Ada Apa dengan ”Unicorn” dan ”Decacorn” Setelah Menjadi Raksasa di Lantai Bursa?
Ada apa dengan unicorn dan decacorn pionir di Indonesia? Setelah melantai di bursa, ”drama” demi ”drama” malah terjadi.
Berawal dari usaha rintisan, Tokopedia dan Bukalapak menjelma menjadi unicorn alias start up yang nilai valuasinya telah mencapai 1 miliar dollar AS. Sementara Gojek, usaha rintisan ini nilai valuasinya telah mencapai 10 miliar dollar AS.
Sejumlah aksi korporasi lantas terjadi pada ketiga perusahaan itu, terutama penawaran saham umum perdana alias initial public offering (IPO). Cerita selanjutnya begitu dinamis dan dramatis.
Pada beberapa bulan terakhir, misalnya, dinamika itu sampai menyangkut pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagian karyawan. Seolah melengkapi dinamika ini, satu per satu pendirinya pergi meninggalkan usaha yang dulu mereka rintis.
Meski langkah ini telah dimulai beberapa tahun silam, aksi ”bedol desa” para pendiri itu tetap saja menyedot perhatian masyarakat. Masyarakat bertanya-tanya, apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan unicorn dan decacorn Tanah Air?
Apa saja yang Anda pelajari dari artikel ini?
1. Apa konteks dinamika unicorn dan decacorn di Indonesia?
2. Aksi korporasi apa yang menjadi cerita awalnya?
3. Bagaimana kondisi usaha setelah melantai di bursa?
4. Apa dampaknya ke karyawan?
5. Apa respons para pendiri?
1. Apa konteksnya?
Ekonomi digital Indonesia merupakan yang terbesar di antara negara-negara ASEAN. Pada 2021, merujuk Economic Research Institute for ASEAN and East Asia dalam laporan berjudul ”Redefining Indonesia’s Digital Economy”, kontribusinya mencapai 42 persen dari ekonomi digital ASEAN. Porsi ini lebih besar dibandingkan komparasi soal PDB. PBD Indonesia sekitar 36 persen dari total PDB ASEAN.
Indonesia adalah juga salah satu tujuan investasi digital paling menarik. Pada 2020, misalnya, arus masuk investasi ke sektor digital adalah 4,5 miliar dollar AS. Setahun kemudian, angkanya melonjak menjadi 9,1 miliar dollar AS (Google, Temasek, dan Bain & Company, 2022).
Kekuatan ekonomi digital Indonesia, masih merujuk laporan yang sama, berasal dari kecepatan penetrasi internet yang tinggi dan populasi kaum mudanya yang besar. Faktor lainnya adalah sejumlah inisiatif pemerintah dan swasta, terutama dalam bentuk telekomunikasi fisik dan infrastruktur digital.
Ekonomi digital Indonesia menunjukkan pertumbuhan luar biasa. Selama 2017-2021, pertumbuhannya mencapai 414 persen. Selanjutnya, pada periode 2021-2025, pertumbuhannya diperkirakan 62 persen. Hanya dalam waktu kurang dari 10 tahun, ekonomi digital Indonesia akan tumbuh delapan kali lipat.
2. Aksi korporasi apa yang menjadi cerita awalnya?
Bukalapak pada 9 Juli 2021 resmi mengumumkan rencana melaksanakan penawaran umum perdana saham (IPO). Langkah ini sekaligus mencatatkan Bukalapak sebagai unicorn Indonesia yang pertama melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Bukalapak menjalankan penawaran awal dan roadshow sejak 9 Juli hingga 19 Juli 2021. Pernyataan efektif dari OJK terbit pada 26 Juli 2021. Penawaran umum dilaksanakan pada 28 Juli-30 Juli 2021 dan pencatatan di BEI dengan kode saham BUKA dijadwalkan pada 6 Agustus 2021.
Setahun kemudian, Tokopedia dan Gojek resmi merger pada 17 Mei 2021 dengan nama PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk. Per 15 Maret 2022, GoTo mengumumkan rencana untuk melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI). Targetnya, langkah itu akan menghimpun dana Rp 15,2 triliun.
Baca juga: Resmi Melantai di BEI, Pembeli Saham Bukalapak Hampir 100.000 Investor
Baca juga: Tokopedia dan Gojek Dipastikan Merger
3. Bagaimana kondisi usaha setelah melantai di bursa?
Emiten teknologi PT Bukalapak.com Tbk (Bukalapak) dan PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GoTo) menargetkan bisa mencapai target untung pada triwulan IV-2023. Keputusan ini mesti berhadapan dengan kondisi industri teknologi yang masih dibayang-bayangi tech winter.
Pada triwulan I-2023, Bukalapak membukukan rugi operasional senilai Rp 1,17 triliun sehingga mencatat rugi bersih Rp 1 triliun. Pada periode sama 2022, Bukalapak mencatat laba bersih sebesar Rp 14,55 triliun. Ini karena pada periode triwulan I-2022, Bukalapak mendapatkan laba yang substansial dari nilai investasi pada PT Allo Bank Tbk.
Sementara GoTo mencatatkan kerugian bersih senilai Rp 90,5 triliun pada 2023. Nilai rugi bersih ini mencapai lebih dari dua kali lipat nilai rugi bersih dari tahun sebelumnya senilai Rp 40,4 triliun.
Kerugian bersih sebesar ini disebabkan oleh penurunan nilai goodwill terkait dengan akuisisi saham pengendali bisnis e-dagang milik Grup GoTo, yaitu Tokopedia, oleh Tiktok.
Baca juga: Rugi Bersih GoTo Tahun 2023 Mencapai Rp 90,5 Triliun
4. Apa dampaknya ke karyawan?
Situasi perusahaan yang masih sulit berdampak antara lain pada langkah efisiensi. Salah satunya adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan. Hal ini terjadi pada sejumlah perusahaan teknologi.
Sejak 2022 hingga 2024, PHK tak pernah berhenti. Langkah perusahaan itu bukannya berkurang, malah makin menjadi-jadi, baik di perusahaan global maupun di Indonesia. Pemutusan itu dilakukan dengan berbagai penyebab. Sampai kapan masalah ini akan selesai?
Pembahasan PHK kembali mencuat setelah laporan dari berbagai lembaga internasional dan juga perusahaan di dalam negeri. Mereka menyiratkan bahwa PHK kali ini tidak lebih kecil dibandingkan pada 2022 dan 2023. Bahkan, mereka menyebut, makin membesar.
TechCrunch dalam laporan terbarunya menyatakan, gelombang PHK sektor teknologi masih akan terjadi pada 2024. Menyusul pengurangan tenaga kerja yang signifikan pada 2022 dan 2023, tahun ini telah terjadi PHK sebanyak 60.000 orang di 254 perusahaan secara global.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, industri rintisan pernah meledak karena ekspektasi valuasi perusahaan yang berlebih dibandingkan dengan realitas bisnis.
Sebelum pandemi Covid-19, suku bunga di beberapa negara rendah sehingga aliran penyertaan investasi ke industri itu melimpah. Namun, saat suku bunga sudah merangkak naik sehingga ongkos investasi mahal, valuasi sejumlah usaha rintisan juga mengalami koreksi.
Baca juga: PHK Bakal Jadi Rutinitas Perusahaan Teknologi
5. Apa respons para pendiri?
Satu per satu pendiri Tokopedia, Gojek, dan Bukalapak mundur dari jabatannya. Mengapa mereka ”tumbang” justru setelah perusahaan yang dulu mereka rintis itu berkembang menjadi unicorn dan decacorn?
Cerita tumbangnya para pendiri perusahaan rintisan tersebut, dari perspektif mutakhir ke belakang, dibuka dengan mundurnya William Tanuwijaya dari co-founder dan co-chairman GoTo. Sebelumnya, para pendiri di Tokopedia, Gojek, dan Bukalapak sudah terlebih dulu mundur.
Baca juga: Mengapa Para Pendiri Tokopedia, Gojek, dan Bukalapak ”Tumbang”?
Baca juga: Pendiri Ramai-ramai Keluar dari GoTo, Investor ”Wait and See”