Bursa Efek Indonesia berupaya meningkatkan perlindungan investor dengan memaksa emiten memperbaiki performa usaha.
Oleh
ERIKA KURNIA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bursa Efek Indonesia mengumumkan 41 emiten atau perusahaan tercatat yang terancam dikeluarkan dari bursa. Langkah ini merupakan bagian dari implementasi Peraturan Bursa Nomor I-N tentang Pembatalan Pencatatan dan Pencatatan Kembali.
Sebanyak 41 emiten yang masuk dalam daftar potensi dicoret dari bursa itu, antara lain, adalah PT Waskita Karya Persero Tbk, PT Trikomsel Oke Tbk, PT Mas Murni Indonesia Tbk, PT Multi Agro Gemilang Plantation Tbk, dan PT Trinitan Metals and Minerals Tbk. Seluruh emiten tersebut telah tersuspensi dan masuk dalam papan pemantauan khusus.
Sektor dan umur usaha mereka beragam. Paling muda sekitar lima tahun. Informasi ini bisa diketahui lebih lanjut oleh publik di laman idx.co.id.
Direktur Penilaian Perusahaan Bursa Efek Indonesia (BEI) I Gede Nyoman Yetna pada acara edukasi wartawan secara daring, Senin (3/6/2024), menyatakan, BEI mulai melaksanakan peraturan baru yang dirilis Mei lalu. Aturan yang mengharmonisasi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 3 Tahun 2021 itu mengharuskan BEI mengumumkan emiten berpotensi delisting secara periodik setiap enam bulan sekali, yakni pada Juni dan Desember.
”Penyampaian potensi delisting kepada investor dan emiten secara periodik 6 bulan sekali ini bagian dari proses panjang untuk sampai keputusan delisting. Kami akan beri signaling selama 24 bulan untuk perusahaan memperbaiki kinerjanya,” kata Nyoman.
Bersamaan dengan pengumuman ini, perusahaan tercatat yang telah disuspensi selama tiga bulan berturut-turut wajib menyampaikan keterbukaan informasi kepada publik mengenai rencana pemulihan kondisi perusahaan. Mereka juga wajib menyampaikan informasi secara berkala mengenai realisasi rencana pemulihan kondisi tersebut setiap enam bulan.
Guna memaksa emiten untuk membenahi usaha, aturan OJK saat ini juga meningkatkan biaya bagi emiten yang ingin keluar dari bursa secara sukarela (voluntary delisting). Peningkatan biaya itu dari 2 kali Annual Listing Fee (ALF) menjadi 5 kali.
”Bukan untuk pendapatan bursa, tapi bagaimana bursa memberikan emphasizing agar perusahaan-perusahaan itu menghindari delisting,” lanjut Nyoman.
Sebagai upaya memperbaiki kinerja, emiten berpeluang menambah permodalan dan memperbaiki kinerja saham lewat berbagai aksi korporasi, di antaranyarights issue atau penerbitan saham baru. Data BEI mencatat, sampai 31 Mei 2024, ada 10 perusahaan tercatat yang menerbitkan rights issue dengan total nilai Rp 30,71 triliun.
Head of Retail Research Sinarmas Sekuritas Ike Widiawati pada webinar Market Outlook Mei, Senin (27/5/2024), berpendapat, perusahaan yang terancam delisting bisa menjual saham baru meskipun sulit dilakukan. Pada saat bersamaan, investor harus berhati-hati membaca kemampuan emiten memperbaiki kinerjanya.
Penerbitan saham baru yang tidak berdampak langsung ke kinerja bisa menjadi sentimen negatif di pasar. Hal ini dimungkinkan jika penerbitan saham baru bertujuan untuk membayar utang atau menambah modal yang berpotensi tidak meningkatkan pendapatan perusahaan.
”Penggunaan dana yang tidak berdampak positif pada pendapatan perusahaan harus diantisipasi. Ini akan menimbulkan yang namanya delusi saham,” ujarnya. Oleh karena itu, investor diingatkan agar cermat membaca rencana kerja dan fundamental perusahaan.
Sementara itu, kegiatan rights issue memang tidak dimungkiri bisa menyelamatkan emiten dari ancaman delisting. Hal ini terjadi pada perusahaan BUMN PT Wijaya Karya Persero Tbk (WIKA) yang akhir April lalu bebas dari suspensi sejak Desember 2023.
Pemegang saham berhasil membayar utang Sukuk Mudharabah Berkelanjutan I Wijaya Karya Tahap I Tahun 2020 Seri A yang mencapai Rp 190,34 miliar. Nilai itu terdiri dari pembayaran pokok sukuk sebesar Rp 184 miliar dan kompensasi kerugian akibat keterlambatan pembayaran senilai Rp 6,34 miliar.