Pelemahan Rupiah Timbulkan Dilema bagi Pelaku Usaha
Pelaku usaha menghadapi dilema di tengah pelemahan nilai tukar dan tergerusnya daya beli masyarakat.
JAKARTA, KOMPAS – Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dan tingginya tingkat suku bunga akan meningkatkan biaya produksi sehingga membuat sektor usaha terpukul. Bila terus dibiarkan, tidak menutup kemungkinan terjadi penyesuaian harga produk ke konsumen. Namun, hal ini juga berpotensi semakin menggerus daya beli masyarakat.
Berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), pada perdagangan Jumat (14/6/2024), rupiah ditutup pada level Rp 16.374 per dollar AS atau melemah 6,33 persen dibandingkan dengan penutupan akhir 2023. Sementara itu, data Bloomberg menunjukkan, indeks dollar AS terhadap mata uang utama per Selasa (18/6/2024) siang tercatat berada pada level 105,4 basis poin (bps) atau menguat 0,09 persen dibandingkan dengan perdagangan hari sebelumnya.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia Benny Soetrisno mengatakan, depresiasi rupiah akan meningkatkan biaya produksi. Selain itu, kenaikan suku bunga juga turut memberikan beban tambahan sehingga semakin menyulitkan para pengusaha, baik yang berorientasi pasar dalam negeri maupun ekspor.
”Sedangkan, daya beli masyarakat dalam negeri juga terpuruk dan negara-negara tujuan ekspor juga mengalami persoalan dalam logistik akibat konflik geopolitik yang terjadi. Pada akhirnya, para pengusaha mengalami kesulitan untuk mengembangkan usaha. Hal tersebut juga tecermin dari jatuhnya pasar saham saat ini,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Selasa.
Infografik Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Rupiah-Dollar AS
Kondisi serupa juga dirasakan oleh industri makanan dan minuman Tanah Air. Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman menyampaikan, pelemahan rupiah akan memukul industri lantaran masih banyak bahan baku impor dan biaya-biaya lainnya yang dibayar dengan dollar AS.
Apalagi, biaya pengapalan luar negeri saat ini melonjak hingga 3-4 kali lipat. Sementara itu, pangsa pasar ekspor semakin kompetitif karena para pembeli tertekan sehingga mereka meminta harga yang lebih murah.
”Industri mengantisipasi dengan efisiensi serta mencari alternatif sumber daya yang berasal dari lokal atau negara lainnya. Selain itu, tentu masing-masing perusahaan akan menentukan sendiri apakah harus menaikkan harga, resize (memperkecil ukuran), atau alternatif lainnya agar tetap bisa menyesuaikan daya beli konsumen,” ujarnya.
Ketika rupiah kita melemah dan dollar AS menguat, biaya untuk impor akan meningkat. Ketika biaya impor meningkat, relevansinya adalah harga jual.
Oleh sebab itu, Adhi berpendapat, pemerintah perlu mengantisipasi gejolak nilai tukar tersebut melalui upaya intervensi. Di sisi lain, aturan mengenai devisa hasil ekspor juga dirasakan membebani para pelaku usaha sehingga perlu dievaluasi kembali.
Senada, Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey menambahkan, pelemahan nilai tukar rupiah secara terus-menerus akan berdampak terhadap barang-barang kebutuhan pokok, terutama yang berkaitan dengan impor. Misalnya, beras, gula, serta bahan baku dan bahan penolong produksi makanan-minuman, yang masih diimpor oleh Indonesia.
”Ketika rupiah kita melemah dan dollar AS menguat, biaya untuk impor akan meningkat. Ketika biaya impor meningkat, relevansinya adalah harga jual,” ujarnya.
Pengunjung memadati area bazar mainan yang digelar salah satu toko ritel di sebuah pusat perbelanjaan di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta, Kamis (9/5/2024).
Di sisi lain, pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi dan harga acuan pada komoditas pokok. Roy berharap, pemerintah dapat memberikan relaksasi atas kebijakan tersebut mengingat kenaikan harga dapat membuat ketersediaan barang di pasar akan berkurang.
Menurut Roy, tren pelemahan kurs rupiah ini berpotensi akan berlanjut hingga akhir tahun seiring dengan kebijakan bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed). Lebih lanjut, tingginya tingkat suku bunga secara bersamaan juga akan memukul daya beli masyarakat.
Baca juga: Sinyal The Fed dan Kekhawatiran Investor Bawa Rupiah Tembus Rp 16.400 Per Dollar AS
Berbalik rugi
Di tengah situasi tersebut, tidak jarang para pelaku usaha sektor ritel terpaksa mengurangi margin keuntungan mereka atau bahkan berbalik merugi (loss margin). Hal ini mengingat lini bisnis utama ritel adalah menyediakan kebutuhan pokok.
Menurut Roy, para peritel tetap harus menyediakan kebutuhan pokok sekalipun dalam situasi harga yang berfluktuasi dan hanya memperoleh margin tipis (short margin). Sebab, penghidupan utama para peritel berada pada kebutuhan pokok masyarakat.
”Tidak ada pilihan lain karena kita harus berusaha menciptakan adanya traffic puller, adanya kedatangan konsumen ke gerai-gerai ritel kita karena kita juga harus mempertahankan usaha sebagai penjual-penjual. Kita harus menjaga juga supaya tetap produktif hingga ritelnya tidak kutub, tidak terjadi PHK (pemutusan hubungan kerja),” ujarnya.
Dalam kondisi tersebut, pemerintah diharapkan selalu melibatkan para pelaku usaha dalam mengambil kebijakan, terutama yang berkaitan dengan daya beli masyarakat, Kebijakan tersebut, antara lain seperti kenaikan uang kuliah tunggal (UKT), tabungan perumahan rakyat (Tapera), serta pungutan pajak.
Roy berpendapat, alih-alih menambah beban masyarakat, pemerintah sebaiknya mempertimbangkan serapan tenaga kerja yang semakin hari semakin banyak terjadi PHK di sektor padat karya. ”Butuh komitmen dari pemerintah karena utang rafraksi minyak goreng saja hingga saat ini belum dibayarkan,” imbuhnya.
Terpisah, Ketua Asosisasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani mengatakan, depresiasi rupiah hingga ke level Rp 16.400 per dollar AS sangat tidak kondusif bagi para pelaku usaha. Sampai dengan level Rp 16.000 per dollar AS, biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk menghasilkan keuntungan (cost of doing business) sudah tergolong mahal, tidak affordable, serta tidak kompetitif.
Bagi masyarakat, akan ada penyesuaian harga dan ini berdampak kepada daya beli. Untuk barang yang sama, akan semakin mahal dan kemampuan beli masyarakat semakin berkurang.
Selain itu, kenaikan biaya tersebut tidak hanya berlaku kepada beban biaya impor bahan baku atau bahan penolong, melainkan juga komponen beban-beban usaha lainnya, seperti logistik, transportasi, serta pembiayaan. Akibatnya, akan berdampak kepada risiko penurunan kinerja usaha, penurunan penciptaan lapangan pekerjaan, penurunan produksi, serta berisiko pada kemampuan membayar kredit perusahaan.
”Pelemahan nilai tukar juga akan berimbas negatif pada realisasi investasi dan penerimaan investasi asing. Belum lagi, risiko peningkatan volatilitas atau spekulasi pasar keuangan yang cenderung akan semakin memberikan tekanan terhadap stabilitas makroekonomi nasional. Pasar domestik juga kami khawatirkan akan semakin lesu dan semakin menahan diri untuk melakukan ekspansi konsumsi bila pelemahan nilai tukar terus dibiarkan,” kata Shinta.
Baca juga: Cicilan Utang Meningkat, Daya Beli Masyarakat Menengah-Bawah Kian Tergerus
Dilema pelaku usaha
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, menyebut, pelemahan nilai tukar rupiah membuat para pelaku usaha menjadi dilema. Sebab, di satu sisi, para pelaku industri dengan komponen bahan baku/bahan penolong impor mau tidak mau harus menyesuaikan harga.
Namun, di lain pihak, terjadi pelemahan daya beli masyarakat yang mengakibatkan penjualan riil mereka turun. Pada triwulan I-2024, misalnya, konsumsi rumah tangga sebagai kontributor utama pertumbuhan ekonomi hanya tumbuh 4,91 persen secara tahunan. Padahal, biasanya, konsumsi rumah tangga tumbuh di atas 5 persen.
”Bagi masyarakat, akan ada penyesuaian harga dan ini berdampak kepada daya beli. Untuk barang yang sama, akan semakin mahal dan kemampuan beli masyarakat semakin berkurang. Artinya, imported inflation akan terjadi, misalnya pada bahan baku pokok, seperti beras, bawang putih, dan gandum,” kata Tauhid.
Menurut dia, tidak menutup kemungkinan Bank Indonesia akan kembali menaikkan suku bunga acuannya. Hal ini dilakukan lantaran semakin lebih kuatnya aliran modal portofolio asing yang keluar ketimbang aliran modal asing yang masuk.
Berdasarkan data transaksi 10–13 Juni 2024, investor asing di pasar keuangan domestik mencatatkan beli neto sebesar Rp 8,91 triliun. Ini terdiri dari aksi jual neto investor nonresiden di pasar Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp 0,75 triliun, beli neto senilai Rp 0,76 triliun di pasar saham, dan beli neto senilai Rp 8,9 triliun di pasar Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Baca juga: Risiko Fiskal dan Kondisi Dollar AS Turunkan Peringkat Pasar Saham Indonesia
Secara kalender berjalan hingga 13 Juni 2024, investasi portofolio asing di pasar keuangan domestik masih mencatatkan beli neto sebesar Rp 63,41 triliun. Masuknya investasi asing tersebut terutama ditopang oleh instrumen SRBI yang mencatatkan beli neto sebesar Rp 108,9 triliun. Di sisi lain, investor asing masih mencatatkan jual neto Rp 35,09 triliun di pasar SBN dan jual neto Rp 10,40 triliun di pasar saham.
Terdapat dua hal yang membuat rupiah semakin tertekan, yakni pengumuman peringkat utang Indonesia yang sedikit turun dibandingkan sebelumnya. Di sisi lain, terdapat isu mengenai peningkatan rasio utang hingga 50 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) sehingga membuat kepercayaan pasar goyah.