Kelanjutan Pengetatan Distribusi Elpiji 3 Kg Tunggu Restu Jokowi
Apabila berjalan sesuai peta jalan, pada 2027, subsidi elpiji akan berbasis orang, bukan lagi barang.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kelanjutan program transformasi distribusi elpiji 3 kilogram atau elpiji bersubsidi masih bergantung pada diterbitkan atau tidaknya revisi Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga Elpiji Tabung 3 Kg. Apabila berjalan sesuai peta jalan, mekanisme distribusi elpiji 3 kg akan berbasis orang pada 2027.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (19/6/2024), mengatakan, transformasi subsidi elpiji 3 kg telah dimulai pada 2024. Sejak 1 Januari 2024, pembeli elpiji di subpenyalur/pangkalan wajib terdata atau mendaftarkan nomor induk kependudukan (NIK)/kartu tanpa penduduk (KTP).
Adapun per 1 Juni 2024, pencatatan transaksi di subpenyalur elpiji 3 kg dilakukan melalui merchant app Pertamina (MAP). Namun, ada pengecualian pada 689 subpenyalur di daerah-daerah yang mengalami kendala sinyal internet.
Adapun transformasi tahap II berupa penyasaran elpiji tabung 3 kg baru akan diterapkan jika sudah ada payung hukum terkait kriteria pengguna. ”Saat ini, proses revisi Perpres Nomor 104 Tahun 2007 masih menunggu persetujuan izin prakarsa dari Presiden. Apabila revisi perpres itu ditetapkan pada triwulan IV-2024, penyasaran dapat diimplementasikan pada 2025 dan tahun selanjutnya,” kata Arifin.
Ia menambahkan, jika semua berjalan sesuai peta jalan, distribusi elpiji 3 kg akan berbasis orang atau penerima manfaat pada tahun 2027. Seperti diketahui, saat ini, distribusi elpiji 3 kg berbasis komoditas/barang, bukan berbasis orang. Kendati diperuntukkan bagi warga miskin, kalangan warga mampu masih dapat membeli elpiji melon.
Sebelumnya, pendataan dan pemadanan data yang dilakukan PT Pertamina (Persero) menunjukkan pembelian elpiji 3 kilogram relatif merata pada desil 1-7 atau 7 kelompok pendapatan terendah (dari 10). Namun, juga masih tercatat pembeli elpiji melon yang berasal dari desil 10 atau kelompok terkaya meskipun elpiji jenis tersebut diperuntukkan bagi warga tak mampu.
Desil (1-10) ialah pembagian penduduk menjadi 10 kelompok berdasarkan pendapatan mereka. Desil 1 berarti 10 persen penduduk termiskin, sedangkan desil 10 berarti 10 persen penduduk terkaya. Di antara keduanya, terdapat desil 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9.
Berdasarkan pemrofilan konsumen rumah tangga yang dilakukan Pertamina dalam program subsidi tepat elpiji 3 kg, diketahui mayoritas pembeli elpiji berasal dari desil 1-7. Pada desil 7, misalnya, terdapat 2,64 juta NIK yang membeli elpiji 3 kg (10 persen dari desil itu). Pada desil 8 terdapat 0,71 juta NIK (3 persen), desil 9 sebanyak 0,61 juta NIK (2 persen), dan desil 10 sebanyak 0,32 juta NIK (1 persen).
Pada raker di DPR, Rabu, Komisi VII DPR dan Menteri ESDM menyepakati volume elpiji 3 kg sebesar 8,2 juta metrik ton dalam asumsi dasar sektor ESDM untuk Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025. Angka itu meningkat dari volume elpiji pada APBN 2024 yang sebanyak 8,03 juta metrik ton dan outlook (hingga akhir 2024) yang sebanyak 8,12 juta metrik ton.
Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Mulyanto, mengingatkan, jangan sampai volume subsidi elpiji 3 kg meningkat, tetapi ”lari” ke pengoplos. Ia berharap ada perbaikan sistem dan pengawasan. ”Tidak bisa begini terus. Bahkan, tahun ini ada (modus) yang timbangan (volume elpiji 3 kg) berkurang. Kami usul BPH Migas (Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi) dilibatkan juga,” katanya.
Merespons hal tersebut, Arifin menyebut akan menambah kewenangan BPH Migas, yang selama ini mengawasi penyaluran bahan bakar minyak (BBM), juga turut mengawasi elpiji 3 kg. Dengan integrasi itu, pengawasan distribusi elpiji 3 kg tidak hanya dilakukan oleh Pertamina.
Asumsi dasar sektor ESDM
Selain elpiji, raker di DPR pada Rabu juga menyepakati asumsi dasar lain sektor ESDM dalam RAPBN 2025. Di antaranya ialah harga minyak mentah Indonesia (ICP) 80 dollar AS-85 dollar AS per barel, produksi siap jual (lifting) minyak bumi 600.000-605.000 barel per hari, lifting gas bumi 1.003-1.047 ribu barel setara minyak per hari, dan biaya operasi yang dipulihkan (cost recovery) sebesar 8,25 miliar dollar AS-8,5 miliar dollar AS.
”Minyak tanah 0,55-0,58 juta kiloliter (KL) dan minyak solar 18,5-19 juta KL. Kemudian, subsidi tetap minyak solar 1.000-3.000 per liter dan subsidi listrik Rp 84 triliun-Rp 88,36 triliun,” kata Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional Eddy Soeparno saat membacakan angka-angka asumsi dasar sektor ESDM yang disepakati pihaknya dan Menteri ESDM.
Di samping itu, Komisi VII DPR juga menyetujui pagu indikatif Rencana Kerja & Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-K/L) Kementerian ESDM tahun anggaran 2025 sebesar Rp 9,38 triliun. Rinciannya, antara lain, Sekretariat Jenderal Rp 553,65 miliar, Inspektorat Jenderal Rp 138,6 miliar, Ditjen Migas Rp 4,84 triliun, Ditjen Ketenagalistrikan Rp 496,05 miliar, Ditjen Minerba Rp 735,95 miliar, serta Ditjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Rp 657,02 miliar.
Peneliti Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep), Akmaluddin Rachim, berpendapat, secara prinsip, peningkatan volume subsidi untuk menjamin aksesibilitas energi bagi masyarakat, khususnya bagi kalangan kurang mampu. Namun, pemerintah harus benar-benar memastikan subsidi tersebut sampai kepada tangan penerima yang tepat, bukan justru dinikmati kalangan masyarakat menengah ke atas.
”Evaluasi penyaluran harus benar-benar dioptimalkan agar subsidi betul-betul tepat sasaran. Penentuan jumlah subsidi harus berdasarkan evaluasi, termasuk pendataan, disertai penguatan regulasi,” katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Energy Watch Daymas Arangga mengatakan, peningkatan volume BBM bersubsidi akan menjadi beban tambahan bagi APBN, terlebih dengan kurs Rp 16.368 per dollar AS pada 19 Juni 2024 (Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor). ”BBM nonsubsidi tentu akan ada penyesuaian. Dengan disparitas harga yang makin tinggi, bisa menyebabkan masyarakat kembali beralih ke BBM bersubsidi/kompensasi,” ujarnya.