Terobosan Seniman Tradisional Melampaui Ruang dan Waktu
Ragam inovasi diadopsi demi bersahabat dengan perubahan. Banyak platform mampu menggaet pangsa pasar lebih luas.
Seni tradisional akan makin terpinggirkan seiring perkembangan zaman jika para seniman tak memutar otak untuk bertahan. Beragam ikhtiar dilakukan agar warisan leluhur bisa terus hidup dengan fleksibilitas mengarungi zaman.
Beragam percobaan dilakukan guna meramu resep yang cocok sehingga tetap bisa dinikmati masyarakat umum. Masih ada semangat di balik jatuh-bangun perjuangan para seniman sehingga mereka berhasil berinovasi untuk memikat hati banyak orang. Mulai dari tata organisasi, pengemasan, promosi, hingga membidik pangsa pasar tertentu disesuaikan sebagai ikhtiar bertahan.
Para seniman masih berjuang mempertahankan karena menyadari signifikansi kebudayaan ini. Sebab, seni merupakan bagian dari sistem sosial suatu masyarakat.
”Kalau seni pertunjukan hilang di suatu masyarakat, maka sistem sosial itu berubah. Masyarakat itu kehilangan suatu hal yang sangat karakteristik di dalam sistem sosialnya. Jangankan membicarakan sistem budaya, sistem sosial saja akan kehilangan identitasnya,” tutur musisi Bali, Franki Raden (71), saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (13/6/2024).
Franki melanjutkan, seni pertunjukan tradisional di Indonesia belum memiliki pangsa pasar yang kokoh. Tingkat penghargaan dalam skala internasional justru lebih tinggi ketimbang dalam negeri.
Guna bertahan, Franki menyiasati dengan mengadakan Indonesian Music Expo (IMEX). Pameran tersebut merupakan wadah untuk memperkenalkan beragam musik khas Nusantara ke ranah global.
”Ini satu-satunya cara kami menembus pasar global senilai 6,5 miliar dollar AS (setara dengan Rp 106,4 trilun dengan kurs Rp 16.374 per dollar AS). Industri di luar besar, uang beredar besar. Di sini enggak ada. Jadi, salah satu usaha saya, memanfaatkan industri di luar negeri untuk bisa survive di sini,” kata Franki.
Saat ini dalam konteks modern, Franki melanjutkan, seniman tradisional harus menciptakan pasar. Namun, sebenarnya bukan tugas seniman ke ranah tersebut karena keterbatasan kapasitas. Mau tak mau, upaya itu perlu dilakukan demi mempertahankan eksistensi.
”Masyarakat sangat terbuka. Apa saja kalau itu dikemas menarik, mereka mau beli kok. Seniman harus punya keahlian kemas produk agar laku,” ujar seniman kawakan ini.
Franki mengakui bahwa berinovasi memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Semua orang cenderung mampu menciptakan suatu hal yang baru, tetapi belum tentu bisa menarik. Inovasi harus datang dari orang yang memahami betul seni tradisional sekaligus memiliki persepsi modern.
Hal serupa, berdamai dengan modernitas juga dilakukan seniman perempuan Betawi, Linda Nirin (44). Putri seniman peran kondang Betawi, Nirin, ini meneruskan sanggar kebudayaan turun-temurun keluarga pada Yayasan Sanggar Betawi Mak Manih Nirin Kumpul.
Selain terus meregenerasi para seniman, sanggar ini juga menerima panggilan sejumlah jenis kesenian Betawi. Beberapa di antaranya lenong, gambang kromong dan lawak, serta tari topeng. Para pemain senior, seperti Malih, Bolot, Mandra, dan Tonah, turut terlibat.
Meski demikian, predikat nama-nama besar tak bisa jadi tumpuan. Sebab, seni tradisional tetap perlu dikemas menarik agar bisa ”menghipnotis” lebih banyak orang.
Linda mengatakan, kisah serta celetukan yang digunakan dalam pementasan perlu disesuaikan dengan kondisi saat ini. Tak jarang, mereka memanfaatkan kutipan-kutipan percakapan dalam sinetron serta isu yang sedang viral, buah bibir masyarakat. Keterkaitan ini bisa membuat penonton merasa dekat dengan masalah yang dibahas sehingga pasar kesenian tradisional terjaga.
”Tergantung bagaimana kita mengemasnya. Seni ini bisa menghasilkan karena tiap jenis seni bisa saling berkolaborasi. Dalam kesenian Betawi, gambang kromong dan tari topeng, misalnya, bisa dipentaskan bersama,” ujar perempuan bernama asli Linda Kusmawati sekaligus adik Muhammad Yusuf Nirin ini.
Memanfaatkan media sosial
Segala hal dalam kehidupan harus bersinggungan, beradaptasi dengan perkembangan zaman. Mengikuti alur waktu itulah, kesenian tradisional juga tetap harus bersentuhan dengan kemajuan teknologi digital masa kini.
Gejayan Channel dibuat tujuh tahun silam. Akun di Youtube tersebut sengaja dibuat dengan memuat konten tentang berbagai aktivitas keseharian masyarakat, termasuk kegiatan kesenian di Dusun Gejayan. Tidak hanya itu, sejak tahun 2018, padepokan juga telah membuat akun di media sosial Instagram.
Tak sekadar menjadi upaya menunjukkan eksistensi berkesenian, konten-konten tersebut juga dianggap penting sebagai rekaman aktivitas para seniman di desa.
”Tayangan konten-konten di media sosial penting sebagai arsip digital kegiatan kami,” ujar Singgih Arif Kusnadi (35), pimpinan Padepokan Wargo Budoyo di Dusun Gejayan, Magelang, Jawa Tengah.
Pembuatan konten-konten digital berfungsi pula sebagai upaya publikasi sekaligus menjadi cara untuk menjalin kontak, interaksi dari para pelaku seni lain dari berbagai penjuru dunia.
Singgih mencontohkan, bulan Juli mendatang, Dusun Gejayan akan didatangi dan menjadi lokasi pementasan musik dari dua musisi asal Rusia. Mereka tertarik datang setelah melihat tayangan konten-konten Padepokan Wargo Budoyo di Youtube.
Selain itu, Singgih menuturkan, tayangan-tayangan video juga menjadikan Padepokan Wargo Budoyo kian dikenal dan menjadi sasaran tujuan kunjungan dari sekolah-sekolah yang kebetulan ingin belajar kesenian di Dusun Gejayan.
Hal serupa diungkapkan Saparno (40) dari Padepokan Seni Tjipta Boedaja di Dusun Tutup Ngisor, Kabupaten Magelang. Sama seperti yang dilakukan oleh Padepokan Wargo Budoyo, konten-konten yang digital melalui akun Tjipta Boedaja TV di Youtube sebatas dimaksudkan sebagai upaya dokumentasi, atau pengarsipan dari kegiatan kesenian Padepokan Tjipta Boedaja.
”Karena yang kami lakukan di sini adalah aktivitas kesenian, maka arsip atau dokumentasi visual sangat diperlukan untuk kebutuhan padepokan,” ujarnya.
Di Padepokan Tjipta Boedaja terdapat empat jenis kesenian yang biasa dimainkan, yaitu wayang orang sakral yang biasa ditampilkan dalam pentas 1 Sura, ketoprak, wayang menak, dan wayang topeng.
Namun, materi dari konten-konten digital pun tetap dibatasi, dan Padepokan Tjipta Boedaja juga sudah bersepakat untuk tidak membuat tayangan pentas pada peringatan 1 Sura. Hal ini sengaja dilakukan dengan maksud agar khalayak luar, para pencinta seni, juga tetap mau berdatangan untuk melihat langsung acara-acara unggulan, termasuk pentas wayang orang sakral di setiap peringatan 1 Sura.
Saparno mengatakan, pembatasan ini sengaja dijalankan, mengikuti pesan, amanat dari pendiri Padepokan Tjipta Boedaja, Romo Yoso Sudarmo yang memang sedari dahulu menginginkan padepokan sebagai ruang terbuka bagi siapa saja.
”Padepokan harus tetap disambangi, didatangi oleh siapa saja yang ingin belajar dan menonton pentas kesenian. Jangan sampai padepokan justru dilupakan karena segala sesuatunya sudah habis diumbar secara di media sosial,” ujarnya.
Pendidikan formal
Upaya terstruktur juga dilakukan seniman tradisional lain. Mereka tak segan mengusahakan agar materi kesenian tradisional dapat masuk dalam kurikulum sekolah serta membuka lebih banyak lapangan kerja dari sini.
Seniman kolintang, Luddy Wulur (61), berusaha terus menghidupkan napas permainan alat musik ini dengan mengajarkan kepada generasi-generasi muda. Sebab, ia sadar bahwa mewarisi saja tak cukup tanpa pengajaran.
”Saat ini, kalau di Sulawesi Utara masuk di sekolah-sekolah, swasta setidaknya. Jadi, pengembangan itu masuk di sekolah, bahkan masuk kurikulum. Kolintang juga harus masuk ke instansi-instansi kalau di sini,” kata Luddy.
Lagu-lagu kolintang disesuaikan dengan kondisi sekarang dengan beragam jenis irama, baik jazz, tradisional, maupun religi. Hal ini menjadi salah satu upaya menarik minat generasi muda memainkan alat musik khas Sulawesi ini.
Tak hanya itu, para pemain kolintang di Sulawesi berani mengadakan acara musik secara mandiri. Alhasil, lapangan kerja juga diciptakan sesama seniman.
Luddy melanjutkan, perlu organisasi yang terstruktur dengan susunan pengurusnya agar mampu mengoordinasi persebaran pemain kolintang terhadap permintaan dari sejumlah daerah di Indonesia. Selain memudahkan pihak menemukan seniman, ada sistem yang menjamin pelaku seni meningkatkan kesejahteraannya.
”Kalau enggak diatur organisasi, ya, tentunya mereka bagaimana dibayar keberlangsungannya. Kami harus pikir agar seniman tetap bisa hidup berkesinambungan,” katanya.
Komitmen pemerintah
Sederet inovasi para seniman tradisional dari berbagai cabang tak akan bertahan lama tanpa campur tangan pemerintah. Bantuan yang berkesinambungan, bukan justru berubah-ubah tiap bergantinya masa pemerintahan.
Dosen Penciptaan dan Pengkajian Seni Pascasarjana Institut Seni Indonesia Padang Panjang, Sumatera Barat, Susas Rita Loravianti, mengemukakan, pemerintah daerah, antara lain dinas pariwisata dan dinas kebudayaan diisi oleh orang-orang yang tak ahli mengurus kesenian. Alhasil, perhatian pada kesenian tradisional rendah.
”Kalau pemerintah kota/kabupaten yang membidangi kebudayaan hanya sekadar menjalankan kegiatan, tetapi kadang tak ada keberlanjutan dari kegiatan itu. Workshop dan lain-lain diadakan, tetapi kalau tak ada modal finansial untuk berlanjut, ya, enggak bisa lanjut juga,” tuturnya.
Serupa dengan keluhan para seniman, tiap ganti kepemimpinan, maka berubah pula kebijakannya. Hal ini terjadi pula pada para Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang belum menunjukkan keberpihakan pada kebijakan serta anggaran pendanaan pada seni tradisi. Alhasil, dukungan pada seni tradisional itu tak berlanjut.
”Seniman memahami cara agar tradisi harus dilestarikan dan dipertahankan. Mereka sudah banyak berupaya. Namun, kalau tak ada support dari pemerintah, tentu ini sangat berat bagi para seniman,” ujar Susas Rita Loravianti, dosen Penciptaan dan Pengkajian Seni Pascasarjana Institut Seni Indonesia Padang Panjang, Sumatera Barat.
Sejauh ini, Lora menilai, dukungan pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) patut diapresiasi dengan program-program bagi seni tradisional. Salah satunya melalui Dana Indonesiana yang memfasilitasi bidang kebudayaan, pemanfaatan dana abadi kebudayaan, serta beasiswa bagi para seniman.
Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan Kemendikbudristek Restu Gunawan mengatakan, seni tradisional dalam era digital harus terus berkembang dengan ide-ide kreatif supaya bisa bertahan dan beregenerasi. Aspek pakem atau aturan baku dalam tradisi tetap harus dipertahankan, tetapi ruang berkembang bagi seniman serta proses kreatif perlu diberi ruang agar lebih kontekstual.
Pihaknya telah berupaya membina pelaku budaya dalam manajemen serta meningkatkan kemampuan artistiknya. Contohnya, residensi pelaku seni dengan mengolaborasikan seniman Nusantara dan luar negeri. Ada musikalisasi pantun di Pekan Baru, Riau, serta pertunjukan tari tradisional di Cirebon, Jawa Barat.
”Ada platform Indonesiana untuk membina pelaku budaya dengan memperkuat ekosistemnya, yaitu pemerintah daerah dan pelaku, khususnya dalam pelaksanaan event,” kata Restu.
Dalam cakupan yang lebih luas, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek juga berupaya melakukan pendataan seniman tradisional beserta ekosistemnya. Pemerintah mencoba memetakan para maestro serta mengajak keterlibatannya dalam mewariskan seni tradisional, antara lain melalui Program Belajar Bersama Maestro, pendokumentasian karya maestro, serta Gerakan Seniman Masuk Sekolah.
Ada pula program lain untuk menguatkan hubungan sosial masyarakat setempat di lokasi kelahiran seni tradisional. Salah satunya melalui Desa Pemajuan Kebudayaan.
Menjaga marwah seni tradisional tidak hanya tugas para seniman, apalagi di tengah perubahan zaman yang menuntut fleksibilitas untuk berkembang pula. Macam-macam upaya dilakukan untuk memperpanjang napas warisan-warisan leluhur ini meski harus bergelut dan belajar hal baru, seperti pengemasan dan promosi.