Pengusaha Bus Belum Tersentuh dalam Kasus Kecelakaan Subang
Tidak hanya sopir yang salah, tetapi juga harus ada pihak lain yang turut bertanggung jawab.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sejauh ini hanya mempersalahkan sopir kendaraan sebagai pihak yang bertanggung jawab pada kecelakaan. Pihak pengusaha belum terseret dalam kasus pidana.
Dalam Bab XX Ketentuan Pidana UU tersebut, hampir seluruh pasal mengacu pada pengemudi atau orang yang menjadi penyebab kecelakaan. Pada Pasal 310, misalnya, tertulis bahwa setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka dan kerusakan kendaraan serta barang diganjar pidana. Bentuknya berupa kurungan mulai 6 bulan hingga 12 tahun serta denda Rp 1 juta sampai Rp 24 juta, bergantung fatalitas serta jenis perbuatannya.
Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran) Deddy Herlambang, Kamis (16/5/2024), mengatakan UU No 22/2009 lemah lantaran menekankan pengemudi atau sopir yang menjadi sumber masalah. Undang-undang belum menyentuh pengusaha yang diduga lalai menangani kendaraan.
Deddy menyampaikan hal itu menanggapi penetapan sopir busTrans Putera Fajar yang menjadi tersangka mengalami kecelakaan di Subang, Jawa Barat, akhir pekan lalu tanpa mengusik pengusahanya, Sebanyak 11 orang meninggal dalam kecelakaan itu.
Padahal, data Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menunjukkan, bus Trans Putera Fajar tak tercatat dalam aplikasi Mitra Darat. Aplikasi itu merupakan platform multilayanan berisi beragam informasi satu pintu terkait dengan pengawasan, perizinan, dan pengoperasian bidang transportasi darat.
Bus Trans Putera Fajar juga diduga tak mengantongi izin angkutan. Status lulus uji berkala (BLU-e) hanya berlaku hingga 6 Desember 2023. Artinya, kendaraan ini tak dilakukan uji berkala perpanjangan tiap enam bulan sekali sebagaimana ketentuan berlaku. Bus juga diduga sudah dimodifikasi. Saat kecelakaan terjadi, rem bus diduga juga blong. Penyidikan Kepolisian Polda Jawa Barat tidak menemukan jejak rem bus di lokasi kendaraan.
Deddy menyampaikan, sopir itu buruh. Pasti apa pun kendaraannya, dia akan jalankan. Pihaknya menyesalkan polisi yang menetapkan sopir sebagai tersangka dengan alasan sopir tahu bahwa rem tak berfungsi. ”Harus ada keadilan antara sopir dan pengusaha,” ujar Deddy.
Regulasi yang lemah ini juga mempersulit pemerintah untuk mengenakan sanksi kepada pihak-pihak yang tak terlibat langsung dalam kecelakaan, tetapi ikut memiliki andil pada tragedi lalu.
Solusi untuk mencegah kejadian berulang harus dilakukan. Deddy berpendapat, solusi tercepat yang bisa dilakukan saat ini adalah mempersuasi masyarakat untuk lebih menyadari pentingnya mengecek bus yang akan disewa. Masyarakat harus ikut mengecek, jangan hanya berpangku tangan dan memasrahkan penyewaan hanya pada pihak tertentu, seperti pihak sekolah, dalam konteks ini.
Semua yang terlibat dalam peristiwa kecelakaan lalu lintas, seperti di Subang, akan kita periksa.
Konsumen harus mengecak kondisi bus pada Sistem Perizinan OnlineAngkutan Darat dan Multimoda (Spionam) dan Mitra Darat. Kedua platform besutan Kementerian Perhubungan itu bisa mengecek riwayat uji kir dan keabsahan kualitas armada hanya bermodalkan nomor polisi kendaraan.
”Bisa dicek kendaraan valid atau bodong. Kalau bodong, bisa dibatalkan,” ujarnya.
Ia menambahkan, masyarakat sebagai penyewa jangan tergiur tarif bus termurah, apalagi jika harga ditawarkan setengah dari tarif pasaran, dia memastikan armada pasti bermasalah. ”Itu kendaraan lama, tidak aman. Jangan terjebak bus tampilan baru, tapi ternyata seperti kejadian ini, bus masih badan atau rangka lama, mesin bermasalah,” katanya. Masyarakat dituntut lebih kritis.
Dalam jangka panjang, lanjut Deddy, UU No 22/2009 perlu direvisi. Lemahnya regulasi itu cenderung menyudutkan satu pihak saja, terutama pengemudi. Padahal, ada campur tangan perusahaan dalam tiap peristiwa. Ia berharap revisi UU ini bisa menyeret pengusaha pada ranah kelalaian.
Sebelumnya, lanjut Deddy, revisi UU itu sempat berproses pada 2019, tetapi terhenti karena pandemi Covid-19. Deddy berharap, kecelakaan Subang mendorong parlemen baru, khususnya Komisi V, kembali membahasnya.
Sementara itu, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) bersama Korps Lalu Lintas (Korlantas) Kepolisian RI akan mengevaluasi dan meningkatkan unsur keselamatan bus pascakecelakaan di Subang. Penegakan hukum dan pengetatan prosedur akan dilakukan lebih tegas demi memberi jera kepada para pelanggar aturan.
”Bukan saja sopir yang salah, tetapi harus ada pihak lain yang turut bertanggung jawab,” ujar Menhub Budi Karya Sumadi pada Rabu (15/5/2024).
Sebagai upaya sistematis dan terukur, Kemenhub bersama Korlantas Polri dan pemangku kebijakan terkait akan membentuk proyek percontohan untuk mendata, mengevaluasi, serta menyosialisasikan keselamatan bus pariwisata dan bus umum, termasuk prosedur uji kelaikan atau ramp check. di enam provinsi. Program akan dilakukan di enam provinsi, yakni Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara.
Budi melanjutkan, pihaknya akan melaksanakan program tersebut dengan Korlantas Polri, Dinas Perhubungan, serta Organisasi Angkutan Darat (Organda). Upaya ini juga didukung Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang berada hingga tingkat provinsi.
Semua yang terlibat dalam peristiwa kecelakaan lalu lintas, seperti di Subang, akan kami periksa.
Kepala Korlantas Polri Inspektur Jenderal Aan Suhanan mengatakan, para pakar telah memberi banyak masukan dan rekomendasi guna meningkatkan keselamatan bus umum dan bus pariwisata. Sesuai dengan masukan para pakar, penyelidikan kecelakaan bus pariwisata akan dilakukan teliti dan penuh kehati-hatian.
”Semua yang terlibat dalam peristiwa kecelakaan lalu lintas, seperti di Subang, akan kami periksa. Artinya, (yang diperiksa) si pengusaha hingga perusahaan karoseri karena ada indikasi perubahan bentuk dimensi dari deck biasa menjadi high deck, itu juga kemungkinan ada pasalnya serta akan diterapkan pada kasus tersebut,” tuturnya.
Pemeriksaan akan menggandeng instansi-instansi di daerah, antara lain Direktorat Lalu Lintas dan stakeholder perhubungan setingkat kota/kabupaten hingga provinsi. Hal ini berlaku bagi bus pariwisata dan umum.
”Mulai dari hulu atau mulai dari pulbus yang ada di kota/kabupaten sampai dengan ke hilir, artinya penegakan hukum di jalan. Ini akan kami lakukan secara bersama-sama. Di luar enam provinsi tadi, juga akan kami lakukan di seluruh Indonesia,” kata Aan.
Sebelumnya, bus Trans Putera Fajar yang mengangkut rombongan murid Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Lingga Kencana Depok mengalami kecelakaan di Ciater, Subang, Jawa Barat, pada Sabtu (11/5/2024). Total ada 64 korban dengan 11 orang di antaranya meninggal dunia.
Direktur Lalu Lintas Polda Jabar Komisaris Besar Wibowo menetapkan sopir bus, Sadira (51), sebagai tersangka kecelakaan. Keputusan ini ditetapkan setelah pemeriksaan terhadap 13 saksi dan kondisi fisik bus Trans Putera Fajar. Sadira dikenai pelanggaran Pasal 311 Ayat 5 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Kompas.id, 15/5/2024).