Pengembangan Industri Manufaktur Energi Terbarukan Butuh Akselerasi
Kemandirian nasional dalam memproduksi solar photovoltaik mesti didorong.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS menjadi salah satu energi terbarukan yang tengah dipacu dalam rangka memenuhi target-target transisi energi. Namun, penyediaan solar photovoltaik atau solar PV saat ini masih bergantung dari impor. Perlu ada percepatan pengembangan industri manufaktur solar PV dalam negeri agar tercipta nilai tambah hulu ke hilir dalam transisi energi.
Kepala Pusat Penelitian Energi Berkelanjutan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Tri Widjaja, dihubungi Minggu (26/5/2024) mengatakan, saat ini belum ada solar PV yang semua rantai produksinya di dalam negeri, sehingga masih bergantung pada impor, khususnya China. Itu antara lain karena belum adanya produksi silikon kristal, yang mampu mencapai skala keekonomian.
"Kalau kita ingin melepas ketergantungan impor solar PV dari China, maka kita harus mengembangkan penelitian pembuatan silikon kristal, untuk kemudian membangun pabrik solar PV. Saat ini, pembuatan solar PV serta komponen pendukungnya masih dalam tahap prototipe, sehingga dari segi harga dan durability masih kalah dengan produk luar negeri," kata Tri.
Tri, yang juga Guru Besar Departemen Teknik Kimia ITS menambahkan, guna mengakselerasi produk solar PV beserta komponen pendukungnya, dibutuhkan antara lain usaha rintisan dalam bidang tersebut. Dengan demikian, nantinya diharapkan semakin berkembang hingga mencapai skala keekonomian serta bersaing di pasaran.
Peneliti dalam bidang sistem pendinginan panel surya yang juga Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Institut Teknologi Bandung (ITB) Yuli Setyo Indartono menuturkan, kemandirian nasional produksi solar PV mesti didorong. Apabila masih terus bergantung dari produksi luar negeri, ada nilai tambah yang lepas dalam pengembangan energi surya di Indonesia.
"Yang ada saat ini, (komponen) sel surya (Solar PV) diimpor untuk kemudian dirakit menjadi merek lokal. Sementara untuk proyek-proyek besar didatangkan dari luar negeri. Jadi, kemandirian nasional harus diraih bersama untuk memproduksi solar PV. Itu dengan kolaborasi baik pemerintah sebagai regulator, industri, dan para akademisi/peneliti dari perguruan tinggi," ujar Yuli.
Pelibatan peneliti
Saat ini, imbuh Yuli, sekitar 90 persen solar PV yang digunakan di dunia memang berbasis silikon Dalam penerapan teknologi tersebut, China sudah kadung menguasai pasar dunia. Menurutnya, jika ingin menjadi pemain penting dalam industri solar PV ke depan, Indonesia perlu melompat mengembangkan pada panel surya perovskite, yang juga tengah dikembangkan di berbagai negara lain.
"Namun, jika memang mengarah ke solar PV berbasis silikon (pasir silika), para peneliti asal Indonesia harus dilibatkan, serta bukan level operator ke bawah (tetapi di atasnya). Itu bisa dari sejumlah perguruan tinggi maupun Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Hal tersebut penting agar pengayaan intelektual didapatkan oleh para peneliti kita," kata Yuli.
Ia menambahkan, selain perihal produksi dalam negeri, tantangan lain dalam optimalisasi pemanfaatan energi surya ialah masih adanya kelebihan pasokan (over supply) kelistrikan pada sistem Jawa Madura Bali. Di pulau-pulau lain sebenarnya masih membutuhkan pasokan kelistrikan, tetapi terkendala infrastruktur, sehingga pembangunan super grid (jaringan listrik raksasa) bakal memegang peranan penting.
Sebelumnya, pemerintah mengembangkan industri manufaktur solar PV di Batam, Kepulauan Riau. Itu salah satunya memanfaatkan tambang pasir silika. Pada 2023, 6 perusahaan industri hilir panel surya mulai membangun pabrik di Kawasan Industri Wiraraja, Batam, yang dihadiri Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlanggar Hartarto. Nilai investasi 6 perusahaan industri hilir tenaga surya mencapai Rp 12 triliun dan diproyeksikan menyerap 13.000 tenaga kerja. (Kompas.id 6/6/2023)
Sementara itu, menurut laporan Badan Energi Internasional (IEA) kapasitas produksi solar PV saat ini telah memenuhi kebutuhan dalam rangka menuju emisi nol bersih (NZE). Dari hasil analisis diketahui bahwa investasi manufaktur lima teknologi kunci energi bersih yakni solar pv, angin, baterai, electrolysers, dan heat pump sebesar 200 miliar dollar AS pada 2023 atau meningkat 70 persen dari 2022.
Manufaktur energi bersih masih didominasi sedikit kawasan. China misalnya, yang sekarang memegang lebih dari 80 persen kapasitas manufaktur modul solar PV global. Sementara itu, manufaktur sel baterai diperkirakan bisa lebih tersebar dalam akhir dekade ini. Apabila semua proyek terealisasi, Eropa dan AS bisa masing-masing bisa mencapai 15 persen dari kapasitas terpasang global pada 2030.
"Output dari solar PV dan baterai mendorong transisi energi yang ramah lingkungan. Besarnya investasi pada fasilitas-fasilitas baru serta perluasan pabrik akan menjadi momentum pada tahun-tahun mendatang," kata Direktur Eksekutif IEA Fatih Birol, dikutip dari laman IEA.