Peluang Kerja di Negara ”Menua”, TKI Harus Berketerampilan Tinggi
Pemerintah Indonesia harus memastikan mereka memiliki keterampilan dan keahlian sebelum ditempatkan.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tenaga kerja Indonesia memiliki peluang mengisi kekurangan pekerja usia produktif di negara-negara yang kini memasuki populasi penduduk usia tua. Namun, Pemerintah Indonesia harus memastikan mereka memiliki keterampilan dan keahlian sebelum ditempatkan.
”Saya rasa Indonesia perlu meningkatkan lebih banyak pusat-pusat pelatihan keterampilan formal (profesional). Skema registrasi pelatihat hingga sertifikasi keahlian harus jelas sumber dana dan bagaimana pekerja memperolehnya. Dengan demikian, mereka (para pekerja) bisa meraih pengalaman kerja yang lebih baik di negara penempatan,” ujar Direktur Organisasi Buruh Internasional (ILO) untuk Indonesia dan Timor Leste Simrin Singh di sela-sela peluncuran program Protect, Selasa (14/5/2024), di Jakarta.
Program Protect merupakan hasil kerja sama Uni Eropa, ILO, dan Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC). Program berdurasi tiga tahun ini akan mempromosikan pekerjaan yang layak dan mengurangi kerentanan pekerja migran perempuan dan anak-anak.
Simrin memandang, peran perjanjian kerja sama bilateral antara Indonesia sebagai negara pengirim dan penerima amat penting dalam urusan penempatan pekerja migran Indonesia untuk mengisi kekurangan pekerja usia produktif di negara-negara yang sedang mengalami populasi penduduk usia tua. Dengan perjanjian kerja sama bilateral, negara pengirim dipastikan harus mengirim pekerja sesuai kualifikasi keterampilan dan keahlian, sedangkan negara penerima diwajibkan menerimanya dan memberikan perlindungan kerja yang tinggi.
”Lalu, lewat perjanjian pula bisa diatur bagaimana transfer pengetahuan terjadi dan bagaimana pekerja migran Indonesia yang sudah pulang bisa bekerja lagi dengan keterampilan ataupun keahlian yang dimiliki selama bekerja di negara penempatan. Tentunya, hal ini harus dibicarakan dengan pelaku industri dalam negeri,” katanya.
Lebih jauh, Simrin mengingatkan, meski tenaga kerja Indonesia mempunya peluang mengisi kekurangan pekerja usia produktif di negara-negara yang sudah mengalami populasi penduduk usia tua, Pemerintah Indonesia juga harus menyadari Indonesa juga sedang mengalami penuaan.
Berdasarkan hasil proyeksi penduduk Indonesia 2020–2050 yang dilakukan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, proporsi jumlah penduduk Indonesia berusia 65 tahun ke atas naik dari 6,16 persen pada 2020 menjadi 14,61 persen pada 2045.
Sementara itu, proporsi penduduk usia 0–14 tahun turun dari 24,56 persen pada tahun 2020 menjadi 19,61 persen pada 2045. Adapun proporsi penduduk usia 15-64 tahun turun dari 69,28 persen pada 2020 menjadi 65,79 persen pada 2045. Angka ini diperoleh dari hasil perhitungan proyeksi penduduk memakai skenario tren atau business as usual, alias tanpa ada intervensi kebijakan.
Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam Denis Chaibi, yang hadir pada acara tersebut, mengatakan, Uni Eropa sekarang sudah menjadi negara berpopulasi penduduk usia tua. ”Akibatnya, kesenjangan jumlah penduduk usia produktif dan lanjut usia sehingga menyebabkan kekurangan jumlah tenaga kerja usia produktif di pasar,” ujarnya.
Kondisi seperti itu, lanjut Denis, membuat Uni Eropa membutuhkan pekerja migran. Secara jumlah, porsi pekerja migran legal dari Indonesia sudah mencapai 3,7 juta orang pada tahun 2022. Jumlah ini telah menyalip jumlah pekerja migran yang berada di Amerika Serikat.
”Jumlah pekerja migran legal di Uni Eropa sudah 1 juta lebih banyak dibanding di Amerika Serikat,” katanya.
Untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja usia produktif, pemerintah Uni Eropa memiliki kebijakan Blue Card. Kebijakan ini memberikan kesempatan bagi pekerja luar Uni Eropa memiliki hak untuk tinggal dan bekerja di negara - negara Uni Eropa asalkan mereka memiliki kualifikasi profesional yang lebih tinggi. Misalnya, gelar universitas dan kontrak kerja atau tawaran pekerjaan yang mengikat setidaknya untuk satu negara dengan gaji yang tinggi.
Jumlah pekerja migran legal di Uni Eropa sudah 1 juta lebih banyak dibanding di Amerika Serikat.
”Kebijakan Blue Card ekuivalen dengan Green Card dari Pemerintah Amerika Serikat. Dalam sepuluh tahun terakhir, negara-negara Uni Eropa juga intens membuat aturan dan kebijakan yang lebih baik (untuk pekerja migran legal),” ucapnya.
Menurut dia, pekerja migran dari Indonesia tidak mendominasi di Uni Eropa. Kebanyakan pekerja migran Indonesia bekerja di Asia dan Timur Tengah.
Sesuai data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) sepanjang Januari - April 2024, jumlah penempatan pekerja migran Indonesia ke sektor formal mencapai 54.351 orang dan informal 55.392 orang. Pekerja migran Indonesia tersebut menyebar di kawasan Asia dan Afrika (103.234 orang), Eropa dan Timur Tengah (6.029 orang), serta Amerika dan Pasifik (480 orang).
Data per Maret 2024, secara khusus, menyebutkan, penempatan pekerja migran Indonesia menggunakan skema privat ke privat mencapai 81,92 persen, sedangkan memakai skema pemerintah ke pemerintah hanya sebesar 3 persen.
Jepang
Indonesia sejauh ini baru menempatkan pekerja migran Indonesia menggunakan skema pemerintah ke pemerintah dengan negara Jepang, Korea Selatan, dan Jerman.
Khusus ke Jepang yang saat ini negaranya sudah tergolong berpopulasi penduduk tua, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menyampaikan, kerja sama antara Indonesia dan Jepang terwujud antara lain dalam bentuk program pemagangan melalui skema Technical Intern Training Program (TITP). Skema ini telah berjalan sejak 1993 dan Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) yang berlaku efektif sejak 1 Juli 2008. Selain itu, Indonesia dan Jepang juga memiliki jalinan kerja sama penempatan tenaga kerja dalam program Specified Skill Workers (SSW).
Ida, dalam sambutannya di acara peluncuran program Protect, mengakui bahwa secara umum penempatan pekerja migran Indonesia berhadapan dengan tantangan keterampilan. Sebagai gambaran, sekitar 50 persen dari perempuan pekerja migran Indonesia merupakan lulusan sekolah menengah atas. Mereka berkontribusi signifikan pada penempatan pekerja rumah tangga migran.
Selain itu, penempatan pekerja migran Indonesia secara umum juga masih berhadapan dengan isu eksploitasi pekerja di negara penempatan. Ida mengatakan, pemerintah Indonesia sampai sekarang terus membenahi tata kelola migrasi yang salah satunya melalui implementasi fasilitas layanan terpadu satu atap (LTSA) untuk pengurusan bekerja di luar negeri.