Suku Bunga Tinggi, ”Right Issue” Lebih Diminati Emiten untuk Tambah Modal
”Right issue” jadi strategi emiten untuk menambah modal usaha di tengah tren suku bunga tinggi.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penawaran saham baru atau right issue menjadi salah satu strategi minim risiko bagi perusahaan tercatat di bursa untuk menambah modal usaha di tengah suku bunga tinggi. Investor perlu mencermati aksi korporasi ini agar investasi tetap menguntungkan.
Bursa Efek Indonesia (BEI) melaporkan, selama 2024 hingga 17 Mei lalu terdapat delapan perusahaan tercatat atau emiten yang telah menerbitkan right issue senilai Rp 24,17 triliun. BEI juga mencatat, 24 emiten masih antre untuk menerbitkan right issue, yang di antaranya delapan perusahaan sektor barang konsumen non-primer (consumer cyclical) dan 5 perusahaan keuangan.
Juni mendatang, beberapa emiten yang berencana mengajukan right issue, antara lain, ialah PT Vale Indonesia Tbk (INCO) dengan penawaran 603 juta saham, PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA) yang akan mengajukan 10 persen saham baru, dan PT Panca Mitra Multiperdana Tbk (PMMP) yang berencana merilis 905,9 juta right issue.
Emiten yang menerbitkan right issue sepanjang kalender berjalan di 2024 ini nyaris mendekati jumlah perusahaan yang mengemisi saham baru sampai semester pertama tahun 2023. Data BEI mencatat, setidaknya sampai 23 Juni 2023, sebanyak 18 emiten menerbitkan right issue senilai Rp 31,6 triliun.
Praktisi Investasi Pasar Modal, Wahju Rohmanti, saat dihubungi Selasa (28/5/2024), mengatakan,opsi menjual kepemilikan saham menjadi strategi perusahaan tercatat untuk menambah modal usaha selain meminjam dana atau mengeluarkan surat utang atau obligasi, baik konvensional maupun syariah (sukuk). Ia menilai, saat ini, perusahaan cenderung menjual saham lewat right issue dibandingkan dengan menerbitkan obligasi.
Pertimbangan ini tidak lepas dari tren suku bunga tinggi yang berlangsung pascapandemi Covid-19. Fenomena global ini, antara lain, dipengaruhi dinamika perekonomian di Amerika Serikat (AS) yang mengalami kenaikan inflasi sampai di atas 3 persen, lebih tinggi dari tingkat inflasi ideal di 2 persen. Untuk menekan inflasi, bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), terus menaikkan dan menahan suku bunga acuan di level tinggi, dari kisaran 3 persen pada Oktober 2022 ke 5,5 persen hingga bulan Mei 2024.
Bank Indonesia (BI) pun melakukan kebijakan serupa guna mengendalikan pelemahan rupiah imbas penguatan dollar AS. BI secara bertahap menaikkan suku bunga dari 3,75 persen di September 2022 hingga kini tertahan di level 6,25 persen sampai dengan Mei 2024.
Tren ini secara langsung menaikkan imbal hasil surat utang di pasar modal. Imbal hasil surat utang yang tinggi, menurut Wahju, menambah biaya modal yang harus ditanggung korporasi yang menerbitkan surat utang.
”Jika memilih opsi right issue, faktor suku bunga tidak menjadi pertimbangan utama. Investor saham juga lebih mempertimbangkan expected return dari prospek capital gain (kenaikan harga saham) di pasar sekunder di samping faktor fundamental emiten dan dividen. Dalam periode di mana terdapat fluktuasi suku bunga dan terlebih ada potensi kenaikan suku bunga, maka emiten lebih suka mengambil opsi right issue saham,” kata Wahju.
Sejauh ini, korporasi pun tercatat mengemisi obligasi lebih sedikit surat utang. Menurut data PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo), sampai triwulan I-2024, total penerbitan obligasi korporasi mencapai Rp 26,4 triliun dari 23 perusahaan. Realisasi tersebut lebih rendah dibandingkan dengan penerbitan obligasi korporasi di periode sama tahun 2023 yang mencapai Rp 27,5 triliun.
Kepala Divisi Riset Ekonomi Pefindo Suhindarto dalam laporannya menyebut, berkurangnya nilai obligasi pada tiga bulan pertama tahun ini, antara lain, disebabkan penundaan penerbitan obligasi yang semula dijadwalkan pada triwulan pertama 2024.
Head of Retail Research Sinarmas Sekuritas Ike Widiawati dalam webinar Market Outlook Mei, Senin (27/5/2024), berpendapat, penerbitan surat utang guna di tengah suku bunga tinggi menjadi menantang bagi perusahaan meskipun menarik bagi investor karena ada daya tarik imbal hasil tinggi dan tidak fluktuatif seperti saham.
Turunnya suku bunga acuan global yang diprediksi akan terjadi di akhir tahun 2024 atau awal tahun 2025, menurut dia, akan kembali menggairahkan penerbitan obligasi korporasi. ”Mungkin di 2025 atau 2026, penerbitan obligasi akan ramai lagi. Untuk saat ini, perusahaan akan lebih pilih right issue atau justru menahan dulu ekspansi karena biaya (modal perusahaan) tinggi,” ujarnya.
Fundamental perusahaan
Di tengah ketidakpastian ekonomi global karena suku bunga tinggi, investor yang tertarik membeli saham baru lewat penerbitan right issue perusahaan tercatat diharapkan mencermati fundamental emiten terkait.
Wahju menyampaikan, investor dapat memperoleh untung dari pembelian right issue dengan memperhatikan potensi kenaikan harga penjualan dibandingkan dengan harga pembelian. Potensi ini dapat diukur dengan membaca atau menganalisis ekspektasi teknikal dan fundamental perusahaan.
”Misalnya, analisis valuasi harga wajar seperti PER (price earning ratio) dibandingkan dengan PER saham di industri sejenis. Apabila hasil valuasi diperoleh bahwa harga saham saat ini masih unvervalued, maka saham ini layak untuk dikoleksi,” ujarnya.
Ike juga menyarankan agar investor mempelajari tujuan perusahaan dalam menggunakan modal baru dari penerbitan right issue. Aksi korporasi tertentu akan berpengaruh pada sentimen pasar. Sebagai contoh, modal yang diperuntukkan untuk melakukan akuisisi perusahaan bisa meningkatkan harga saham pascapenerbitan right issue.
”Ketika perusahan mau melakukan akuisisi, di mana nantinya akan ada konsolidasi laporan keuangan, yang bisa meningkatkan bottom line (pendapatan) perusahaan sehingga dividen naik, maka ini akan jadi sentimen positif dari kegiatan right issue,” ujarnya.
Sementara itu, penerbitan saham baru yang bertujuan untuk membayar utang atau ekspansi yang berpotensi tidak meningkatkan pendapatan perusahaan cenderung akan menjadi sentimen negatif. ”Penggunaan dana yang tidak berdampak positif pada pendapatan perusahan harus diantisipasi. Ini akan menimbulkan yang namanya dilusi saham,” ucapnya.