Setelah Pemilu, Ekonomi Terindikasi Tumbuh Melambat
Pertumbuhan ekonomi di beberapa kuartal ke depan kemungkinan berada di bawah 5,1 persen, bahkan bisa di bawah 5 persen.
Oleh
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelemahan daya beli mulai terindikasi terjadi pada awal kuartal II-2024 seiring dengan normalisasi tren konsumsi masyarakat. Kondisi ini diperkirakan bakal membuat prospek ekonomi Indonesia pada beberapa kuartal ke depan tumbuh melambat.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, capaian pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2024 sebesar 5,11 persen secara tahunan terutama ditopang oleh belanja pemerintah dan lembaga nonprofit yang melayani rumah tangga (LNPRT). Akan tetapi, konsumsi rumah tangga dan investasi sebagai kontributor utama pertumbuhan ekonomi tumbuh tidak optimal.
”Dalam kondisi seperti ini, pertumbuhan ekonomi pada kuartal II, kuartal III, dan kuartal IV 2024 kemungkinan besar akan turun begitu konsumsi pemerintah dan pertumbuhan LNPRT kembali ke posisi normal,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (15/5/2024).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), struktur produk domestik bruto menurut pengeluarannya pada kuartal I-2024 didominasi oleh konsumsi rumah tangga dengan porsi 54,9 persen dan diikuti oleh komponen pembentukan modal tetap bruto sebesar 29,31 persen. Kedua komponen tersebut masing-masing tumbuh lebih rendah dari capaian pertumbuhan ekonomi, yakni sebesar 4,91 persen dan 3,79 persen.
Sebaliknya, konsumsi pemerintah dan LNPRT yang kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi di bawah 10 persen justru mampu tumbuh melesat hingga dua digit, yakni masing-masing sebesar 19,9 persen dan 24,29 persen. Padahal, dalam kondisi normal, kedua komponen tersebut hanya tumbuh satu digit.
Dorongan dari dua komponen tersebut pada gilirannya membuat sektor riil menggeliat. Hal ini tecermin Indeks Penjualan Sektor Riil (IPR) selama kuartal I-2024 tumbuh 5,6 persen secara tahunan atau lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu mencapai 1,6 persen.
”Tumbuhnya pada kuartal I-2024 lebih tinggi dibandingkan tahun lalu. Ini kontras karena ada faktor dorongan dari pemilu sehingga tinggi sekali IPR-nya,” kata Faisal.
Prospek ekonomi ke depan masih ada jalan terjal menuju pemulihan ekonomi.
Namun, kondisi tersebut berbanding terbalik saat ada momentum Lebaran. Pada April 2024, IPR hanya mampu tumbuh 0,1 persen secara tahunan atau lebih rendah dibandingkan April 2023 yang tumbuh 1,5 persen secara tahunan.
Apabila dirinci, pertumbuhan positif penjualan eceran hanya terjadi pada kelompok suku cadang dan aksesori serta kelompok makanan, minuman, dan tembakau. Di sisi lain, kelompok barang budaya dan kelompok sandang mencatatkan pertumbuhan negatif paling besar, masing-masing 16,6 persen dan 16,64 persen. Padahal, pada April 2023, kedua kelompok ini mencatatkan pertumbuhan positif sebesar 9,9 persen dan 17,6 persen.
Faisal menambahkan, indikator tersebut memperkuat proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal selanjutnya yang kemungkinan berada di bawah 5,1 persen, bahkan bisa juga di bawah 5 persen dengan pertumbuhan lebih rendah pada kuartal III-2024. Secara keseluruhan, CORE memperkirakan, pertumbuhan ekonomi selama 2024 berkisar 4,9-5 persen.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menuturkan hal senada. Daya beli masyarakat diperkirakan menurun. Hal ini dipengaruhi oleh dua faktor utama, yakni peningkatan harga-harga kebutuhan domestik dan global.
Salah satu faktor dari domestik adalah rencana penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen. Setelah diterapkan, PPN 12 persen akan mengakibatkan biaya produksi dan konsumsi meningkat sehingga berpengaruh terhadap daya beli masyarakat. Lebih jauh lagi, kondisi ini berpotensi akan menghambat pemulihan ekonomi.
”Prospek ekonomi ke depan masih ada jalan terjal menuju pemulihan ekonomi,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta.
Berdasarkan data Mandiri Spending Index, belanja masyarakat pada kuartal I-2024 masih menunjukkan tren positif, yakni berada di level 206,7. Capaian ini lebih tinggi dibandingkan kuartal IV-2023 yang sebesar 199,1 dan kuartal I-2023 yang sebesar 146,9.
Secara keseluruhan, porsi belanja per Mei 2024 masih sama seperti saat Ramadhan dan Lebaran, yakni belanja kebutuhan sehari-hari. Porsi belanja tersebut mencapai 48 persen dari total alokasi belanja masyarakat.
Namun, pertumbuhan nilai belanja masyarakat setelah Lebaran 2024 lebih rendah dibandingkan periode setelah Lebaran 2023. Pada 2024, nilai belanja per kapita setelah Lebaran tumbuh 0,6 persen secara tahunan, sedangkan nilai belanja per kapita setelah Lebaran pada 2023 tumbuh 3,5 persen secara tahunan.
Head of Mandiri Institute Teguh Yudo Wicaksono mengatakan, mulai terjadi normalisasi belanja masyarakat setelah Lebaran. Berdasarkan kategorinya, belanja kebutuhan sehari-hari (consumer goods) melambat lebih dalam dibandingkan kelompok lain, terutama pada subkelompok belanja supermarket dan terkait fashion.
”Dalam minggu-minggu terakhir memasuki awal Mei, consumer goods mengalami normalisasi atau penurunan. Namun, menariknya, belanja barang-barang elektronik selama Ramadhan dan Idul Fitri meningkat. Selain itu, belanja terkait leisure juga masih meningkat,” katanya.
Kendati belanja kebutuhan sehari-hari dan belanja sandang ternormalisasi lebih dalam, subkelompok restoran dan ritel relatif stabil. Kedua sektor cenderung tetap stabil itu umumnya merupakan belanja secara daring.
Di sisi lain, terdapat beberapa subkelompok belanja yang justru mengalami peningkatan setelah Lebaran. Subsektor tersebut meliputi bahan bakar minyak, pesawat udara, hotel, serta entertainment.