Pengembangan Panas Bumi di Indonesia Perlu Terobosan
Panas bumi memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan jenis energi terbarukan lain.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Besarnya risiko yang dihadapi pengembang membuat pengembangan energi panas bumi di Indonesia berjalan lambat, yakni hanya 10,3 persen dari potensi yang mencapai 23.765 megawatt. Pengamat menilai perlu ada terobosan kebijakan dari para pemangku kepentingan. Dengan demikian, porsi pemanfaatan panas bumi diharapkan kian besar serta mendukung target emisi nol bersih atau net zero emission pada 2060.
Laporan ReforMiner Institute menyebutkan potensi sumber daya panas bumi Indonesia sebesar 23.765,5 megawatt (MW) setara 40 persen total potensi panas bumi global. Namun, sejak mulai diusahakan pada 1980-an hingga akhir 2024, total kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) baru sekitar 10,3 persen dari total potensi sumber daya yang ada di Indonesia.
Padahal, jika dioptimalkan, panas bumi memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan energi terbarukan lain, di antaranya tidak bergantung pada cuaca, produksi energi yang lebih besar, tingkat kapasitas lebih tinggi, dan prioritas untuk kepentingan domestik karena tidak bisa diekspor. Apabila seluruh potensi panas bumi dioptimalkan, ada potensi penurunan emisi gas rumah kaca sekitar 182,32 juta ton karbon dioksida (CO2) ekuivalen.
Namun, sejauh ini panas bumi belum menjadi prioritas dalam sejumlah kebijakan yang ada, seperti dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) 2021-2030. Dalam KEN, pembangkit energi terbarukan difokuskan pada pembangkit bioenergi, pembangkit listrik tenaga air (PLTA), dan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
”Berdasarkan review, terdapat sejumlah risiko yang harus dihadapi pengembang dalam pengusahaan panas bumi, di antaranya risiko kegagalan eksplorasi, risiko finansial akibat tata waktu dan struktur pasar, hambatan regulasi dan tata kelola, serta kebutuhan modal awal yang cukup besar,” kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, Kamis (13/6/2024).
Di samping itu, lanjut Komaidi, durasi pengembangan PLTP juga relatif lama dibandingkan pembangkit energi terbarukan lain. Kemudian, secara geografis, sumber daya panas bumi terletak di daerah terpencil sehingga ada kendala dalam aksesibilitas. Kendala-kendala tersebut pun menjadi penyebab harga jual listrik panas bumi di Indonesia masih relatif mahal.
Melihat deretan potensi, manfaat, dan tantangan panas bumi tersebut, ReforMiner menilai perlu ada formulasi dalam membuat terobosan kebijakan oleh para pemangku kepentingan (stakehoder) pengambil kebijakan. ”Kenya, Eslandia, dan Filipina telah terbukti bisa meningkatkan pengusahaan dan pemanfaatan panas bumi. Pelajaran bisa diambil dari negara-negara itu untuk pengembangan di Indonesia,” katanya.
Mengutip laporan The Guardian, Kamis (25/1/2024), 91 persen bauran ketenagalistrikan di Kenya ditopang oleh energi terbarukan, yang mencakup 47 persen panas bumi, 30 persen air, 12 persen angin, dan 2 persen tenaga surya. Mereka menargetkan kelistrikan sepenuhnya berbasis energi terbarukan pada 2030. Adapun pengembangan masif panas bumi tak terlepas dari krisis minyak yang terjadi pada 1970-an.
Adapun dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2019-2038, porsi PLTP pada 2038 ditargetkan sebesar 17.000 MW atau sebesar 6 persen jika tanpa konservasi serta 11.000 MW atau sebesar 5 persen jika dengan konservasi. Pada tahun tersebut, ditargetkan pembangkit listrik tenaga gas/gas uap/mesin gas paling dominan, diikuti pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan PLTA.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Eniya Listiani Dewi mengatakan, pemerintah tengah menyiapkan revisi RUKN. Salah satu poin penting dalam revisi adalah akan ada peningkatan target penambahan porsi PLTP meskipun ia belum menyebutkannya secara rinci.
”Geotermal (panas bumi) akan ditambah dan solar PV (PLTS) jadi sedikit berkurang. Kemudian, kami menemukan bahwa isu sosial menjadi poin penting sehingga saya ungkapkan ke industri agar sama-sama mengatasi masalah sosial. Sebab, sering ada pernyataan kalau ada drilling (pengeboran) geotermal itu merusak lingkungan, airnya berkurang. Ini yang terus didorong agar ada keterlibatan masyarakat dalam drilling,” ucapnya.