Ekonomi Biaya Tinggi Berakibat Minimnya Investasi Padat Karya
Fenomena makin menurunnya padat karya ini sudah terjadi 1-2 dekade terakhir. Namun, belum ada gebrakan.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengusaha menilai, salah satu penyebab minimnya lapangan kerja formal yang baru di Tanah Air karena seretnya investasi padat karya yang masuk ke Indonesia. Ini dipicu oleh iklim usaha di Tanah Air yang masih berbiaya tinggi sehingga investor enggan berinvestasi. Walau ada investasi baru yang masuk, itu pun lebih banyak pada sektor padat modal atau teknologi bukan padat karya yang membuka banyak lapangan kerja.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah lapangan kerja formal yang tercipta selama tahun 2009 hingga 2014 menyerap 15,6 juta orang. Lalu, selama 2014-2019, pekerjaan formal yang tercipta sebanyak 8,5 juta orang. Dan, terakhir, selama lima tahun terakhir atau 2019-2024, pekerjaan formal yang berhasil diciptakan hanya menyerap 2 juta orang.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azzam mengatakan, lebih sedikitnya lapangan kerja formal yang baru saat ini dibandingkan 5-10 tahun lalu karena seretnya investasi sektor padat karya. ”Padahal, kita membutuhkan banyak investasi baru di sektor manufaktur padat karya yang bisa memberikan lapangan kerja lebih luas dan banyak,” ujarnya, Senin (20/5/2024).
Menurut Bob, fenomena makin menurunnya padat karya ini sudah terjadi menahun, sejak 1-2 dekade terakhir. Namun, belum terlihat gebrakan kebijakan yang signifikan untuk mengurai masalah ini.
Menurut Bob, menurunnya investasi baru di sektor padat karya ini lantaran ongkos berusaha di Indonesia semakin mahal. Kebijakan upah terus terkerek naik dengan formula yang kerap berganti. Ketidakpastian ini membuat investor baru sektor padat karya jadi enggan berinvestasi.
Anak muda
Hal inilah, lanjut Bob, yang menyebabkan banyak anak muda angkatan kerja baru yang termasuk dalam generasi Z sulit mendapatkan pekerjaan. Ketika mereka hendak masuk ke dunia kerja, lapangan kerja formal lebih sedikit dibandingkan sebelumnya.
Hasil olah data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS Agustus 2022 menunjukkan, persentase lulusan perguruan tinggi yang langsung bekerja di sektor formal turun menjadi 47,2 persen dari total lulusan dibandingkan dengan 55,5 persen pada tahun 2017.
Semestinya negara lebih protektif pada industri padat karya karena punya kontribusi besar terhadap penyerapan tenaga kerja dan perekonomian.
Penurunan ini juga terjadi di semua jenjang pendidikan. Pada 2022, dari 7,1 juta lulusan, hanya 967.806 orang (13,6 persen) yang diterima di sektor formal: perguruan tinggi (7,4 persen), SMA/sederajat (5,8 persen), dan SD/SMP (0,4 persen).
Pada 2017, dari 5,8 juta lulusan, sebanyak 1,2 juta orang (21,9 persen) diterima di sektor formal: perguruan tinggi 12 persen, SMA/sederajat 9,2 persen, dan SD/SMP 0,8 persen.
Head of Center of Industry, Trade, and Investment di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho mengatakan, pemerintah semestinya bisa memberi perhatian lebih pada industri padat karya yang bisa menyerap lapangan kerja lebih banyak.
Menurut dia, pemerintah tidak perlu banyak mengeluarkan aturan yang justru membelit industri. Pemerintah semestinya hadir memberikan dukungan nyata, misalnya berupa subsidi untuk revitalisasi industri ataupun mendorong pengembangan kapasitas industri.
Saat ini memang industri padat karya tertekan dari berbagai arah. Beban produksi industri sepatu meningkat dipicu oleh kenaikan upah buruh. Mengingat industri ini padat karya, kenaikan upah buruh langsung bisa mengerek beban produksi.
Depresiasi nilai tukar rupiah juga membuat harga bahan baku naik. Sebab, industri ini masih banyak perlu impor bahan baku. Ongkos energi juga sempat menanjak karena ketegangan geopolitik Israel melawan Iran.
Belakangan, lanjut Andry, industri alas kaki juga tertekan akibat aturan larangan terbatas (lartas) yang menyulitkan industri ini mendapatkan bahan baku. Hal ini mengganggu proses produksi sehingga para pembeli malah kabur karena adanya ketidakpastian.
”Semestinya negara lebih protektif pada industri padat karya karena punya kontribusi besar terhadap penyerapan tenaga kerja dan perekonomian,” ujar Andry.