Penerapan Ekonomi Biru Jangan Pinggirkan Masyarakat Lokal
Penerapan ekonomi biru dinilai lebih berpihak pada pemodal.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memasukkan peta jalan ekonomi biru Indonesia dalam visi Indonesia Emas 2045. Adopsi ekonomi biru ditujukan untuk pengelolaan laut dan sumber daya pesisir secara berkelanjutan serta ketahanan pangan. Namun, sejumlah kalangan menilai penerapan ekonomi biru masih rancu dan meminggirkan masyarakat lokal.
Direktur Kelautan dan Perikanan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Rahmat Mulianda mengemukakan, pemerintah telah menyusun peta jalan ekonomi biru Indonesia 2023-2045. Sasaran utama capaian adalah luas kawasan konservasi perairan mencapai 30 persen atau 9,75 juta hektar (ha) pada 2045. Selain itu, peningkatan kontribusi produk domestik bruto (PDB) kemaritiman sebesar 15 persen dan lapangan kerja kemaritiman 12 persen.
Dengan potensi kelautan yang besar, kontribusi ekonomi biru selama ini masih terbatas, termasuk kontribusi PDB kemaritiman. Pada 2021, kontribusi PDB kemaritiman terhadap PDB nasional hanya 7,6 persen, sedangkan pertumbuhan sektor kemaritiman hanya 2,4 persen atau di bawah pertumbuhan ekonomi nasional 3,69 persen.
Menurut Rahmat, kontribusi kelautan yang masih sangat rendah itu memerlukan implementasi ekonomi biru yang lebih selaras agar memperkuat sektor-sektor prioritas yang sudah terbangun, seperti perikanan tangkap dan budidaya, industri manufaktur berbasis kelautan, wisata bahari, serta perdagangan, transportasi, dan logistik maritim.
Selain itu, sektor-sektor potensial bakal didorong, di antaranya energi terbarukan, bioteknologi dan bioekonomi, penelitian dan pendidikan, serta konservasi dan jasa ekosistem laut. Pendayagunaan laut dioptimalkan untuk peningkatan perdagangan dan jasa kemaritiman antarnegara serta ekosistem berkelanjutan.
”Ekonomi biru tidak hanya konteks Indonesia, tetapi juga rujukan global yang menjadi referensi bersama. Indonesia tidak mungkin mengerjakan program pembangunan tanpa kerja sama antarnegara dan mitra,” ujar Rahmat dalam diskusi bedah buku Ekonomi Nusantara Antitesis Ekonomi Biru di Kampus Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin, Serang, Banten.
Kontradiksi
Wakil Rektor Universitas Teknologi Muhammadiyah Jakarta Suhana mengatakan, prinsip ekonomi biru saat ini terkesan hanya jargon. Dalam praktiknya, kebijakan kelautan dan perikanan yang digulirkan lebih banyak menimbulkan kerusakan sumber daya dan terpinggirnya masyarakat di pulau-pulau kecil.
Penerapan ekonomi biru di Indonesia dikhawatirkan mengarah pada tragedi komoditas. Bahan tambang dan sumber daya perikanan dieksploitasi besar-besaran untuk meningkatkan nilai perdagangan dan ekonomi ekspor, tanpa melihat kondisi masyarakat.
Dicontohkan, kebijakan ekspor pasir laut yang dimanipulasi menjadi pengelolaan sedimentasi laut sehingga mengancam ekosistem pesisir. Selain itu, dibukanya ekspor komoditas benih bening lobster yang justru mengancam plasma nutfah. Upaya mengatasi sedimentasi laut seharusnya bukan dengan mengeruk pasir, melainkan membenahi lingkungan sektor hulu yang menjadi sumber sedimentasi.
”Ekonomi biru mengusung keberlanjutan, tetapi yang terjadi eksploitasi yang tidak mencerminkan keberlanjutan. Komoditas dan nilai ekonomi ditingkatkan, tetapi keberlanjutan komoditas tidak diperhatikan,” kata Suhana.
Tokoh masyarakat Pulau Sangiang, Sufyan Tsauri, menyebutkan, jumlah masyarakat penghuni pulau kecil di Laut Sunda itu terus menyusut, yakni dari 220 keluarga kini tinggal menjadi 43 keluarga. Masyarakat kian tergusur seiring rencana salah satu investor asing memprivatisasi pulau tersebut untuk destinasi wisata internasional dan menggusur hampir 90 persen masyarakat lokal.
Ia menilai Pulau Sangiang telah menjadi sumber penghidupan masyarakat, baik untuk menangkap ikan maupun wisata lokal, seperti menyelam, trekking, dan snorkeling. Sebagian masyarakat yang tersisa menolak pindah meski telah diiming-imingi uang oleh oknum.
”Kami tidak mau melepas (pulau) karena tempat penghidupan kami. Jika diambil untuk privat, masyarakat tidak akan bisa lagi masuk ke pulau ini dan tidak bisa lagi menjadi transit nelayan,” katanya.
Pengajar Universitas Trilogi Jakarta, Muhammad Karim, menyampaikan, gagasan ekonomi biru yang pertama kali digulirkan Gunter Pauli, antara lain, mengarah pada 100 inovasi teknologi yang ramah terhadap iklim dan lingkungan serta pemanfaatan sumber daya yang efisien. Dalam praktiknya, konsep ekonomi biru cenderung diterjemahkan dan diadopsi berbeda-beda oleh setiap negara.
Muncul pandangan masyarakat internasional bahwa ekonomi biru bertujuan mengatasi krisis air global serta mewujudkan pembangunan yang inovatif dan pembangunan ekonomi kelautan. Namun, kuatnya hegemoni perusahaan transnasional menyebabkan ekonomi kelautan hanya dikendalikan negara-negara maju ataupun perusahaan transnasional yang mengendalikan bisnis dan bisnis perikanan dunia.
”Konsep ekonomi biru dikawinkan dengan pembangunan kelautan berkelanjutan dan perlindungan ekologi. Akan tetapi, kerap terjadi kontradiksi akibat pemahaman yang berbeda di setiap negara,” kata Karim.
Ia menambahkan, Indonesia telah memiliki kearifan konsep ekonomi nusantara yang lebih aktual diimplementasikan, seperti keterpaduan darat dan laut, kekeluargaan, gotong royong, inovasi, dan kelestarian. Namun, prinsip ekonomi nusantara itu masih kalah populer dibandingkan dengan ekonomi biru.
Rahmat berpendapat, ekonomi biru merupakan bagian dari ekonomi kelautan yang mengedepankan keseimbangan, kesinambungan keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, dan kelayakan ekonomi. Pendekatan ekonomi biru di Indonesia mengadopsi ekonomi global dengan titik berat pada ekonomi kelautan dan pemanfaatan sumber-sumber perikanan laut yang berkelanjutan. Ekonomi biru dinilai dapat diselaraskan dengan ekonomi nusantara.
”Ekonomi biru memerlukan keterlibatan pelaku swasta. Namun, tidak berarti lebih berpihak pada kapitalisme kelautan. Pelaku lokal dan kecil juga perlu didorong berperan optimal dan tidak saling berkompetisi,” kata Rahmat.