Penjualan Kendaraan Lesu di Awal 2024, Kendaraan Listrik Pun Tak Mendongkrak
Penjualan kendaraan baru turun pada triwulan I-2024. Daya beli masyarakat melemah.
Oleh
ERIKA KURNIA
·6 menit baca
Industri otomotif menunjukkan penurunan kinerja penjualan kendaraan baru pada tiga bulan pertama 2024. Sementara penjualan kendaraan listrik melonjak hingga ratusan persen. Namun, penjualan kendaraan listrik belum mampu mendongkrak pelemahan industri yang diprediksi masih berlanjut seiring masih melemahnya daya beli dan sentimen suku bunga tinggi.
Penjualan kendaraan roda empat, baik komersial maupun penumpang, secara wholesales (dari pabrik ke distributor) hanya mencapai 215.069 unit pada triwulan I-2024, berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo). Penjualan ini menurun 24 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2023. Sedangkan penjualan sepeda motor secara nasional juga menurun 5 persen menjadi 1.735.000 unit menurut data Kementerian Perindustrian.
Kondisi ini dirasakan langsung oleh beberapa perusahaan tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang telah merilis laporan keuangan triwulan I-2024.
PT Astra International Tbk (ASSI), pada 29 April 2024, mengumumkan penurunan penjualan mobil sebanyak 20 persen menjadi 120.000 unit. Penjualan sepeda motor di anak usaha mereka, PT Astra Honda Motor, juga turun 8 persen menjadi 1.324.000 unit. Laba bersih divisi otomotif Grup Astra pun menurun 9 persen menjadi Rp 2,8 triliun, yang merefleksikan penurunan volume penjualan.
Presiden Direktur Grup Astra Djony Bunarto Tjondro mengatakan, kondisi ini dipengaruhi oleh dinamika perekonomian global dan domestik yang, antara lain, karena menguatkan dollar Amerika Serikat (AS), meningkatkan fluktuasi harga komoditas, hingga menurunkan daya beli masyarakat.
”Penurunan terutama merefleksikan kondisi ekonomi yang melemah, termasuk penurunan harga batubara dari tingkat harga yang tinggi sebelumnya,” ujarnya, dalam siaran pers akhir April lalu.
Emiten produsen komponen otomotif PT Dharma Polimetal Tbk (DRMA) juga turut mengalami kelesuan. Laporan keuangan yang mereka rilis di BEI, 29 April 2024, mencatat bahwa nilai penjualan perseoran turun 7,63 persen menjadi Rp 1,33 triliun dibandingkan dengan periode sama pada 2023 sebesar Rp 1,44 triliun.
Walhasil, laba bersih perusahaan, yang 60 persen ditopang segmen sepeda motor, ikut merosot 38,3 persen secara tahunan menjadi Rp 133,40 miliar dibandingkan triwulan I-2023 yang sebesar Rp 216,05 miliar.
Tidak hanya penjualan kendaraan baru, bisnis kendaraan bekas juga ikut terdampak. Emiten Autopedia Sukses Lestari Tbk (ASLC) mengakui adanya penurunan kontribusi penjualan kendaraan roda empat pada triwulan pertama 2024. Ini terjadi kendati keuangan mereka masih mampu tumbuh positif dengan kenaikan laba bersih dan pendapatan, dari jasa lelang, bisnis gadai, dan penjualan kendaraan itu sendiri.
”Tapi, kontribusi pendapatan penjualan mobil di triwulan pertama 2024 mencapai 66 persen, turun dibandingkan 86 persen di tahun lalu,” ungkap Presiden Direktur Autopedia, Jany Candra, kepada wartawan di Jakarta, Senin (6/5/2024).
Kendaraan listrik
Di sisi lain, sepanjang triwulan I-2024, penjualan kendaraan listrik justru meningkat.
Data yang dirangkum PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia menunjukkan, penjualan kendaraan berbasis baterai listrik (battery electric vehicle/BEV) mencapai 5.919 unit, tumbuh 230 persen dari hanya 1.796 unit di triwulan I-2023. Kendaraan listrik hibrida (hybrid electric vehicle/HEV) juga tumbuh pesat hingga 106 persen dari 6.415 unit menjadi 13.237 unit.
Research Analyst Mirae Asset, Christopher Rusli, mengakui, penjualan kendaraan listrik di Indonesia tengah tumbuh signifikan meski jumlahnya masih sekitar 8 persen total jumlah penjualan kendaraan secara nasional. Di sisi lain, ia memperingatkan perlambatan penjualan yang dapat terjadi beberapa tahun ke depan.
Ada celah yang harus dilewati setiap teknologi untuk menjadi relevan bagi konsumen.
Prediksi itu membaca tren penjualan kendaraan listrik global, khususnya di Amerika Serikat (AS). Pertumbuhan penjualan yang signifikan di Indonesia saat ini, menurut Christopher, persis dengan tren di AS dua tahun lalu. Di negara tersebut, penjualan kendaraan listrik mulai menurun karena tengah melewati celah ketidakpastian dalam pola adaptasi (adoption lifecycle) teknologi baru.
”Ada celah yang harus dilewati setiap teknologi untuk menjadi relevan bagi konsumen. Kendaraan baterai listrik menurut kami belum siap melewati lubang itu karena pangsa pasarnya bukan seluruh orang yang bisa membeli mobil, paling cuma sekitar 16 persen populasi,” katanya.
Setelah 16 persen pasar telah memiliki kendaraan berbasis listrik, terutama BEV, penjualan akan otomatis turun. ”Kami estimasikan penurunan penjualan akan terjadi satu atau dua tahun lagi kecuali jika BEV jadi kebutuhan agar mobilitas tidak terhambat,” ungkap Christopher.
Tren yang menjadi pola penjualan kendaraan berbaterai listrik di seluruh dunia juga akan ditambah kendala penyebarluasan infrastruktur kendaraan listrik. Model kendaraan roda empat juga menjadi faktor, kata Christopher, di mana mobil listrik cenderung hanya memiliki lima kursi penumpang daripada tujuh kursi yang paling banyak diminati masyarakat.
Di sisi lain, kendaraan hibrida, yang dapat mengandalkan listrik ataupun bahan bakar minyak, dapat menjembatani tren ini. Sejauh ini, penjualan kendaraan hibrida yang didominasi Grup Astra memang lebih diminati.
”Kalau pakai BEV, masyarakat masih takut bawa mobil jauh sampai ke luar kota karena kurangnya infrastruktur. Kalau di dalam kota saja masih aman. Tapi, HEV enggak ada efek. Justru HEV akan jadi jembatan yang pas untuk orang mencoba kendaraan listrik,” ujarnya.
Dampak suku bunga
Pada triwulan kedua hingga ketiga 2024, kinerja industri otomotif juga diprediksi masih melanjutkan perlambatan seiring dengan penurunan daya beli masyarakat dan tingkat suku bunga yang masih tinggi.
Belum lama ini, Bank Indonesia menaikkan suku bunga dari 6,00 persen menjadi 6,25 persen untuk mengendalikan pelemahan rupiah. Bank sentral AS, The Fed, juga diperkirakan masih akan mempertahankan suku bunga mereka yang kini di kisaran 5,25-5,55 persen hingga September 2024.
Christopher menjelaskan, suku bunga tinggi sejak tahun lalu perlahan telah menyedot uang beredar di masyarakat hingga memicu kenaikan harga dan penurunan daya beli. Nilai bunga pinjaman untuk pembiayaan kendaraan juga masih di atas dua digit.
Dengan asumsi suku bunga The Fed di AS akan turun pada September dan akan disusul oleh penurunan suku bunga acuan BI Rate dua kali pada triwulan IV-2024 selama nilai tukar rupiah stabil, dia optimistis daya beli masyarakat dan juga penjualan kendaraan akan membaik pada akhir tahun. ”Kami berharap ada pemulihan di akhir tahun seiring potensi turunnya suku bunga acuan,” ujarnya.
Meskipun bisa membaik pada triwulan IV-2024, Christopher memprediksi kinerja sepanjang 2024 tidak akan sebaik tahun lalu, salah satunya dari sisi penjualan mobil baru sepanjang tahun ini yang diprediksi 900.000 unit saja, di bawah prediksi pasar 1,1 juta unit.
Tim analis pasar Danamon, dalam laporan bulanannya, juga memperkirakan, sentimen suku bunga dan beragam faktor eksternal juga memperburuk tantangan yang dihadapi industri ini. Situasi tersebut membuat mereka menimbang, permintaan kredit penjualan kendaraan yang telah mengalami penurunan di triwulan I-2024 akan kembali anjlok di triwulan kedua.
Bank Indonesia mencatat, permintaan kredit kendaraan bermotor di triwulan I-2024 hanya sebesar 5 persen dari total permintaan kredit baru. Permintaan ini lebih rendah dari periode sama tahun lalu yang mencapai 9,4 persen.
”Pinjaman kendaraan bermotor diperkirakan turun di triwulan kedua 2024. Prediksi ini memberikan gambaran sekilas tentang tantangan yang dihadapi industri otomotif akibat ketidakpastian dan pengetatan kondisi keuangan,” kata mereka.