BPS Kaji Alat Ukur Baru untuk Mendeteksi Kesejahteraan Petani
Badan Pusat Statistik sedang mengkaji Indeks Kesejahteraan Petani guna mengukur tingkat kesejahteraan petani.
Oleh
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO, HENDRIYO WIDI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pusat Statistik menilai nilai tukar petani dan nilai tukar nelayan bukan ukuran yang tepat untuk menggambarkan kesejahteraan petani dan nelayan. Oleh karena itu, Badan Pusat Statistik akan memberikan alternatif pengukuran kesejahteraan petani dengan membuat Indeks Kesejahteraan Petani.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti, Rabu (5/6/2024), mengatakan, pada dasarnya, nilai tukar petani (NTP) dan nilai tukar nelayan (NTN) bukan merupakan ukuran yang tepat untuk menggambarkan tingkat kesejahteraan petani dan nelayan. NTP dan NTN hanya mengukur perubahan harga yang diterima dan yang dibayar petani.
Dengan kata lain, NTP dan NTN tidak mencerminkan kualitas hidup petani yang dipengaruhi berbagai dimensi kehidupan, bukan hanya harga. Oleh karena itu, BPS akan memberikan alternatif pengukuran kesejahteraan petani dengan pendekatan multidimensi melalui Indeks Kesejahteraan Petani (IKP).
”Saat ini, kami tengah mengkaji IKP tersebut. IKP tersebut juga akan menunjukkan kesejahteraan petani di setiap subsektor, seperti tanaman pangan, hortikultura, perkebunan rakyat, serta perikanan budidaya dan tangkap,” ujarnya dalam rapat kerja Komisi XI DPR dengan pemerintah yang digelar secara hibrida di Jakarta.
Pada tahun lalu, BPS telah memulai Survei Kesejahteraan Petani (SKP) 2023. SKP 2023 itu digelar untuk mendapatkan indikator kesejahteraan petani dengan memperlihatkan aspek multidimensi yang mencakup pendapatan dan sumber daya, pendidikan, kesehatan, standar hidup layak, ketahanan pangan dan gizi, serta mitigasi risiko.
Merujuk pada definisi NTP yang disarikan dari laman BPS, NTP adalah perbandingan indeks harga yang diterima petani (It) terhadap indeks harga yang dibayar petani (Ib). NTP merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan/daya beli petani di perdesaan.
NTP juga menunjukkan daya tukar (terms of trade) dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi ataupun untuk biaya produksi.
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP), Khudori, dalam artikelnya di harian Kompas bertajuk ”Mengukur Kesejahteraan Petani” menyebutkan, apabila ditelaah formulanya, NTP hanya membandingkan harga-harga, bukan pendapatan dan biaya hidup petani. NTP tidak menggambarkan nilai kesejahteraan laba bersih usaha tani.
Guna memperoleh ukuran atau indikator yang lebih representatif, seharusnya digunakan formula yang dapat menghitung keuntungan pendapatan dan pengeluaran rumah tangga. Tidak bisa sekadar membandingkan harga-harga komoditas yang dijual dengan harga-harga komoditas yang dibeli petani.
Dalam konteks mengukur capaian target pembangunan kesejahteraan petani dan nelayan, menurut Khudori, lebih masuk akal apabila menggunakan ukuran petani skala kecil sebagai indikatornya. Jika tidak memakai ukuran petani skala kecil, bisa dikembangkan indikator lain, yakni mengkaji ulang cara penghitungan dan penyajian NTP (Kompas, 11/8/2023).
Hasil Sensus Pertanian 2023 Tahap I yang dirilis pada 4 Desember 2023 menunjukkan, jumlah petani gurem di Indonesia bertambah dari 14,25 juta rumah tangga pada 2013 menjadi 16,89 juta rumah tangga pada 2023.
Proporsi rumah tangga atau petani pemilik lahan di bawah 0,5 hektar tersebut terhadap total rumah tangga petani di Indonesia juga meningkat dari 55,33 persen pada 2013 menjadi 60,84 persen pada 2023.