Revolusi Teknologi, Transisi Energi, dan Perubahan Demografi Pengaruhi Permintaan Kerja
Kolaborasi bipartit antara serikat pekerja dan manajemen perusahaan penting untuk menyikapi fenomena perubahan industri.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Revolusi teknologi, transisi energi, dan perubahan demografi berdampak pada permintaan keterampilan di pasar kerja. Para pekerja diharapkan selalu adaptif dan mempelajari keahlian baru sejalan dengan perubahan industri.
”Seorang pekerja bisa saja lulus dari kampus ternama atau sudah mengantongi keahlian utama dari salah satu lembaga pendidikan. Namun, saya rasa hal seperti itu tidak akan berdampak signifikan. Pekerja harus tetap menjaga dirinya relevan di tengah pasar kerja yang berubah karena fenomena revolusi teknologi, transisi energi, dan perubahan demografi,” ujar Project Technical Officer, Skills Development, and Responsible Business Conduct di International Labour Organization (ILO) Gizem Karsli saat menghadiri acara Dialog Nasional: Strategi untuk Mempromosikan dan Mengembangkan Tenaga Kerja Terampil untuk Rantai Pasokan yang Bertanggung Jawab di Sektor Elektronik, Kamis (16/5/2024), di Jakarta.
Menurut dia, memprioritaskan pembelajaran keterampilan secara berkelanjutan bagi pekerja butuh kerja sama antara serikat pekerja, pemilik industri, dan pemerintah. Pendekatan tripartit seperti itu akan menguntungkan.
Di tingkat perusahaan, pemilik usaha semestinya bisa mendesain program upskilling, reskilling, dan pembelajaran berbasis kerja. Mereka juga perlu menggabungkan program keterampilan dengan upah dan pengembangan karier.
Kemudian, dari sisi lembaga pelatihan dan pendidikan vokasi, Karsli berpendapat, mereka perlu selalu memperbarui kurikulum. Caranya, dengan mengidentifikasi kebutuhan keterampilan terlebih dulu.
”Sepuluh tahun yang lalu, mungkin kita belum membayangkan bagaimana teknologi bisa menciptakan kesenjangan digital. Hanya saja, sejalan dengan pesatnya inovasi digital, kesenjangan akan semakin terasa. Pemerintah harus memastikan tidak ada pekerja yang ketinggalan mengakses fasilitas pelatihan keterampilan baru,” ucapnya.
Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), Jahen Fachrul, mengatakan, operator dan insinyur di industri elektronik pun butuh pelatihan keterampilan yang kontinu. Hal itu terlihat dalam riset ”The Skills Development and Employment Situation In Indonesia’s Electronics Sector: Navigating Technological Changes and Labour Transitions” yang dilakukan LPEM UI atas dukungan ILO dan Pemerintah Jepang.
Pemerintah harus memastikan tidak ada pekerja yang ketinggalan mengakses fasilitas pelatihan keterampilan baru.
Hasil riset yang dilakukan oleh kelima perusahaan di bidang elektronik menunjukkan pekerja operator pabrik elektronik memerlukan, antara lain, kemampuan mengadopsi teknologi digital, mesin yang lebih canggih, dan keterampilan sosial. Sementara insinyur di industri elektronik, mereka membutuhkan pengetahuan teknis mendalam, kemampuan memecahkan masalah, teknologi, serta literasi digital.
”Kedua bidang profesi itu memang memiliki keahlian yang berbeda, tetapi mereka harus bisa bertahan di tengah perubahan industri elektronik,” katanya.
Jahen menyampaikan, sesuai dengan hasil riset yang sama, sebagian besar pekerja di industri elektronik berlatar belakang lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) dan sekolah menengah atas (SMA). Hanya 11 persen dari pekerja yang memiliki pendidikan tinggi.
Hal seperti itu turut memengaruhi performa industri elektronik dalam negeri. Sepanjang tahun 2010–2022, industri elektronik baru menyumbang 1,79 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Industri elektronik yang mencakup, antara lain, komputer, peralatan rumah tangga, dan peralatan listrik berkontribusi sekitar 8,71 persen terhadap total keluaran industri manufaktur nasional.
Sejak tahun 1985, pemerintah terpantau kerap memberikan insentif kepada industri elektronik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Pendidikan Tinggi juga telah meluncurkan kebijakan teaching factory atau model pembelajaran yang mengacu pada prosedur industri. Dari internal perusahaan elektronik, sejumlah perusahaan mau memberikan pelatihan kepada operator dan insinyur di pabrik elektronik.
”Pemerintah cuma perlu menjadi fasilitator antara pekerja dan pengusaha industri elektronik sehingga paham apa saja kebutuhan dan tantangan pelatihan keterampilan. Sebab, bagaimanapun perusahaan elektronik tidak hanya tempat produksi, tetapi juga inovasi,” ucap Jahen.
Direktur Urusan Umum dan Sumber Daya Manusia Grup Logistik PT Panasonic Manufacturing Indonesia Harry Wibowo yang hadir pada acara yang sama, membenarkan, rata-rata industri sekarang meminta pekerja mempunyai keterampilan teknis dan sosial. Pihak Panasonic Manufacturing Indonesia menyediakan fasilitas pelatihan itu untuk pekerja dan peserta magang. Panasonic Manufaturing Indonesia setiap hari Sabtu menggelar sosialisasi budaya kerja, seperti berani mengutarakan kesalahan, cara memberikan instruksi kepada bawahan, dan melaporkan rekan kerja kepada peserta magang.
”Sejak 2009, kami mengikuti arahan pemerintah untuk menyediakan fasilitas magang. Kami juga menyediakan fasilitas teaching factory sesuai dengan kebijakan pemerintah belum lama ini. Kami selalu berprinsip, perusahaan harus berbakti kepada negara,” ujarnya.
Sementara itu, Presiden Federasi Serikat Pekerja Panasonic Gobel Djoko Wahyudi berpendapat, kolaborasi bipartit antara serikat pekerja dan manajemen perusahaan penting dilakukan untuk menyikapi fenomena perubahan industri. Jika kolaborasi berjalan efektif, serikat pekerja dan manajemen perusahaan bisa bersama-sama menyusun program pelatihan keterampilan bagi pekerja yang mendukung tren-tren industri.