Pekerja dan Pengusaha Ragu Hak Cuti Maternitas 6 Bulan Terlaksana Optimal
Belum semua perusahaan di Indonesia mampu jika diwajibkan memberikan cuti maternitas 14 minggu atau sekitar 6 bulan.
JAKARTA, KOMPAS — Kelompok pekerja dan pengusaha ragu ketentuan hak cuti melahirkan selama 3 bulan dan tambahan 3 bulan yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak atau RUU KIA pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan bisa terlaksana optimal.
Aktivis buruh, Kokom Komalawati, saat dihubungi, berpendapat, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan RUU KIA karena tidak ada substansi yang benar-benar menggebrak. Ketentuan cuti melahirkan bagi ibu pekerja yang disebut 3 bulan dalam RUU KIA sudah ada sebelumnya di UU Ketenagakerjaan. Bedanya, kini ada peluang mendapat tambahan 3 bulan lagi. Itu pun memakai syarat dan ketentuan yang berlaku.
”Menurut saya malahan bukan UU KIA yang perlu dikhawatirkan pekerja, tetapi UU Cipta Kerja. Sejak UU Cipta Kerja berlaku, kami merasa sistem kerja kontrak dan alih daya semakin terbuka luas sehingga banyak buruh perempuan tidak mendapatkan hak cuti melahirkan. Kalau mengandung dan melahirkan, sejak UU Cipta Kerja, kami mendapati situasi itu malah dimanfaatkan perusahaan untuk segera memutus kontrak,” ujar Kokom, Jumat (7/6/2024), di Jakarta.
Baca juga: Selain Cuti Melahirkan 6 Bulan bagi Ibu Pekerja, Ada Apa Lagi di RUU?
Saat melakukan riset di Sukabumi, Jawa Barat, Kokom menemukan banyak buruh perempuan hamil lalu oleh perusahaan segera diputus kontrak. Di beberapa wilayah di mana industri padat karya berkembang, situasi serupa juga dia temukan.
”Karena status pekerja kontrak atau alih daya marak. Jadi, yang harus dikhawatirkan bukan UU KIA. Sebelum ada UU KIA pun, di sejumlah pabrik sudah ada yang menerapkan kebijakan upah 100 persen bagi ibu pekerja yang cuti melahirkan,” katanya.
Kokom menambahkan, tugas mengawal penegakan hak ibu pekerja melahirkan sebenarnya ada pada pengawas ketenagakerjaan. Namun, selama ini pengawasan baru jalan jika ada laporan pengaduan.
Secara terpisah, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azam berpendapat, ketentuan cuti melahirkan bagi ibu pekerja selama 3 bulan sudah diatur di UU Ketenagakerjaan dan ini sudah ideal. Jika UU KIA mengamanatkan bisa diperpanjang 3 bulan lagi, hal itu kurang pas.
”Bayangkan, jika suatu perusahaan mempunyai karyawan yang mayoritas perempuan,” ujarnya.
Kendati demikian, Bob menegaskan, Apindo tidak anti dengan RUU KIA. Namun, durasi cuti melahirkan bagi ibu pekerja yang bisa diperpanjang 3 bulan semestinya tidak perlu dicantumkan ke regulasi setingkat UU. Menurut dia, cukup di perjanjian kerja bersama antara pekerja dan manajemen.
”Selama ini, praktik perusahaan yang membolehkan tambahan cuti melahirkan sudah ada. Pengusaha pada umumnya menginginkan regulasi (regulasi pemerintah yang fleksibel),” kata Bob.
Baca juga: UU KIA Jangan Beri Beban Tambahan bagi Ibu
Belum signifikan
National Project Officer HIV/AIDS and Care Economy di International Labour Organization (ILO) Indonesia dan Timor Leste, Early Dewi Nuriana, saat dihubungi terpisah, berpendapat, ketentuan mengenai cuti melahirkan bagi ibu pekerja yang tercantum di RUU KIA tidak terlalu signifikan perubahannya karena hanya menyebutkan tambahan 3 bulan apabila terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter. Ketentuan seperti ini dipastikan akan mengalami tantangan yang sama dengan regulasi hak cuti melahirkan yang tercantum di UU Ketenagakerjaan sebanyak 3 bulan.
”Hak cuti melahirkan bagi ibu pekerja yang tiga bulan saja tidak semua bisa menikmati. Tidak ada penegakan hukum,” katanya.
Dari sisi ILO, Konvensi 183 tentang Perlindungan Maternitas menyebutkan standar minimal cuti maternitas wajib adalah 14 minggu. Artinya, apa yang tercantum dalam RUU KIA sebenarnya belum memenuhi standar minimal ILO. Namun, Early bisa memahami mengapa substansi RUU KIA dibuat.
”Belum semua perusahaan di Indonesia mampu jika diwajibkan memberikan cuti maternitas 14 minggu atau sekitar 6 bulan. Apalagi, mereka (perusahaan) yang harus menanggung beban (biaya) sendiri. ILO menyarankan, beban cuti maternitas ataupun cuti paternitas itu ditanggung bersama antara perusahaan, pekerja, dan negara dengan konsep asuransi sosial,” ujar Early.
Namun, di Indonesia, asuransi sosial, yang dalam ini berupa jaminan sosial ketenagakerjaan, juga belum optimal berjalan. Cakupan kepesertaan jaminan sosial ketenagakerjaan belum mencapai 100 persen.
Ketentuan lain yang di RUU KIA yang dia anggap kurang signifikan adalah mengenai suami berhak cuti selama dua hari dan dapat diberikan cuti tambahan paling lama tiga hari berikutnya atau sesuai kesepakatan dengan pemberi kerja. Early mengatakan, idealnya cuti paternitas itu durasinya seimbang dengan cuti maternitas.
Terlepas dari kekurangan itu, Early menilai UU KIA memberikan terobosan lewat ketentuan mandatori pengurusan anak 0–2 tahun serta mandatori fasilitas kesejahteraan pekerja, seperti pojok laktasi, akses day care, dan layanan keluarga berencana. Fasilitas kesejahteraan pekerja tersebut harus disediakan secara kolaborasi antara perusahaan dan pekerja.
Baca juga: Apakah UU KIA Bisa Membuat Pekerja Perempuan Cuti Melahirkan sampai 6 Bulan?
Sementara itu, Kementerian Ketenagakerjaan menegaskan, substansi peraturan yang terkandung dalam RUU KIA pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan tidak bertentangan dengan regulasi ketenagakerjaan, baik Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan maupun UU No 6/2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU.
Penegasan itu disampaikan oleh Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kementerian Ketenagakerjaan Indah Anggoro Putri, Kamis (6/6/2024) malam, di Jakarta. ”Kami telah memastikan bahwa apa yang diatur dalam RUU KIA pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan, terutama menyangkut ketentuan ibu yang bekerja yang melahirkan, menyusui, dan keguguran serta pekerja laki-laki yang istrinya melahirkan atau keguguran, tidak bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan maupun UU Cipta Kerja,” ujarnya.
Sebelumnya, pada Selasa (4/6/2024), DPR menyetujui RUU KIA untuk disahkan menjadi UU. Persetujuan DPR itu dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR yang dipimpin Ketua DPR Puan Maharani di Ruang Sidang Paripurna DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Indah menyampaikan, salah satu ketentuan dalam UU KIA yang berhubungan dengan ketenagkerjaan yaitu cuti melahirkan bagi ibu yang bekerja. Dalam UU itu, setiap ibu yang bekerja berhak mendapatkan cuti melahirkan paling singkat tiga bulan pertama dan paling lama 3 bulan berikutnya apabila terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
Hak cuti melahirkan bagi ibu pekerja yang tiga bulan saja tidak semua bisa menikmati. Tidak ada penegakan hukum.
Selama masa cuti tersebut, dia mengatakan, para ibu bekerja itu berhak atas upah yang dibayar penuh untuk tiga bulan pertama dan bulan keempat, kemudian 75 persen dari upah untuk bulan kelima dan bulan keenam. Selain itu, mereka yang mengambil cuti tersebut tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya dan tetap memperoleh haknya sesuai dengan ketentuan aturan-aturan ketenagakerjaan.
”Ketentuan mengenai cuti melahirkan bagi ibu yang bekerja yang diatur dalam UU KIA merupakan bentuk penguatan dari ketentuan yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja,” ujar Indah.
Ketentuan penting lainnya yang diatur dalam UU KIA adalah hak suami untuk cuti pendampingan istri pada masa persalinan, yaitu selama 2 hari dan dapat diberikan paling lama 3 hari berikutnya atau sesuai dengan kesepakatan.
Selanjutnya, ada ketentuan bagi ibu yang bekerja yang melahirkan berhak waktu istirahat 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter, dokter kebidanan dan kandungan, atau bidan jika mengalami keguguran, kesempatan dan fasilitas yang layak untuk pelayanan kesehatan dan gizi, serta melakukan laktasi selama waktu kerja.
”Dengan kata lain, UU KIA mempertegas aspek kesejahteraan pekerja/buruh melalui penyediaan fasilitas kesejahteraan pekerja juga. Perusahaan harus terlibat dengan turut menyediakan,” tuturnya.
Baca juga: Cuti Melahirkan dan Jam Kerja Fleksibel Paling Dibutuhkan Pekerja