Mengapa Ekonomi Gig Perlu Diatur di Indonesia?
Mereka bekerja bak karyawan kantoran, tetapi tidak mendapat gaji bulanan. Pekerja gig rentan dieksploitasi.
Apa yang bisa Anda pelajari dari artikel ini?
- Apa itu ekonomi gig?
- Bagaimana ekonomi gig bekerja?
- Apa dampak ekonomi gig bagi pekerja?
- Seperti apa respons pemerintah?
- Bagaimana keinginan pekerja gig?
Apa itu ekonomi gig?
Mengutip dari berbagai sumber, gig merupakan bahasa slang yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi manggung untuk para musisi di pentas panggung. Dalam Oxford English Dictionary, gig diistilahkan sebagai pertunjukan singkat bagi musisi jazz atau penari latar pertunjukan musik.
Dikaitkan dengan ekonomi, Organisasi Buruh Internasional (ILO) menuliskan dalam laman resminya, ekonomi gig muncul akibat, salah satunya, dari transformasi digital di dunia kerja. Pekerjaan dialihdayakan secara terbuka kepada banyak orang yang tersebar secara geografis. Pemberi kerja dan pekerja, atau yang kerap disebut sebagai mitra, tidak bertemu tatap muka secara langsung. Komunikasi kerja dilakukan lewat aplikasi sebuah platform digital.
Sementara itu, BBC menyebut ekonomi gig sebagai pasar tenaga kerja yang ditandai sifat pekerjaan dalam jangka pendek atau pekerjaan lepas. Contoh pekerjaan dalam ekonomi gig, atau disebut sebagai pekerja gig, adalah pengemudi angkutan secara daring, kurir lepas, atau jasa lain berbasis aplikasi platform digital.
Baca juga: Ekonomi ”Gig” dan Bom Waktu Ketenagakerjaan
Bagaimana ekonomi gig bekerja?
Pekerja gig tidak diikat melalui kontrak kerja formal. Pekerja gig kerap disebut sebagai mitra, bukan karyawan. Oleh karena itu, mereka tidak mendapat upah bulanan atau gaji. Penghasilan yang mereka terima berdasarkan volume pekerjaan yang mereka lakukan. Di hari itu mereka bekerja, maka upah diperoleh berdasarkan seberapa banyak yang sudah mereka kerjakan pada hari tersebut.
Sebaliknya, apabila mereka sakit atau tidak bekerja, tidak akan ada upah atau penghasilan yang didapat. Di sinilah kerentanan pekerja gig meski model pekerjaan ini dikemas dengan istilah ”fleksibilitas”. Tak ada kepastian kerja, upah, dan perlindungan jaminan sosial lain.
Baca juga: Menyelami Suka Duka Pekerja Informal
Apa dampak ekonomi gig bagi pekerja?
Lantaran tidak diikat dalam kontrak kerja formal, pekerja gig tidak dilindungi oleh hukum ketenagakerjaan. Posisi mereka lemah dihadapkan dengan perusahaan pengelola platform digital. Tiadanya hukum yang melindungi pekerja gig, mereka amat rentan dieksploitasi.
Yang kerap mengemuka menjadi perbincangan publik adalah saat menjelang hari raya Lebaran. Seperti halnya diatur oleh pemerintah, perusahaan diwajibkan memberi tunjangan hari raya (THR) keagamaan kepada pekerja atau karyawannya. Namun, hak istimewa itu tidak diperoleh pekerja gig lantaran mereka bukan karyawan, melainkan mitra. Setiap menjelang hari raya Idul Fitri, isu ini selalu mencuat dan memicu polemik.
Seperti apa respons pemerintah?
Meski sudah bermasalah sejak lama, fenomena yang dialami pekerja gig terbilang lamban direspons pemerintah. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan, masih dalam rencana untuk menyiapkan regulasi khusus setingkat peraturan menteri yang mengatur hubungan kerja kemitraan. Isi regulasi khusus ini menurut rencana meliputi ketegasan pekerja dalam hubungan kemitraan menjadi peserta jaminan sosial, kesetaraan upah, serta kesehatan dan keselamatan kerja.
Hal itu disampaikan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah seusai rapat kerja bersama Komisi IX DPR, Selasa (26/3/2024), di Jakarta. ”Dalam rapat kerja tadi, salah satu keputusan Komisi IX DPR RI ialah mendorong kami menyiapkan regulasi perlindungan sosial bagi pekerja dalam hubungan kemitraan, termasuk pemberian THR bagi mereka. Dorongan ini bersifat eksplisit,” katanya.
Baca juga: Menanti Janji Regulasi Perlindungan Pekerja Gig
Bagaimana keinginan pekerja gig?
Menurut Ketua Umum Asosiasi Rumah Berdaya Pengemudi Indonesia Ika Rostianti, pihaknya sejak lama berharap pemerintah mengatur ketegasan nasib orang -orang yang bekerja dengan status mitra bagi perusahaan, seperti mitra pengemudi perusahaan platform ride hailing dan kurir logistik. Kendati disebut sebagai mitra, orang-orang yang bekerja dengan status mitra umumnya bekerja bak karyawan (Kompas.id, 26/3/2024).
Sementara itu, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Parahyangan, Indrasari Tjandraningsih, berpendapat, kemitraan merupakan hubungan bisnis sehingga semestinya bukan urusan Kementerian Ketenagakerjaan mengatur isu ketenagakerjaannya. Kecuali pemerintah menghapus istilah kemitraan dan menggantinya dengan istilah hubungan kerja sektor jasa daring antara pengemudi dan perusahaan platform digital.
Baca juga: Kemenaker Siapkan Regulasi Khusus Hubungan Kerja Kemitraan