bagiannya 26,8 persen; nikel dan produk turunan 26,77 persen; mesin dan perlengkapan elektrik beserta bagiannya; serta bijih logam, terak, dan abu 25,5 persen.
Deputi Bidang Statistik Produksi BPS M Habibullah mengatakan, batubara, CPO dan produk turunan, serta besi dan baja merupakan tiga komoditas unggulan ekspor nonmigas Indonesia. Pada Mei 2024, ketiganya berkontribusi sebesar 27,66 persen dari total ekspor nonmigas Indonesia yang senilai 20,91 miliar dollar AS.
Namun, nilai ekspor batubara serta CPO dan produk turunannya justru turun secara bulanan dan tahunan. Pada Mei 2024, ekspor batubara turun 4,04 persen secara bulanan dan 16,85 persen secara tahunan menjadi 2,5 miliar dollar AS atau. Nilai ekspor CPO dan produk turunannya juga turun 22,19 persen secara bulanan dan 27,11 persen secara tahunan menjadi 1,08 miliar dollar AS.
”Hal itu dipengaruhi tren penurunan harga kedua komoditas tersebut di pasar internasional dan penurunan permintaan dari sejumlah negara. Pada Mei 2024, misalnya, terjadi penurunan permintaan batubara dari China dan Filipina, serta penurunan permintaan CPO dan turunannya dari China dan Pakistan,” ujarnya dalam konferensi pers yang digelar secara hibrida di Jakarta.
Di sisi lain, lanjut Habibullah, nilai ekspor besi dan baja tetap tumbuh baik. Nilai ekspor komoditas tersebut pada Mei 2024 sebesar 2,2 miliar dollar AS, naik 1,22 persen secara bulanan dan 8,3 persen secara tahunan.
Baca juga: Produk Hilirisasi Topang Kinerja Positif Ekspor
BPS juga mencatat, China, Amerika Serikat, dan India masih menjadi pangsa pasar ekspor utama Indonesia. Bahkan, di tengah perlambatan ekonomi ketiga negara itu, nilai ekspor nonmigas RI ke tiga negara tersebut masih cukup tinggi pada Januari-Mei 2024. Pada periode tersebut, total nilai ekspor nonmigas RI sebesar 97,58 miliar dollar AS.
Pada periode Januari-Mei 2024, China tetap merupakan negara tujuan ekspor yang memiliki peranan terbesar dengan nilai 22,36 miliar dollar AS atau 22,92 persen dari total nilai ekspor nonmigas. Kemudian disusul Amerika Serikat dan India dengan nilai ekspor masing-masing 10,22 miliar dollar AS (10,48 persen) dan 8,85 miliar dollar AS (9,07 persen).
Kondisi mitra dagang
Saat ini pertumbuhan ekonomi tiga negara mitra dagang utama Indonesia, yakni China, Amerika Serikat, dan India, tengah melambat. Di China, misalnya, Moody’s Analytics menyebutkan, produsen dan konsumen di negara tersebut tengah mengalami gejala kesulitan ekonomi.
Pada Mei 2024, indeks harga konsumen China naik 0,3 persen secara tahunan dan indeks harga produsen turun 1,4 persen secara tahunan. Indeks harga produsen telah turun selama 20 bulan berturut-turut meskipun penurunan itu merupakan yang terkecil sejak Februari 2023.
”Kepercayaan konsumen China terhadap perekonomian domestik sangat lemah, penjualan produk ritel tumbuh lambat, dan krisis properti membuat mereka menutup dompet. Di sisi lain, produsen masih menanggung beban biaya produksi yang masih tinggi dan permintaan domestik yang belum begitu kuat,” kata Stefan Angrick, ekonom senior Moody’s Analytics, melalui siaran pers.
Baca juga: China Pasang Target Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen untuk 2024
Moody’s Analytics memperkirakan, ekonomi China akan tumbuh 4,9 persen pada 2024 atau melambat dari 5,3 persen pada 2023. Tingkat inflasi di China juga akan meningkat dari 0,3 persen pada 2023 menjadi 0,5 persen pada 2024.
Di India, pertumbuhan output industri telah melampaui volatilitas pasca-Covid 19 dan tetap di kisaran 4,4-5,6 persen sejak Desember 2023 hingga Mei 2024. Produksi furnitur dan mobil, pembangunan perumahan, dan pendapatan rumah tangga di wilayah perkotaan tumbuh baik.
Namun, penurunan produksi pangan pada April 2024 akibat kekeringan dan banjir menggambarkan ketidakstabilan pertanian dan pangan di negara tersebut. Meski begitu, tingkat inflasi tahunan mulai turun dalam lima bulan terakhir hingga mencapai 4,75 persen pada Mei 2024. Angka tersebut masih berada dalam kisaran target inflasi India, yakni 2-6 persen, meskipun belum mencapai tingkat yang diinginkan yang sebesar 4 persen.
Moody’s Analytics memproyeksikan ekonomi India pada 2024 akan tumbuh 6,8 persen atau melambat dari 7,8 persen pada 2023. Namun, tingkat inflasinya diperkirakan tumbuh membaik dari 5,7 persen pada 2023 menjadi 5 persen pada 2024.
Baca juga: ADB: Ekonomi China Melambat, India Jadi Mesin Penggerak Asia Pasifik
Sementara itu, Biro Analisis Ekonomi (BEA) Amerika Serikat pada Mei 2024 melaporkan, ekonomi negara tersebut tumbuh 1,3 persen pada triwulan I-2024 dibandingkan triwulan IV-2023. Angka itu berada di bawah perkiraan sebelumnya yang sebesar 1,6 persen.
Pertumbuhan belanja konsumen juga masih rendah, yakni 2 persen, atau di bawah proyeksi yang sebesar 2,5 persen. Pada Mei 2024, tingkat inflasi di Amerika Serikat sebesar 3,3 persen secara tahunan. Angka itu terendah sejak tiga bulan terakhir.
Meredanya inflasi tersebut didorong pelemahan kenaikan harga di sektor makanan, properti, transportasi, dan pakaian jadi. Kondisi ini juga didorong oleh penurunan harga kendaraan baru dan bekas.
Namun, kenaikan harga energi yang ditanggung konsumen justru lebih tinggi, yakni dari 2,6 persen pada Mei 2023 menjadi 3,7 persen pada 2024. Salah satu komoditas energi tersebut adalah bensin yang kenaikan harganya meningkat dari 1,1 persen pada Mei 2023 menjadi 2,2 persen pada 2024.