Harga Minyak Mentah Menguat dan Rupiah Melemah, Apa Dampak bagi RI?
Kenaikan harga minyak mentah dan pelemahan rupiah tidak menguntungkan Indonesia yang masih bergantung pada impor minyak.
Oleh
ARIS PRASETYO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Data Bloomberg, Selasa (18/6/2024), menunjukkan, harga minyak mentah jenis Brent tercatat 84,25 dollar AS per barel atau kembali pulih setelah sempat menyentuh level 77 dollar AS per barel pada awal Juni lalu. Sementara itu, rupiah diperdagangkan Rp 16.374 per dollar AS berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate akhir pekan lalu. Situasi ini akan memberatkan fiskal Indonesia yang masih bergantung pada impor minyak mentah.
”Saya kira kondisinya akan memperberat beban subsidi ke arah yang lebih besar. Sebab, apabila tidak ada penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM), alokasi subsidi (untuk energi) akan menjadi lebih besar,” kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro saat dihubungi, Selasa (18/6/2024), di Jakarta.
Komaidi mengatakan, selain diperberat oleh kenaikan harga minyak dan pelemahan rupiah terhadap mata uang dollar AS, kondisi dalam negeri turut memicu situasi sulit tersebut. Kondisi itu adalah produksi siap jual (lifting) minyak dalam negeri yang terus menurun. Per 14 Juni 2024, data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan realisasi lifting minyak sebesar 581.931 barel per hari atau jauh di bawah target APBN 2024 yang 635.000 barel per hari.
”Apalagi, di pemerintahan yang baru nanti ada program baru, seperti makan bergizi gratis. Maka, dibutuhkan distribusi anggaran ke sana (untuk makan bergizi gratis dan subsidi BBM). Belum lagi penerimaan pajak yang tidak begitu menggembirakan, artinya makin berat kondisi (fiskal)-nya,” ucapnya.
Ia memperkirakan, apabila pemerintah terpaksa harus menaikkan harga jual BBM, kenaikannya tidak akan diambil penuh. Misalnya, apabila kenaikan harga ideal adalah 100 persen, maka pemerintah cukup mengambil porsi 30 persen saja. Kenaikan harga tidak terelakkan untuk berbagi beban dengan konsumen lantaran beban fiskal dalam APBN sudah cukup berat.
Setiap kenaikan harga minyak mentah sebesar 1 dollar AS per barel akan menyumbangkan pendapatan negara Rp 3,3 triliun. Namun, beban belanja negara ikut bertambah lebih besar, yaitu Rp 9,2 triliun.
Berdasarkan catatan Kompas, subsidi energi tahun ini ditetapkan sebesar Rp 189,1 triliun yang terdiri dari subsidi BBM Rp 25,8 triliun, subsidi elpiji 3 kilogram Rp 87,4 triliun, dan sisanya subsidi untuk listrik. Adapun realisasi subsidi energi pada 2023 adalah Rp 159,6 triliun atau melampaui target yang ditetapkan sebesar Rp 145,3 triliun.
Dalam APBN 2024, pemerintah dan DPR sepakat menetapkan harga minyak mentah Indonesia (ICP) sebesar 82 dollar AS per barel. Dengan kenaikan harga minyak mentah dunia melampaui ICP, ada kemungkinan alokasi subsidi akan turut membengkak. Apalagi, 60 persen kebutuhan BBM dalam negeri masih dipenuhi lewat impor.
Setiap kenaikan harga minyak mentah sebesar 1 dollar AS per barel akan menyumbangkan pendapatan negara Rp 3,3 triliun. Namun, beban belanja negara ikut bertambah lebih besar, yaitu Rp 9,2 triliun, seperti lewat belanja subsidi dan kompensasi energi, dana bagi hasil, atau dana perlindungan sosial. Hal itu berpotensi mendorong pelebaran defisit fiskal pada APBN (Kompas.id, 21/9/2023).
Saat ini, harga jual BBM bersubsidi jenis pertalite Rp 10.000 per liter, sedangkan solar bersubsidi (biosolar) dijual Rp 6.800 per liter. Berdasarkan catatan subsidi BBM di sejumlah stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU), pada Mei 2024, subsidi biosolar tercatat Rp 6.000 per liter, sedangkan subsidi pertalite Rp 3.250 per liter. Dibandingkan dengan Januari 2024, subsidi biosolar Rp 5.200 per liter dan subsidi pertalite Rp 1.350 per liter.
Dalam hasil penelitiannya, Rystad Energy, sebuah lembaga riset dan analisis di bidang energi, Senin (17/6/2024), menyampaikan, ada kemungkinan harga minyak mentah dunia akan bertahan tinggi hingga 2025. Hal itu disebabkan melambannya pasokan minyak yang berpotensi semakin menurun pada 2025 nanti.
”Panduan terbaru yang diberikan oleh OPEC+ (organisasi negara-negara pengekspor minyak + Rusia), serta proyeksi pertumbuhan permintaan mereka yang tidak berubah sebesar 2,25 juta barel per hari, mengindikasikan stagnasi dalam pertumbuhan pasokan minyak untuk tahun 2024 dan risiko penurunan produksi yang jelas pada tahun 2025,” ujar Vice President & Global Lead of Crude Trading Analysis Rystad Energy Patricio Valdivieso, dalam keterangannya.
Rystad Energy memperkirakan total pertumbuhan pasokan minyak (minyak mentah dan kondensat) yang diharapkan untuk tahun 2024 sekarang mendekati 80.000 barel per hari, turun dari hampir 900.000 barel per hari sebelum 2 Juni 2024.