Dampak Pengalihan Dana Muhammadiyah dari BSI
Penarikan dana oleh PP Muhammadiyah dari BSI tidak hanya berdampak terhadap likuiditas, tetapi juga kepercayaan publik.
JAKARTA, KOMPAS — Keputusan penarikan dana Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengalihkan dana simpanannya dari PT Bank Syariah Indonesia (Persero) Tbk atau BSI ke bank lain akan berdampak bagi likuiditas perusahaan. Meski dampaknya tidak signifikan, perseroan diharapkan terus meningkatkan kualitas pelayanan demi menjaga tingkat kepercayaan publik.
Pengamat perbankan sekaligus dosen Binus University, Moch Doddy Ariefianto, menilai, likuiditas BSI akan terdampak akibat keputusan pengalihan dana simpanan oleh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Namun, rasio pembiayaan terhadap simpanan atau financing to deposit ratio (FDR) BSI masih memadai, yakni sebesar 83,05 persen pada triwulan I-2024.
”Kalau likuiditas, BSI masih bisa meng-handle. Dia tidak sendiri, bisa meminjam dari bank lain dan bisa juga mengambil dana dari nasabah bank lain dengan memberikan kompensasi return yang lebih tinggi dan perbankan tidak dalam kondisi likuiditas ketat,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (9/6/2024).
Baca juga: Saham BSI Lebih Terdampak Suku Bunga Tinggi daripada Penarikan Dana Muhammadiyah
Adapun dana pihak ketiga (DPK) BSI per April 2024 mencapai Rp 293,25 triliun atau tumbuh 9,41 persen secara tahunan. Menurut Doddy, besaran dana PP Muhammadiyah dibandingkan dengan total DPK BSI baru mencapai 3-4 persen sehingga tidak berdampak signifikan.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah Redjalam berpendapat, penarikan dana secara tiba-tiba oleh nasabah dengan nilai simpanan besar merupakan sebuah pukulan telak bagi bank. Ini karena perbankan tidak serta-merta memiliki dana dalam jumlah besar yang senantiasa siap sedia diambil sewaktu-waktu.
”Uangnya sudah mengalir menjadi kredit. Jadi, ada nasabah yang begitu besar dananya ditarik itu pasti akan menekan likuiditas bank. Walaupun kondisi likuiditas BSI masih cukup, tentu akan memberikan tekanan baru, dari yang sebelumnya longgar menjadi tidak lagi longgar. Akan tetapi, ini belum menyebabkan kondisi yang membahayakan bank,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta.
Adapun tekanan terhadap likuiditas tersebut bukan hal yang bagus dan dapat menimbulkan masalah baru bagi BSI. Oleh sebab itu, BSI perlu mencari jalan tengah mengingat PP Muhammadiyah merupakan organisasi Muslim dengan sistem pengelolaan keuangan terbesar dengan berbagai lini usahanya dan terpusat.
Bagi bank-bank syariah lain, ini adalah sebuah kesempatan.
Menurut Piter, pengalihan dana dari berbagai lini usaha PP Muhammadiyah, seperti rumah sakit dan universitas, akan berdampak besar bagi BSI. Di sisi lain, keputusan tersebut juga akan memberikan kesempatan bagi bank-bank syariah lainnya.
”Bagi bank-bank syariah lain, ini adalah sebuah kesempatan. Mereka bisa memberikan layanan yang lebih baik atau setidak-tidaknya sama baiknya dengan layanan yang diberikan BSI sehingga keputusan dari PP Muhammadiyah tidak bersifat temporer. Dengan layanan yang lebih baik, keputusan keluar dari BSI bisa berkelanjutan,” papar Piter.
Ia menambahkan, fenomena ini sekaligus menunjukkan keringnya likuiditas di dalam negeri. Hal ini, antara lain, ditunjukkan dengan adanya sebutan nasabah prioritas dengan nominal simpanan yang besar. Artinya, ada perebutan dana masyarakat oleh perbankan.
Baca juga: Dana Muhammadiyah dan Dominasi BSI di Perbankan Syariah
Selain itu, tingginya tingkat suku bunga juga menunjukkan kondisi kelangkaan likuiditas. Apabila likuiditas berlimpah, suku bunga sebagai sebuah harga yang digunakan untuk mengukur likuiditas akan rendah. ”Keberadaan nasabah prioritas adalah cerminan bahwa likuiditas di negeri ini kering sehingga mereka yang memiliki likuiditas, yang punya uang, dijadikan raja atau diprioritaskan,” kata Piter.
Perbaikan layanan
Anggota Komisi VI DPR, Amin Ak, menyebut, penarikan dana PP Muhammadiyah dari BSI yang diperkirakan senilai Rp 13 triliun-Rp 15 triliun merupakan perkara serius. Sebab, hal itu dapat mengganggu likuiditas perseroan.
”Penjelasan dari Muhammadiyah sifatnya mendinginkan masyarakat, tetapi saya yakin masalahnya bukan itu. Masalah intinya bukan, menurut saya, mungkin jajaran manajemen BSI lebih mempertimbangkan banyak aspek politik daripada bisnisnya,” katanya saat rapat kerja Komisi VI DPR dengan Menteri BUMN di Jakarta secara hibrida, Jumat (7/6/2024).
Dalam hal ini, BSI tidak memberikan pelayanan yang memuaskan terhadap nasabah yang dana simpanannya mencapai triliunan rupiah. Oleh sebab itu, kinerja manajemen perlu dievaluasi mengingat kasus viralnya BSI pernah terjadi pada tahun lalu terkait dengan dugaan serangan siber.
Amin menambahkan, evaluasi kinerja manajemen BSI penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat. Sebagai bank yang melayani umat, BSI harus dapat memberikan layanan yang tidak hanya sesuai dengan prinsip syariah, tetapi juga andal dan efisien.
Gangguan layanan yang terjadi menunjukkan adanya kelemahan dalam manajemen operasional dan infrastruktur teknologi informasi harus segera ditangani. Sebab, kepercayaan nasabah akan tergerus apabila layanan perbankan kerap terganggu.
Baca juga: BSI Temukan Indikasi Serangan Siber
Dominasi BSI
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Anwar Abbas, saat dihubungi dari Jakarta, mengonfirmasi keterangannya terkait dengan pengalihan dana PP Muhammadiyah dari BSI. Keputusan ini diambil sebagai dukungan bagi perbankan syariah agar dapat berkontribusi bagi terciptanya persaingan yang sehat di antara perbankan syariah.
”Muhammadiyah merasa perlu menata banyak hal tentang masalah keuangannya, termasuk dalam hal yang terkait dengan dunia perbankan, terutama menyangkut tentang penempatan dana dan juga pembiayaan yang diterimanya,” katanya dalam keterangan resmi, Kamis (6/6/2024).
Menurut dia, penempatan dana Muhammadiyah terlalu banyak berada di BSI sehingga secara bisnis dapat menimbulkan risiko konsentrasi (concentration risk). Di sisi lain, bank syariah lain masih sedikit sehingga tidak bisa berkompetisi dengan margin yang ditawarkan oleh BSI, baik dalam hal yang berhubungan dengan penempatan dana maupun pembiayaan.
”Apabila hal ini terus berlangsung, tentu persaingan di antara perbankan syariah yang ada tidak akan sehat dan itu tentu jelas tidak kita inginkan,” ujarnya.
Data Statistik Perbankan Syariah Otoritas Jasa Keuangan menunjukkan, total pembiayaan oleh 14 bank umum syariah pada triwulan I-2024 mencapai Rp 370,18 triliun dengan total DPK sebesar Rp 675,98 triliun. Sementara itu, total aset bank umum syariah mencapai Rp 603,78 triliun.
Dari data tersebut, porsi pembiayaan dan aset BSI mencapai lebih separuh dari total perbankan syariah, masing-masing sebesar Rp 247 triliun dan Rp 358 triliun. Adapun porsi penghimpunan DPK yang sebesar Rp 297 triliun hampir mencapai separuh dari total DPK perbankan syariah.
Menanggapi pengalihan dana dan instruksi Amal Usaha Muhammadiyah oleh PP Muhammadiyah, SVP Corporate Secretary and Communication BSI Wisnu Sunandar mengatakan, BSI berkomitmen untuk selalu melayani dan mengembangkan ekonomi umat. Hal ini, antara lain, dilakukan melalui kolaborasi dengan mitra strategis dan seluruh pemangku kepentingan dalam mendorong ekonomi dan keuangan syariah untuk kemaslahatan bangsa.
Selain itu, BSI terus berkomitmen untuk memberikan layanan kepada seluruh lini masyarakat, baik institusi maupun perorangan, guna meningkatkan inklusi dan penetrasi keuangan syariah. Beberapa mitra BSI adalah PP Muhammadiyah, Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera), dan Perum Pembangunan Perumahan Nasional (Perumnas) terkait penyaluran pembiayaan kepemilikan rumah bersubsidi KPR Sejahtera FLPP kepada pegawai di lingkungan Amal Usaha Muhammadiyah.
”Terkait pengalihan dana oleh PP Muhammadiyah, BSI berkomitmen untuk terus menjadi mitra strategis dan siap berkolaborasi dengan seluruh stakeholder dalam upaya mengembangkan berbagai sektor ekonomi umat. Terlebih bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang merupakan tulang punggung ekonomi bangsa," tutur Wisnu dalam keterangannya, Rabu (5/6/2024).
Baca juga: Merger Bank Muamalat dan BTN Syariah Perkuat Struktur Perbankan Syariah Nasional