Kontribusi Baru 1,45 Persen, Sudah Waktunya Industri Elektronik Punya Lompatan
Agar masuk rantai pasok global, industri harus menaikkan kapasitas bisnis, standar minimum kerja layak, dan pelatihan.
Oleh
MEDIANA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kontribusi industri elektronik terhadap produk domestik bruto baru 1,45 persen. Sekitar 80 persen tenaga kerjanya masih berlatar belakang pendidikan sekolah menengah kejuruan dan sekolah menengah atas. Jika ingin masuk ke rantai pasok global, industri harus meningkatkan kapasitas bisnis, memberikan standar minimum kerja layak, dan mengadakan pelatihan keterampilan bagi tenaga kerjanya.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Digital, Ketenagakerjaan, dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Rudy Salahuddin mengatakan, pada tahun 2022 saja, industri elektronik hanya menyumbang 1,45 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) atau 7,92 persen dari industri manufaktur. Padahal, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional Tahun 2015–2035, subsektor industri elektronik dinyatakan sebagai salah satu industri prioritas nasional, baik dari aspek pengembangan produk rumah cerdas, komponen, maupun semikonduktor.
”Jumlah pekerja subsektor elektronik terhadap total penduduk bekerja juga hanya 0,26 persen atau sekitar 345.000 orang. Hampir 80 persen di antara mereka berlatar belakang pendidikan sekolah menengah kejuruan (SMK) dan sekolah menengah atas (SMA),” ujar Rudy saat memberikan sambutan pembukaan di acara Dialog Nasional: Strategi untuk Mempromosikan dan Mengembangkan Tenaga Kerja Terampil untuk Rantai Pasokan yang Bertanggung Jawab di Sektor Elektronik, Kamis (16/5/2024), di Jakarta.
Dialog nasional ini juga diisi dengan pemaparan hasil riset terkait kondisi pekerja industri elektronik yang dilakukan oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia, Organisasi Buruh Internasional (ILO), dan didukung oleh Pemerintah Jepang.
Rudy yang sudah membaca hasil riset menyampaikan, salah satu temuan riset yang menarik ialah perlunya peningkatan keahlian pekerja subsektor industri elektronik supaya kontribusinya terhadap PDB naik. Dia mengatakan, menanggapi temuan ini, Pemerintah Indonesia sejak dua tahun lalu telah menetapkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 68 tentang Revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi.
”Kami juga mendorong perusahaan-perusahaan elektronik di dalam negeri masuk ke rantai pasok global lewat penerbitan Perpres Nomor Nomor 60 Tahun 2023 tentang Strategi Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia. Jadi, jika ingin masuk ke rantai pasok global, mereka harus meningkatkan kapasitas bisnis, memberikan standar minimum kerja layak, dan pelatihan keterampilan,” ucap Rudy.
Sudah waktunya industri elektronik Indonesia punya lompatan.
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Warsito, dalam sambutan di acara yang sama mempunyai pandangan senada. Produk -produk elektronik selalu memiliki permintaan yang tinggi. Animo industrinya tidak pernah turun di kancah global. Namun, Indonesia masih berhadapan dengan masalah kualitas sumber daya manusia dan riset.
”Sudah waktunya industri elektronik Indonesia punya lompatan. Banyak industri elektronik di negara maju memiliki departemen riset yang besar, bahkan memicu lini perakitannya mengecil. Dalam data kami, 12,54 persen industri elektronik dalam negeri disebut telah memiliki riset dan pengembangan, tetapi ini perlu dicek kebenarannya,” ujarnya.
Warsito menyampaikan, dari sisi perbaikan sumber daya manusia, sejak 2016 Pemerintah Indonesia telah menetapkan supaya SMK terus direvitalisasi. Salah satunya untuk memenuhi apa yang dialami oleh industri elektronik.
”Kalau kami, harapannya adalah seluruh pemangku kepentingan di industri elektronik, baik pelaku industri maupun dunia pendidikan, bersama bergerak memperbaiki kondisi,” ujarnya.
Pemerintah Indonesia perlu berinvestasi pada sumber daya manusia secara menyeluruh, baik hard skill, soft skill, maupun kesehatan dan keselamatan kerja (K3).
Sementara itu, Direktur ILO Simrin C Singh berpendapat, kontribusi sektor manufaktur yang di dalamnya ada industri elektronik terhadap PDB Indonesia baru 21 persen. Ini merupakan angka yang cukup kecil.
”Di tengah tren transformasi digital yang terjadi secara global, industri elektronik memegang peranan penting. Tren itu sekarang membentuk ulang lanskap rantai pasok global. Banyak negara mengupayakan peningkatan keterampilan (reskilling) berkelanjutan bagi tenaga kerjanya supaya bisa ambil peluang ekonomi dari tren tersebut,” ungkapnya.
Menurut Simrin, Pemerintah Indonesia perlu berinvestasi pada sumber daya manusia secara menyeluruh, baik hard skill, soft skill, maupun kesehatan dan keselamatan kerja (K3). Sebab, tanpa investasi K3 yang optimal, produktivitas industri elektronik yang tinggi tidak akan tercapai.