77 Persen Calon Haji Sudah Terbang ke Madinah, Hampir Seperempat Terlambat
Sebanyak 166.776 orang calon jemaah haji telah diberangkatkan selama periode 12 Mei hingga 2 Juni 2024.
JAKARTA, KOMPAS — Calon haji Indonesia yang telah diterbangkan ke Arab Saudi mencapai 77 persen. Hampir seperempat di antaranya terlambat.
Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mencatat, 166.776 anggota calon jemaah haji telah diberangkatkan selama periode 12 Mei hingga 2 Juni 2024. Jumlah ini setara dengan 77,2 persen dari total calon jemaah haji 2024 sebagaimana terdata di Kementerian Agama (Kemenag) sebanyak 216.065 orang.
Dari rincian 13 embarkasi, menurut Kemenhub, embarkasi haji Padang, Sumatera Barat, telah memberangkatkan semua jemaahnya sejumlah 6.604 orang. Keberangkatan dari embarkasi Lombok, Nusa Tenggara Barat, mencapai 99,7 persen dan Palembang, Sumatera Selatan, 89,5 persen.
Baca juga: Penerbangan Calon Jemaah Haji Pekan Pertama Alami Keterlambatan
Jemaah terbanyak berasal dari embarkasi Jakarta yang telah memberangkatkan 39.190 orang atau 73,5 persen. Berikutnya adalah embarkasi Surabaya, Jawa Timur, sebanyak 29.283 orang atau 74,7 persen dan embarkasi Solo, Jawa Tengah, 28.433 orang atau 79,2 persen.
”Kami berusaha semaksimal mungkin, makanya kami memastikan juga kendala-kendala yang terjadi pada fase pertama tak terulang pada fase kedua,” ujar Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub Maria Kristi saat dihubungi dari Jakarta, Senin (3/6/2024).
58 penerbangan terlambat
Pemerintah menggandeng PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dan Saudi Arabian Airlines dalam penerbangan haji 2024, berangkat dan pulang. Berdasarkan data terakhir pada Minggu (2/6/2024), rata-rata tingkat ketepatan waktu atau on time performance (OTP) sebesar 86,35 persen.
OTP Garuda Indonesia tercatat 78,17 persen. OTP Saudi Arabian Airlines mencapai 95,92 persen. Kedua maskapai mengalami keterlambatan hingga 58 kali. Total keterlambatan Garuda Indonesia mencapai 50 penerbangan, 41 keterlambatan akibat faktor operasional dan 9 keterlambatan akibat faktor teknis.
Baca juga: Garuda Indonesia Akan Lakukan Inspeksi Berlapis
Sementara Saudi Arabian Airlines mengalami delapan keterlambatan. Sebanyak tujuh keterlambatan akibat faktor operasional dan satu keterlambatan akibat faktor teknis.
”Kami telah melakukan rapat bersama dengan Garuda Indonesia terkait jumlah keterlambatan pada fase pertama ini disebabkan faktor teknis dan operasional. Pihaknya sudah memitigasi dengan menerbangkan calon jemaah haji menggunakan pesawat-pesawat berbadan lebar miliknya,” katanya.
Total keterlambatan Garuda Indonesia mencapai 50 penerbangan.
Juru bicara Kemenhub, Adita Irawati, mengatakan, Kemenhub pada rapat koordinasi sebelumnya meminta agar pengawasan dan kelancaran penerbangan haji 2024 dapat ditingkatkan. Pertemuan yang dipimpin Menhub Budi Karya Sumadi itu dihadiri sejumlah pemangku kepentingan penerbangan haji, di antaranya Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag.
”Tugas kami memastikan keselamatan dan keamanan jemaah haji tetap menjadi prioritas utama sehingga kendala-kendala pada fase pertama tak terulang kembali pada fase kedua mendatang,” ujarnya.
Ketika ditanya mengenai evaluasi penerbangan haji fase pertama, Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan, pihaknya akan fokus pada perbaikan operasional. Target ketepatan waktu maskapai juga diharapkan terus meningkat.
Berdasarkan data Kemenhub, Garuda Indonesia awalnya berencana memanfaatkan 14 pesawat yang terdiri dari 8 sewa dan 6 milik. Namun, beberapa pesawat sewa mengalami kendala teknis. Selanjutnya, Garuda Indonesia menambah 3 unit milik. Saat ini, total pesawat yang beroperasi untuk penerbangan haji sebanyak 17 unit.
Berbeda dengan reguler
Masa penerbangan haji hanya dilakukan setahun sekali. Tantangan yang dihadapi berbeda ketimbang penerbangan reguler. Sebab, ada lebih dari 200.000 orang berangkat serentak.
Menurut Kristi, keberangkatan dan kepulangan jemaah secara serentak dalam jumlah banyak bukan hal yang mudah. Apalagi, banyak anggota jemaah haji berkategori lanjut usia (lansia) sehingga butuh pelayanan yang berbeda ketimbang penerbangan reguler.
”Jangan dikira mengangkut sekian ratus ribu orang itu mudah. Banyak orang yang tak pernah keluar kota sehingga perlu dibimbing. Banyak juga yang lansia,” katanya.
Kristi menambahkan, persoalan teknis dan armada juga menjadi tantangan tersendiri. Semua pesawat yang digunakan Garuda Indonesia disewa dari pihak lain. Sebab, perhelatan haji hanya dilakukan setahun sekali.
Satu armada bermasalah akan berimbas pada rotasi penjadwalan pesawat, termasuk OTP. Alhasil, pesawat-pesawat Garuda Indonesia berbadan besar yang selama ini melayani penerbangan reguler diprioritaskan untuk perjalanan haji.
Pengamat penerbangan, Gatot Rahardjo, berpendapat, keterlambatan penerbangan bisa disebabkan tiga faktor, yaitu operasional, teknis pesawat, dan alam. Tak serta-merta kesalahan hanya dari faktor maskapai.
Baca juga: Layanan Jemaah Haji Mulai Terkonsentrasi di Mekkah
Secara umum, Gatot melanjutkan, kendala penerbangan haji biasanya karena pengaturan navigasi dengan bandara di Arab Saudi. Sebab, banyak pergerakan pesawat dari seluruh dunia, baik datang maupun berangkat secara serentak.
Keterlambatan datang pada satu maskapai akan berpengaruh pada slot-slot pergerakan pesawat selanjutnya. Imbasnya, pergerakan pesawat dari beragam maskapai lain juga bisa terlambat.
”Kalau haji di Arab banyak sekali (pergerakan pesawat) dan tidak hanya dari Indonesia, tetapi juga dari seluruh dunia ke situ semua. Waktunya pun pendek, mungkin hanya sekitar satu bulan,” ujar Gatot.
Di bawah standar
Persoalan performa Garuda Indonesia yang dipermasalahkan bermula dari penerbangan GA-1105 rute Makassar (Sulawesi Selatan) menuju Madinah pada pertengahan Mei 2024. Pesawat B747-400 itu mengangkut 450 penumpang dan 18 awak dari Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, dengan jadwal keberangkatan 15.30 Wita.
Setelah lepas landas, salah satu mesin pesawat mengeluarkan percikan api. Pilot pun memutuskan kembali ke Bandara Sultan Hasanuddin untuk pemeriksaan lebih lanjut. Tak ada korban jiwa dalam kejadian itu. Akhirnya, calon jemaah haji kembali terbang pada pukul 22.02 Wita dengan pesawat pengganti.
Walau terlambat, pilot Garuda Indonesia telah mengikuti prosedur keselamatan. Sebab, penerbangan harus memprioritaskan keselamatan (safety), berlanjut pada keamanan (security), baru diikuti pelayanan (services). Urutan prioritas ini tak bisa ditawar.
Baca juga: 37 WNI Pemalsu Visa Haji Ditangkap, Uang Hilang, Haji Melayang
Ketua Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia Alvin Lie menyayangkan OTP Garuda Indonesia yang rendah, jauh di bawah standar maskapai ini. Taraf keterlambatan lebih berat karena durasi tiap keterlambatan cukup panjang.
Garuda Indonesia menyewa tipe pesawat Boeing (B) 747 seusai keinginan Kemenag agar bisa mengangkut minimal 400 orang. Artinya, menggunakan pesawat tipe lain dengan kapasitas di bawah 400 penumpang berarti jumlah kelompok terbang akan lebih banyak.
Namun, pada umumnya, usia pesawat jenis B747 sudah tua sehingga rentan mengalami gangguan teknis. Pesawat jenis ini juga membutuhkan perawatan lebih dibandingkan dengan pesawat lain, seperti B777. Walau begitu, pesawat-pesawat B747 telah memenuhi standar keselamatan dan kelaikan Kemenhub.
”Belajar dari pengalaman tahun ini, baik Garuda Indonesia, Kemenhub, maupun Kemenag, perlu evaluasi tentang jenis pesawat yang digunakan serta rencana mitigasi jika terjadi masalah teknis,” katanya
Alvin merekomendasikan, penerbangan haji selanjutnya akan lebih baik mengangkut jemaah dengan pesawat B777 atau Airbus A330. Walau kapasitasnya lebih kecil, karena usia pesawat lebih muda, risiko gangguan teknis lebih kecil.
”Memang konsekuensinya, jumlah kloter akan bertambah dan beban kerja Kemenag akan bertambah pula. Pesawat yang lebih muda juga lebih efisien dalam konsumsi bahan bakar sehingga dapat menekan biaya operasi,” ujar Alvin.
Pesawat yang lebih muda juga lebih efisien dalam konsumsi bahan bakar sehingga dapat menekan biaya operasi.
OTP Garuda Indonesia yang saat ini rendah bukan hanya soal masalah teknis pesawat. Ada kelemahan dalam sistem mitigasi internal perusahaan sehingga perlu dievaluasi dan diperbaiki.
Ke depan, Alvin menambahkan, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk membuka tender bagi maskapai-maskapai nasional, baik perusahaan pelat merah maupun swasta. Lion Group, misalnya, juga sudah berpengalaman disewa negara lain untuk mengangkut jemaah haji.