Mengapa Para Pendiri Tokopedia, Gojek, dan Bukalapak ”Tumbang”?
Mengapa para pendiri justru berjatuhan ketika perusahaan yang mereka rintis telah tumbuh jadi ”unicorn” atau ”decacorn”?
Satu per satu pendiri Tokopedia, Gojek, dan Bukalapak mundur dari jabatannya. Mengapa mereka ”tumbang” justru setelah perusahaan yang dulu mereka rintis itu berkembang menjadi unicorn dan decacorn?
Cerita tumbangnya para pendiri perusahaan rintisan tersebut, dari perspektif mutakhir ke belakang, dibuka dengan mundurnya William Tanuwijaya dari co-founder dan co-chairman GoTo. Merujuk informasi dari akun resminya di LinkedIn, William terdaftar sebagai co-founder dan co-chairman GoTo pada Mei 2021 sampai dengan Juni 2024.
GoTo adalah perusahaan hasil merger antara Gojek dan Tokopedia. Keputusan tidak lagi melanjutkan masa jabatannya sebagai Co-Chairman GoTo diumumkan pada Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) GoTo di Jakarta, Selasa (11/6/2024).
Baca juga: Pendiri Ramai-ramai Keluar dari GoTo, Investor ”Wait and See”
Sebagaimana informasi di LinkedIn, ia terdaftar sebagai co-founder dan CEO Tokopedia pada Agustus 2009-Maret 2023. Selanjutnya, ia terdaftar sebagai co-founder dan chairman Tokopedia pada Maret 2023-Juni 2024.
Pendiri lain Tokopedia adalah Leontinus Alpha Edison. Co-founder Tokopedia itu sempat memiliki saham seri A dan seri B di awal proses merger Tokopedia ke GoTo. Namanya juga ’hilang’ setelah merger resmi tuntas dan perusahaan melantai di Bursa Efek Indonesia.
Sebelumnya, para pendiri Gojek sudah terlebih dulu mundur. Pendiri Gojek meliputi Nadiem Makarim, Kevin Aluwi, dan Michaelangelo Moran. Adalah Moran yang pertama kali mundur.
Moran mengumumkan mundur dari Gojek per 18 Oktober 2016. Bergabung sejak Gojek berdiri pada 2010, Moran menempati posisi terakhir sebagai brand director.
Menyusul berikutnya adalah Nadiem yang kini menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Ia menyatakan mundur dari Gojek pada 2019 setelah diminta Presiden Jokowi bergabung di kabinet.
Mengutip prospektus penawaran umum saham perdana (IPO) GoTo, Nadiem pernah memiliki 20,50 persen saham Gojek di awal pendirian. Namun, namanya sudah tidak muncul sebagai pemegang saham saat merger Gojek-Tokopedia.
Sementara Kevin Aluwi, yang dulu adalah co-founder Gojek, juga mundur dari jajaran tertinggi GoTo. Kevin kini diketahui menjadi venture partner di Lightspeed, sebuah perusahaan modal ventura untuk start up.
Fenomena yang sama terjadi di Bukalapak. Achmad Zaky, salah satu pendiri Bukalapak, memutuskan mundur dari jabatan CEO Bukalapak pada Desember 2019, atau lebih kurang 1,5 tahun menjelang Bukalapak melakukan penawaran saham perdana.
Langkah ini diikuti dua pendiri Bukalapak lainnya. Nugroho Herucahyono, yang menjabat sebagai chief technology officer di Bukalapak dari November 2009, mundur per Maret 2020. Bersama dengan Zaky, Nugroho bergabung dengan perusahaan modal ventura bernama Init6 sejak April 2020.
Seorang pendiri Bukalapak lainnya, Muhamad Fajrin Rasyid, tak ketinggalan. Ia juga sudah mundur dan kini menjabat sebagai Director of Digital Business Telkom Indonesia dari Juni 2020 sampai sekarang.
Managing Partner Discovery/Shift Rama Mamuaya, Senin (17/6/2024), di Jakarta, mengatakan, pendiri start up memiliki beberapa peran. Peran pertama adalah starter yang memulai ide sampai menjadi bisnis ukuran kecil atau menengah.
Peran kedua ialah scaler yang bertugas melakukan ekspansi bisnis. Peran ini biasanya terjadi ketika suatu start up dapat kucuran investasi seri B hingga sebelum IPO.
Baca juga: Resmi Melantai di BEI, Pembeli Saham Bukalapak Hampir 100.000 Investor
Peran ketiga ialah menjadi pemimpin atau pembimbing. Peran ini biasanya bertugas mengelola tim eksekutif supaya tidak melenceng dari visi perusahaan. Ini biasanya terjadi pada saat kondisi start up sudah IPO atau menjadi perusahaan berskala sangat besar.
”Ada sejumlah pendiri bisa berkembang bersama perusahaan, seperti Steve Jobs dan Mark Zuckerberg. Akan tetapi, CEO pada start up tahap awal dan IPO berbeda. Oleh karena itu, kebanyakan pendiri akhirnya mengundurkan diri ketika sudah IPO atau sudah besar,” ujarnya.
Menurut Rama, ketika suatu start up melantai di bursa saham, visi perusahaan seharusnya tidak berubah. Hal yang berubah hanya tujuan jangka pendek-menengah. Para pendiri start up biasanya mulai dengan target ingin menjadikan start up tumbuh besar.
Namun, ketika sudah menjadi besar, perusahaan biasanya dan akan diikuti dengan tujuan ingin mengincar profit yang makin besar dan ekspansi pasar. Tidak semua pendiri start up mau dan cocok menjalani misi ini.
Setelah IPO, biasanya kebanyakan investor melakukan model supervisi yang ’dewasa’ sehingga mereka nyaman berinvestasi triliunan rupiah. Tidak semua pendiri mempunyai kemampuan menangani uang investasi triliunan rupiah, apalagi jika perusahaan melantai di bursa saham dan harus menghadapi dinamika ekonomi eksternal (di luar perusahaan).
”Luar biasa langka (ada pendiri start up yang masih bertahan di pucuk pimpinan ketika perusahaan sudah sangat besar ataupun melantai di bursa saham). Ini fenomena global,” ucap Rama.
The New York Times pada Agustus 2022 mengeluarkan laporan tentang sejumlah bos perusahaan teknologi di Silicon Valley yang mundur. Ben Silbermann, salah satu pendiri layanan pinboard digital Pinterest, mengundurkan diri sebagai kepala eksekutif.
Ada pula Joe Gebbia, salah satu pendiri Airbnb, yang mengumumkan pengunduran dirinya dari kepemimpinan perusahaan. Apoorva Mehta, pendiri aplikasi pengiriman bahan makanan Instacart, mengakhiri pencalonannya sebagai ketua eksekutif ketika perusahaan itu IPO paling cepat pada 2022.
Baca juga: PHK Perusahaan Teknologi di Tengah Keramaian Pemilu 2024
Di tahun yang sama, semua pendiri Twitter, Peloton, Medium, dan MicroStrategy telah mengundurkan diri. The New York Times mengibaratkan, mereka telah mengendarai unicorn menuju ketenaran dan kekayaan. Namun, ketika sampai di kondisi yang terjal, mereka merasa hal itu kurang menyenangkan.
Kondisi yang terjal yang dimaksud ialah pasar saham turun drastis pada 2022. Ini berdampak sangat buruk bagi start up dan perusahaan teknologi skala besar lainnya. Mereka merugi.
Para pemodal ventura menarik kembali kesepakatan mereka dan mendesak start up dan perusahaan teknologi yang berharga di Silicon Valley untuk memangkas biaya. Pemodal kemudian start up melanjutkan bisnis dengan hati-hati. Kesabaran para pendiri semakin menipis. Perusahaan yang mereka pimpin kemudian mulai tampak seperti liabilitas ketimbang aset.
Pada saat tulisan di New York Times itu dipublikasikan, saham Pinterest turun 60 persen dan saham Airbnb turun 25 persen dibandingkan dengan tahun 2021. Instacart menurunkan penilaian internalnya hampir 40 persen pada Maret 2022 karena bersiap untuk IPO di tengah suasana pasar yang kurang bersahabat.
”Menjadi CEO tentu kurang menyenangkan ketika pasar sedang lesu, perekonomian sedang mengalami tren negatif, dan peraturan makin ketat,” ujar Kevin Werbach, profesor bisnis di Wharton School Universitas Pennsylvania kepada The New York Times.
Bukalapak membukukan kerugian bersih Rp 41,96 miliar pada triwulan I-2024. Kerugian ini menyusut 96 persen dari periode yang sama pada 2023 senilai Rp 1 triliun.
Berdasarkan laporan keuangan Bukalapak per 31 Maret 2024, perusahaan mengantongi pendapatan sebesar Rp 1,16 triliun atau tumbuh 16,18 persen dari pendapatan di periode sama pada 2023 senilai Rp 1 triliun.
Adapun berdasarkan laman Bursa Efek Indonesia, harga saham GoTo sempat menyentuh level terendah, Rp 50 per saham, sempat ambles hingga 12 persen secara point-to-point.
Chief Economist Permata Bank Josua Pardede, saat dihubungi pada Senin (17/6/2024), di Jakarta, menyampaikan, fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) serta mundurnya para pendiri start up Indonesia dari puncak pimpinan yang terjadi beberapa tahun terakhir dipengaruhi oleh sejumlah faktor.
Faktor pertama ialah tingkat inflasi, kenaikan suku bunga, dan ketidakpastian geopolitik ekonomi global. Kondisi suku bunga global yang cenderung higher-for-longer menyulitkan start up mendapatkan ongkos pendanaan yang murah.
Baca juga: Bisnis E-Dagang yang Sedang Tidak Baik-baik Saja
Faktor kedua ialah perubahan strategi bisnis dari internal start up. Suatu perusahaan teknologi yang sudah berskala besar kemungkinan bergeser dari mengejar pertumbuhan cepat ke mengejar keberlanjutan dan keuntungan jangka panjang. Ini bisa melibatkan penurunan jumlah karyawan dan mundurnya para pendiri.
”Faktor lainnya ialah persaingan ketat. Di pasar perdagangan secara elektronik atau e-dagang, misalnya, kami menilai ini telah mencapai titik kematangan sehingga pertumbuhannya tidak lagi secepat yang pernah terjadi sebelumnya. Agar tetap kompetitif, bisnis perlu melakukan perubahan manajemen yang signifikan,” kata Josua.
Achmad Zaky saat ditemui Kompas, Rabu (5/6/2024), mengatakan, pihaknya sekarang lebih suka membimbing para start up muda.