Dibutuhkan insentif yang lebih menarik dari pemerintah agar Indonesia bisa semakin cepat bersaing dengan negara lain.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Industripetrokimia nasional yang belum terintegrasi optimal dan masih bergantung pada bahan baku impor menjadi tantangan sendiri pengembangan sektor ini. Integrasi perlu dilakukan untuk mengoptimalkan besarnya potensi di Indonesia.
Sejumlah tantangan dan tawaran solusi pada industri petrokimia diurai dan diulas dalam National Petrochemical Conference, yang diselenggarakan PT Tuban Petrochemical Industries di Jakarta, Senin (13/5/2024). Hadir dalam acara itu, antara lain, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati.
Agus mengatakan, kapasitas produksi produk petrokimia nasional saat ini untuk olefin dan turunannya sebesar 9,73 ton, aromatik dan turunannya 4,61 juta ton, dan produk C1 (metanol) dan turunannya sebesar 980.000 ton. Padahal, kebutuhan industri petrokimia lebih dari itu.
Oleh karena itu, industri petrokimia didorong berkembang. Tak hanya lewat hilirisasi, tetapi juga huluisasi. ”Hadirnya industri petrokimia hulu baru guna memperkuat pasokan dan meningkatkan daya saing menjadi fokus dan titik berat pemerintah. (Yakni) memaksimalkan nilai tambah dari minyak dan gas bumi, batubara, serta biochemical,” ujarnya.
Salah satu upaya mendorong hal tersebut adalah melalui investasi industri petrokimia. Sejumlah proyek yang saat ini tengah berjalan, di antaranya Lotte Chemical Indonesia, Polypropylene (PP) Balongan, Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) Tuban, Grass Root Refinery (GRR) Tuban, dan Chandra Asri Perkasa 2 (CAP2).
Apabila proyek-proyek tersebut terealisasi, Indonesia akan menjadi negara petrokimia nomor 1 di ASEAN, dengan pemambahan total kapasitas olefin menjadi 7.523 kiloton per tahun (KTA) dan tambahan total kapasitas poliolefin menjadi 7.281 KTA.
Belum terintegrasinya industri petrokimia hulu-hilir, maupun industri pengguna aromatik sehingga menjadi kurang efisien.
Agus mengakui ada sederet tantangan dalam mengembangkan industri petrokimia Indonesia, salah satunya kebutuhan investasi yang besar. Oleh karena dibutuhkan insentif yang lebih menarik dari pemerintah agar Indonesia bisa semakin cepat bersaing dengan negara-negara lain.
”Kemudian (mayoritas) sumber bahan baku masih impor. Bahan baku, seperti nafta, kondensat, dan elpiji harus terus diupayakan agar tersedia di dalam negeri. Juga, belum terintegrasinya industri petrokimia hulu-hilir, maupun industri pengguna aromatik sehingga menjadi kurang efisien,” katanya.
Potensi besar
Nicke mengatakan, industri petrokimia berpotensi besar untuk terus berkembang, termasuk di Indonesia. Pasar ekspor juga menarik untuk terus dikembangkan. Adapun dari sisi suplai, chemical bisa berasal dari petroleum (minyak), gas, biochemical, dan batubara.
”Oleh karena itu, penting bagi seluruh pemangku kepentingan untuk duduk bersama dan membuat perencanaan yang terintegrasi hulu-hilir. Pertamina mengambil posisi sebagai motor karena bisnis kami hulu-hilir dan sekarang kami mengintegrasikan refinery (kilang) dengan petrokimia. Selain itu, kami juga berinvestasi gas to chemical," kata Nicke.
Terkait pembangunan Grass Root Refinery (GRR) Tuban, proyek Pertamina bersama Rosneft, perusahaan migas asal Rusia, Nicke mengatakan, diupayakan terus berjalan meski menantang. ”Masih berjalan dan sekarang di tahap desain. Ada isu geopolitik, tetapi terus kami jalankan saja. Ditargetkan (rampung) 2028. Sebab, ini proyek sangat besar dan akan kami lakukan bertahap," lanjutnya.
Direktur Utama PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Taufik Aditiyawarman mengatakan, dengan adanya integrasi antara green refinery dan petrokimia, nantinya akan dihasilkan bahan baku untuk industri hilir pada petrokimia, seperti paraxylene, polypropylene, polyethylene, dan benzene.
”Ini ada peta jalannya. Nantinya akan menyediakan petrokimia sebesar 7,5 juta ton per tahun, (meningkat) dari saat ini yang 1,9 juta ton per tahun di nasional,” ujar Taufik.
Direktur Pengembangan Bisnis Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Budi Sadiman mengemukakan saat ini permintaan produk hilir, yakni polypropylene dan polyethylene menjadi yang paling tinggi di Tanah Air. Apabila ditotal, keduanya memiliki presentase berkisar 60-63 persen dari total plastik yang dikonsumsi di Indonesia. ”Tingkat pertumbuhan demand atau konsumsi plastik sama dengan pertumbuhan ekonomi atau 1 persen di atasnya,” ucap Budi.
Ia menambahkan, perkembangan produk hilir petrokimia saat ini lebih banyak di bagian barat Indonesia. Potensi besar masih ada di wilayah timur Indonesia.