Sri Mulyani Kirim ”Pesan Singkat” untuk Pemerintahan Prabowo
Menteri Keuangan Sri Mulyani secara tak langsung ”menitipkan” agenda reformasi struktural pada pemerintahan Prabowo.
Oleh
AGNES THEODORA, ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengangkat agenda reformasi struktural yang mesti berlanjut setiap transisi pemerintahan. Disampaikan pada acara Fitch on Indonesia bertema ”Post Election Political and Economic Paths” di Jakarta, Rabu (15/5/2024), sambutan ini menjadi semacam pesan teknokratis secara tidak langsung bagi pemerintahan Prabowo Subianto.
”Dengan begitu, kita akan terus memastikan bahwa arah kebijakan yang sangat fundamental bagi Indonesia, yaitu investasi di bidang SDM, hilirisasi untuk menciptakan nilai tambah, investasi infrastruktur untuk efisiensi dan produktivitas, serta pembangunan institusi yang tepercaya, akan terus menjadi tema utama dari arah kebijakan pemerintah,” kata Sri Mulyani.
Sehubungan dengan itu, Sri Mulyani juga menyinggung anggaran negara sebagai salah satu instrumen utama pemerintah dalam menjalankan kebijakan. Ia mengatakan, pengelolaan anggaran bukan perkara mudah di tengah kondisi dunia yang sangat menantang dan kondisi pasar keuangan global yang semakin bergejolak akibat pengetatan moneter oleh Amerika Serikat dan perang di Rusia-Ukraina dan Timur Tengah.
Indonesia sudah empat kali melewati transisi pemerintahan pascareformasi. Kita sudah punya tradisi transisi yang relatif bisa kita lalui secara beradab.
Oleh sebab itu, disiplin fiskal tetap menjadi perhatian dalam penyusunan APBN transisi yang kini dikoordinasikan pemerintahan Joko Widodo dengan presiden terpilih.
”Indonesia sudah empat kali melewati transisi pemerintahan pascareformasi. Kita sudah punya tradisi transisi yang relatif bisa kita lalui secara beradab. Memastikan proses ini tetap beradab sangat penting karena negara lain dengan sistem demokrasi tertua pun bisa tidak beradab dalam proses transisi pemerintahannya,” kata Sri Mulyani.
Defisit melebar
Head of Asia-Pacific Sovereigns Fitch Ratings Thomas Rookmaaker mengatakan, Indonesia selama ini memiliki rekam jejak kredibilitas fiskal yang baik. Meski defisit sempat melebar hingga 6,14 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2020 akibat pandemi Covid-19, konsolidasi bisa cepat dilakukan hingga angkanya turun lagi ke 1,65 persen pada 2023.
Akan tetapi, Fitch melihat jejak disiplin fiskal itu berpotensi berubah signifikan di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto yang akan resmi menjabat mulai 20 Oktober 2024. Lembaga pemeringkat utang itu mengingatkan risiko yang akan dihadapi pemerintah jika defisit anggaran melebar mendekati batas aman.
”Ada sejumlah janji kampanye yang akan membuat pemerintahan baru ini menghabiskan belanja yang lebih tinggi, salah satunya untuk program makan siang gratis,” kata Thomas di sela-sela acara Fitch on Indonesia Conference.
Fitch melihat jejak disiplin fiskal itu berpotensi berubah signifikan di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto yang akan resmi menjabat mulai 20 Oktober 2024.
Dari sisi regulasi, untuk menjaga tata kelola keuangan negara yang tertib, Undang-Undang Keuangan Negara telah mengatur ”batas aman” untuk defisit fiskal adalah 3 persen terhadap PDB. Sementara batas untuk rasio utang pemerintah adalah 60 persen terhadap PDB.
Fitch menilai, kebutuhan belanja yang lebih tinggi berpotensi membuat defisit di era Prabowo melebar sampai nyaris menyentuh batas aman 3 persen, setidaknya 2,9 persen terhadap PDB. Tanda-tanda pelebaran defisit itu juga sudah tampak dalam dokumen Rencana Kerja Pemerintah 2025 yang menargetkan defisit di kisaran 2,45-2,8 persen terhadap PDB untuk 2025.
”Ini tentu berisiko membuat rasio utang pemerintah terhadap PDB meningkat ketimbang turun. Dampaknya bisa negatif dari sisi peringkat utang Indonesia ke depan,” ujarnya.
Tanda-tanda pelebaran defisit itu juga sudah tampak dalam dokumen Rencana Kerja Pemerintah 2025 yang menargetkan defisit di kisaran 2,45-2,8 persen terhadap PDB untuk 2025.
Sejauh ini, peringkat utang Indonesia di mata investor masih stabil. Terakhir, pada 15 Maret 2024 pascapemilihan umum, Fitch Ratings tetap mengafirmasi peringkat utang Indonesia di kategori ”BBB” dengan proyeksi atau outlook ”stabil”.
Peringkat utang yang stabil itu menjadi modal kuat bagi Indonesia dalam menjaga stabilitas ekonominya di tengah gejolak global selama ini. Lewat peringkat utang yang baik, pemerintah lebih mudah mengakses pendanaan internasional dan menarik arus investasi yang dibutuhkan untuk membiayai pembangunan.
Risiko jangka menengah
Namun, arah kebijakan fiskal jangka menengah yang tidak pasti pascatransisi pemerintahan dikhawatirkan bisa menggerus kepercayaan investor asing terhadap kondisi fundamental ekonomi Indonesia. Pada akhirnya, itu bisa merugikan perekonomian Indonesia.
Menurut Thomas, satu-satunya cara untuk mengelola risiko tersebut adalah menaikkan penerimaan pajak. Akan tetapi, ia ragu hal itu bisa diwujudkan dalam waktu cepat sebagaimana janji kampanye Prabowo.
”Untuk menjaga kepercayaan pasar dan peringkat utang, cara terbaik adalah menaikkan penerimaan. Pertanyaannya, apakah itu bisa dilakukan dalam waktu yang sangat singkat? Reformasi untuk menaikkan penerimaan itu butuh waktu, tidak mungkin dalam semalam. Belum lagi memastikan implementasinya dan menjamin kepatuhan wajib pajak,” katanya.
Mesti produktif
Ekonom Senior UOB, Enrico Tanuwidjaja, menilai, pelebaran defisit anggaran dan arah kebijakan yang lebih ekspansif tidak bisa dihindari. Titik pertaruhan ke depan adalah memastikan defisit dan utang itu dilebarkan untuk belanja yang benar-benar produktif dan prioritas, bukan untuk belanja konsumtif.
Ia menilai, Pemerintah Indonesia semestinya bisa menyesuaikan kebijakan defisit fiskal untuk memenuhi kebutuhan anggaran pembangunan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen.
”Banyak sekali, kan, prioritas belanja yang penting, tetapi tidak bisa terjadi karena ada limit defisit 3 persen di undang-undang. Jadi, (pelebaran defisit) sesuatu yang bisa di-consider. Meski butuh perubahan undang-undang, kita perlu lebih reformatif, terutama untuk mendorong PDB kita bertumbuh lebih tinggi lagi,” katanya kepada Kompas.
Secara rata-rata selama lima tahun defisit bisa dijaga di 3 persen.
Ia berpendapat, agar disiplin fiskal tetap terjaga, pelebaran defisit itu bisa dilakukan secara bertahap. Misalnya, pelebaran yang signifikan dilakukan melebihi 3 persen di beberapa tahun awal. Kemudian, disiplin fiskal kembali diperketat setelah pertumbuhan ekonomi sudah naik signifikan.
Dalam simulasi yang dibuat UOB, Indonesia setidaknya dapat melebarkan defisitnya sampai di atas 5 persen terhadap PDB pada tahun-tahun pertama rezim Prabowo jika ingin mendorong pertumbuhan di tengah arus penerimaan yang moderat dan kebutuhan belanja yang meningkat.
”Jadi, di awal tahun kita bisa minus 6 persen, minus 5 persen. Tetapi, setelahnya kita bahkan bisa defisit nol persen dan secara rata-rata selama lima tahun defisit bisa dijaga di 3 persen. Jadi, bukan berarti setiap tahun defisitnya mesti 3 persen,” kata Enrico.
Ia menilai, pelebaran defisit dan penambahan proporsi utang terhadap PDB ini masih sangat mungkin diisi oleh pembiayaan eksternal. Ruang untuk meningkatkan pembiayaan masih terbuka lebar karena rasio utang Indonesia terbilang masih jauh lebih rendah dibandingkan negara berkembang lainnya.
”Tentu rasio utang akan membengkak. Tetapi, kalau kita berkaca dari pengalaman Covid-19, ketika kita ’tancap gas’ dalam belanja, rasio utang naik sampai 40 persen (masih di bawah batas aman 60 persen terhadap PDB). Jadi, ada ruang gerak sebenarnya untuk meningkatkan pembiayaan secara eksternal,” ujarnya.