Selain isu perang, tantangan teknologi kecerdasan buatan juga akan semakin berpengaruh terhadap pasar kerja.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Organisasi buruh internasional atau ILO memperingatkan berbagai krisis dan tantangan skala global masih akan menyebabkan ketidakpastian pada pasar kerja.
Dalam laporan riset ILO berjudul ”World Employement and Social Outlook: May 2024 Update” yang dirilis akhir Mei 2024, ILO memperkirakan, dalam jangka menengah, situasi pasar kerja masih tidak menentu akibat penyesuaian kebijakan moneter dan fiskal pada skala global. Pasar tenaga kerja selama ini cenderung bereaksi lambat. Oleh karena itu, kebijakan makroekonomi yang restriktif semakin berefek tunda pada pasar tenaga kerja.
Meskipun agregat pertumbuhan ekonomi global masih relatif kuat dan inflasi global agregat menurun, banyak negara yang berada dalam situasi rentan menghadapi berbagai tantangan, seperti konflik, kerawanan pangan, krisis biaya hidup, meningkatnya utang, dan krisis fiskal.
Berdasarkan laporan riset itu, Direktur Jenderal ILO Gilbert F Houngbo mengungkapkan terjadinya ambivalensi terhadap kondisi pasar kerja saat ini. Semua negara, pada tingkat pemulihan yang berbeda-beda, relatif telah kembali ke tingkat aktivitas ekonomi seperti pada periode sebelum pandemi Covid-19. Namun, isu perang dan tantangan teknologi kecerdasan buatan akan semakin berpengaruh terhadap pasar kerja.
Houngbo mengatakan, pada tingkat pemulihan yang berbeda-beda, semua negara relatif telah kembali ke tingkat aktivitas ekonomi seperti pada periode sebelum pandemi Covid-19. ILO, dalam laporan yang sama, memproyeksi tingkat pengangguran global sekitar 4,9 persen pada tahun 2024 dan 2025, turun kecil dari angka 5 persen pada tahun 2023.
Angka tingkat pengangguran global pada 2023 itu juga merupakan revisi dari perkiraan sebelumnya sebesar 5,2 persen. Proyeksi tahun 2023 dibuat pada November 2023.
Tingkat pengangguran yang lebih rendah daripada proyeksi merupakan kontribusi tindakan efektif yang dilakukan bank sentral untuk mengekang inflasi. Diharapkan, inflasi yang terkontrol dapat meringankan daya beli para pekerja yang baru-baru ini terpuruk.
”Pada saat yang sama, sumber ketegangan semakin meningkat. Situasi yang memprihatinkan di Timur Tengah telah menambah krisis yang sudah ada. Konflik-konflik yang mengejutkan di Gaza, Yaman, Sudan, Haiti, Ukraina, dan bagian timur Republik Demokratik Kongo, dan masih banyak lagi masih menjadi masalah besar bagi kemanusiaan dan lebih khusus lagi bagi multilateralisme,” ujarnya dalam pidato sambutan pembukaan Konferensi Perburuhan Internasional (ILC) Ke-112 yang diunggah di laman ILO dan dikutip Kompas, Jumat (7/6/2024).
ILC Ke-112 berlangsung di Geneva, Swiss, pada 3-14 Juni 2024. Konferensi ini dihadiri perwakilan pengusaha, serikat pekerja seluruh dunia, dan pemerintah dari 187 negara anggota ILO.
Menurut Houngbo, konflik tragis yang terjadi saat ini menyebabkan hilangnya nyawa manusia dan sarana penghidupan secara eksponensial. Hal ini membutuhkan perhatian terbesar negara-negara di dunia.
”Konflik harus diakhiri. Saya akan sangat berani untuk menyuarakan hal ini,” ucapnya.
Kecerdasan buatan
Selain itu, tantangan teknologi kecerdasan buatan akan semakin memengaruhi pasar tenaga kerja. Sejauh ini, hasil analisis ILO menunjukkan bahwa sebagian besar profesi dapat ditingkatkan produktivitasnya dengan menggunakan teknologi itu. Hanya saja, di pasar masih akan tetap terjadi dualisme persepsi dan konsekuensi teknologi kecerdasan buatan
”Memanfaatkan peluang yang ditawarkan oleh kecerdasan buatan merupakan suatu alternatif dan bukan ancaman, asalkan negara-negara melakukan investasi besar dalam peningkatan keterampilan, pelatihan kejuruan, perolehan pengetahuan baru, dan pelatihan ulang,” kata Houngbo.
Konflik harus diakhiri.
Tantangan lainnya yang dia sebut adalah kesenjangan pekerja yang tetap besar antara jumlah pekerja dan pengangguran yang menurut proyeksi ILO akan sebesar 402 juta pada tahun 2024. Kendati demikian, angka itu telah menurun dibandingkan dengan tahun 2022 yang mencapai 473 juta.
Di sisi lain, perjuangan melawan lapangan kerja informal tampaknya sudah mulai kehabisan tenaga. Penciptaan lapangan kerja formal tidak mampu mengimbangi peningkatan populasi usia kerja. Jumlah pekerja informal meningkat dari sekitar 1,7 miliar pada tahun 2005 menjadi 2,0 miliar pada tahun 2024.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia Mohammad Faisal, saat dihubungi pada Jumat (7/6/2024) di Jakarta, berpendapat, karakteristik negara berkembang biasanya adalah banyak orang bekerja di sektor informal. Karakteristik ini kerap kali membuat definisi kesenjangan pekerjaan berbeda pada negara satu dengan lainnya.
”Untuk negara-negara yang cenderung mempunyai tingkat informalitas tinggi, seperti Indonesia, definisi kesenjangan pekerjaan seperti yang ILO sampaikan perlu didefinisikan ulang. Banyak angkatan kerja di Indonesia yang tidak bisa bekerja di sektor formal, lalu masuk ke lapangan kerja informal. Mereka ini tidak terhitung menganggur,” ujar Faisal.
Kemudian, pekerja Indonesia yang akhirnya masuk ke lapangan kerja informal harus dilihat keberlanjutan upah layaknya. Tren yang terjadi pascapandemi Covid-19 sampai sekarang, pekerja informal di Indonesia masih lebih tinggi dibanding formal.
Faisal melanjutkan, inflasi umum di Indonesia sudah rendah sehingga semestinya berpotensi mendorong penciptaan lapangan kerja. Akan tetapi, ada inflasi harga-harga barang/jasa yang diatur pemerintah dan sekarang mulai kelihatan naik. Hal ini dipengaruhi pergantian pemerintahan.
”Solusinya, program prioritas di pemerintahan baru harus membawa dampak ke pekerja yang tengah menghadapi harga barang/jasa yang mahal,” katanya.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan, dalam menghadapi tantangan ketenagakerjaan yang terus berubah, Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan keadilan sosial dan kerja layak. Reformasi pasar kerja melalui Undang-Undang Cipta Kerja bertujuan meningkatkan fleksibilitas pasar, menarik investasi, dan menciptakan lebih banyak peluang kerja, tetapi tidak melupakan pelindungan hak-hak pekerja.
”Selain itu, investasi dalam pelatihan vokasi dan pendidikan menjadi prioritas untuk mempersiapkan pekerja menghadapi transformasi digital dan ekonomi hijau. Indonesia juga siap beradaptasi dengan tekanan global, seperti ketegangan geopolitik, persaingan perdagangan, dan perubahan pasar kerja,” ujar Ida.